"Aku ingin kau membantuku pergi ke lantai dua.” Yuan melipat tangannya, ekspresi wajahnya penuh tantangan.
Elara mengerutkan kening. “Lantai dua? Tapi… untuk apa Tuan Muda ingin ke lantai dua? Bukankah kamar Tuan sudah dilengkapi dengan semua fasilitas?”
“Tentu saja,” Yuan menjawab sambil mengangkat alis. “Tapi ada sesuatu yang aku butuhkan di sana. Lagipula, aku ingin memastikan kau cukup kompeten. Jadi, ayo.”
Ia memutar kursi rodanya ke arah tangga, roda-roda besinya menimbulkan suara bergemuruh di lantai marmer. Elara menatap tangga panjang yang melengkung ke atas dengan hati berdebar.
“Tapi… ada lift, kan?” tanya Elara ragu.
“Tidak ada,” Yuan menjawab dengan nada datar, lalu menoleh dengan senyuman kecil. “Itulah tantangannya. Kau harus membawaku ke atas.”
“APA?!” Elara membulatkan matanya. “Tuan bercanda, kan?”
Yuan hanya mengangkat bahu dengan santai. “Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku. Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, bukan?”
Elara menghela napas, berusaha meredam rasa frustrasinya. Sebelum ia sempat membalas, kepala ART muncul dari dapur, memandang mereka dengan heran.
“Ada apa, Tuan Muda?”
“Tidak ada,” Yuan menjawab ringan. “Aku hanya ingin Nona Rose membuktikan bahwa dia layak bekerja di sini.”
Kepala ART tampak ragu sejenak sebelum melempar kode pada Elara tentang apa yang diinginkan Yuan. Awalnya ragu, tapi kepala ART itu pun mencoba menghalangi niat Yuan. “Tuan, sebaiknya Anda tidak terlalu memaksakan diri. Kalau anda butuh sesuatu dari lantai dua, saya akan mengambilnya untuk anda. ATau… kita gunakan lift saja.”
Elara Rose terkesiap, ia berkata, “Kata… Tuan Yuan, di sini tidak ada lift?”
Kepala ART menatap penuh arti pada Elara. “Ada di sebelah… “
“Dia harus belajar mandiri tanpa bantuan mesin apalagi orang lain. Bukankah begitu, Nona Rose?” Yuan menatap Elara dengan tatapan penuh provokasi.
Elara mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai naik. Ia menatap tangga, Yuan tersenyum samar menunggu reaksinya dengan penuh kesabaran palsu.
“Oke,” kata Elara pada akhirnya, suaranya terdengar tegas meskipun tangannya gemetar. “Kalau itu yang Tuan inginkan, saya akan melakukannya.”
Yuan terkejut sejenak, tetapi ia menyembunyikan ekspresi itu dengan senyum mengejek. “Bagus. Mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan.”
“Tttapi, Tuan… terlalu berbahaya kalau Nona Rose tidak mampu menahan berat tubuh anda,” cegah Kepala ART.
Elara menggigit bibirnya, matanya tertuju pada kursi roda berat itu. Ia tahu ini tidak masuk akal, tapi ia juga tahu bahwa menyerah hanya akan membuat Yuan semakin merasa menang.
Elara berdiri di depan tangga, mencoba mengatur strategi untuk menyelesaikan tantangan ini. Yuan menatapnya dengan senyum licik, sementara kepala ART menyaksikan dari kejauhan, wajahnya mencerminkan kekhawatiran, jelas terlihat cemas, namun tidak berani melawan keputusan Yuan.
“Baik,” kata Elara dengan suara mantap meski tangannya sedikit gemetar. “Kalau itu yang Tuan inginkan, saya akan melakukannya.”
Yuan menaikkan alis. Ia tampak terkejut bahwa seorang Elara Rose yang bertubuh mungil dan terlihat lemah benar-benar mau menerima tantangan itu, tetapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum mengejek.
“Bagus,” katanya ringan. “Mari kita lihat apakah kau benar-benar sanggup.”
Kepala ART menghampiri mereka. “Tuan, saya benar-benar menyarankan agar kita menggunakan lift saja. Ini terlalu berisiko, saya mengkhawatirkan keselamatan Tuan.”
Yuan melambaikan tangannya, mengabaikan usul itu. “Kita tidak butuh lift. Aku ingin tahu seberapa tangguh Nona Rose ini.”
Elara memutar otaknya. Membawa Yuan ke lantai dua tanpa alat bantu adalah tugas yang hampir mustahil. Tapi ia tahu, jika ia menolak, Yuan hanya akan semakin menyulitkannya. Bahkan mungkin pria itu juga akan langsung memecatnya saat itu juga. Ia menatap tangga panjang itu, lalu menatap kursi roda Yuan yang pasti berat.
“Baiklah,” katanya dengan nada penuh tekad. “Tapi kita harus melakukan ini dengan cara yang aman.”
“Oh?” Yuan menyandarkan dagunya di tangan. “Aku tertarik mendengar rencanamu.”
Elara berjalan ke arah kepala ART dan berbisik pelan, “Bisakah Anda membantu saya mengangkat kursi roda Tuan Yuan? Saya akan memastikan Tuan Yuan tetap aman.”
Kepala ART tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Bersama-sama, mereka memindahkan Yuan dari kursi rodanya ke tangga, Elara memegangi tubuh Yuan untuk menjaga keseimbangannya. Yuan, tentu saja tidak membuat segalanya lebih mudah.
“Kau gemetar, Nona Rose,” sindir Yuan sambil menatap wajah gadis muda di sampingnya dengan keringat yang membasahi keningnya.
“Tentu saja,” balas Elara dengan senyum lelah. “Tuan cukup berat.”
Kepala ART memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan senyum. Yuan mendengus, tapi ia tidak bisa menyangkal fakta bahwa Elara benar-benar berusaha keras. Meski ia merasa kesal karena rencananya untuk membuat Elara menyerah tidak berjalan mulus, ia juga diam-diam terkesan dengan keteguhan hati gadis itu.
Setelah beberapa menit penuh perjuangan, mereka akhirnya sampai di lantai dua. Elara terengah-engah, rambutnya berantakan, tetapi ia tersenyum puas.
“Sudah sampai, Tuan,” katanya sambil mengusap keningnya yang berkeringat. “Apa lagi yang bisa saya bantu?”
Yuan menatapnya lama, lalu mengangkat bahu. “Tidak ada. Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar bisa diandalkan.”
Elara hampir saja menjatuhkan diri ke lantai. “Jadi... Tuan tidak benar-benar butuh sesuatu dari sini?”
“Tidak,” jawab Yuan dengan senyum licik. “Aku hanya butuh hiburan.”
Kepala ART menatap Yuan dengan ekspresi campuran antara takjub dan jengkel. “Tuan Muda, saya rasa ini benar-benar tidak perlu...”
“Sudahlah,” potong Yuan. Ia memutar kursi rodanya yang sudah dipindahkan ke atas oleh kepala ART. “Nona Rose, kau boleh kembali ke bawah.”
Elara menatapnya dengan mulut ternganga. Namun, alih-alih memprotes, ia hanya mengangguk, berbalik, dan berjalan turun. Saat ia mencapai dasar tangga, ia bergumam pelan, “Hiburan, ya? Kita lihat siapa yang akan terhibur pada akhirnya.”
Yuan mendengar gumaman itu dan tersenyum samar. Ada sesuatu tentang keberanian Elara yang mulai menarik perhatiannya.
Hari berikutnya, Yuan memutuskan untuk melanjutkan ujiannya pada Elara. Kali ini, ia meminta Elara membersihkan ruang kerjanya, sebuah tempat yang jarang ia biarkan orang lain memasukinya. Ruang itu penuh dengan buku, dokumen, dan beberapa barang pribadi Yuan.
“Pastikan semuanya tetap pada tempatnya,” katanya dengan nada tegas. “Aku tidak ingin ada yang hilang atau rusak.”
“Tentu, Tuan,” jawab Elara sambil mengangguk. “Saya akan sangat berhati-hati.”
Elara mulai bekerja, membersihkan meja dan rak buku dengan hati-hati. Namun, saat ia sedang mengelap rak, sebuah bingkai foto kecil terjatuh ke lantai. Ia buru-buru mengambilnya dan tanpa sengaja melihat foto di dalamnya.
Itu adalah foto Yuan yang tampak berbeda, tersenyum lebar bersama seorang wanita cantik. ElaraRose menatap foto itu dengan rasa ingin tahu. Ia belum pernah melihat Yuan tersenyum seceria seperti itu.
“Apa yang kau lakukan?!” Suara keras Yuan mengejutkan Elara. Ia menoleh dan melihat Yuan di pintu, wajahnya merah padam.
“Sssaya... saya tidak sengaja menjatuhkannya,Tuan,” kata Elara gugup. “Maaf, Tuan. Saya hanya...”
“Keluar,” potong Yuan tajam. “Sekarang!!”
Elara terdiam, lalu meletakkan foto itu kembali ke tempatnya dan meninggalkan ruangan dengan langkah pelan. Yuan mengambil foto itu, menatapnya sebentar, lalu meletakkannya kembali dengan gerakan kasar.
Saat malam tiba, Yuan duduk sendirian di ruang kerjanya, pikirannya dipenuhi oleh kejadian hari itu. Ia masih merasa marah, tetapi ada sesuatu yang lain. Entah bagaimana, kehadiran Elara mulai memengaruhi hidupnya. Ia membawa energi baru yang tak terduga, bahkan ketika Yuan mencoba mendorongnya menjauh.
Sementara itu, di kamar kosnya, Elara meregangkan otot-ototnya yang lelah. Ia menghela napas panjang dan berbisik pada dirinya sendiri, “Aku tidak akan menyerah. Kau tidak akan menyingkirkanku semudah itu, Tuan Yuan.”
Elara Rose mencoba mengingat kejadian tadi siang di rumah Yuan. “Sebentar… baru kali ini aku melihatnya semarah itu, meskipun ia memang tidak pernah ramah padaku. Tapi, apa yang membuatnya marah? Siapa wanita yang ada di foto itu bersamanya?”
Pagi itu, Elara mengetuk pintu kamar Yuan dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian kemarin, ia merasa harus melakukan sesuatu. Bukan untuk membalas Yuan, tetapi untuk membantunya. Di balik sikap dinginnya, Yuan terlihat seperti seseorang yang membutuhkan semangat dan motivasi. Walaupun, pertanyaan mengenai foto itu belum menemukan jawaban, tapi ia memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya.“Tuan Muda,” panggil Elara sambil membuka pintu sedikit. “Saya ingin bicara sebentar.”“Apa lagi sekarang?” Yuan menjawab dari tempat tidur, suaranya serak karena baru bangun.Elara masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Sarapan dulu, lalu kita bicara. Ini penting.”Yuan mendengus. “Apa yang bisa lebih penting daripada tidurku?”“Terapi fisik,” jawab Elara tegas, membuat Yuan langsung menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah tajam.“Terapi fisik?” Yuan mengulang dengan nada mencemooh. “Aku sudah bilang, itu buang-buang waktu.”“Tuan Muda, Anda harus mencobanya. Saya membaca tentang metode baru
Ketika Elara Rose sadar, ia menemukan dirinya tidur di sofa besar di kamar Yuan. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang tenang, tapi terasa aneh. Yuan ada di dekatnya masih duduk di kursi roda dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. “Tuan Muda Yuan, apa yang sedang terjadi?” Elara bertanya, bingung dengan situasinya. “Kau tidak ingat?” Yuan membalas dengan nada datar. “Seseorang mencoba menyeretmu keluar tadi. Aku kebetulan melihatnya dari kamera pengawas.” Elara menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Yuan. “Lalu, bagaimana saya bisa di sini?” “Aku membawamu ke sini. Tidak ada tempat yang lebih aman di rumah ini selain kamarku,” katanya tanpa ragu. “Kau akan menginap di sini malam ini.” “Apa? Menginap di sini?” Elara hampir tersedak. Wajahnya memerah karena rasa canggung. “Tenang saja. Aku bukan pria mesum,” Yuan menambahkan sambil tersenyum tipis. “Lagipula, aku lebih suka membuat hidupmu sulit daripada merusak reputasimu.” Elara menghela napas panj
Ketika Yuan mendekatkan wajahnya, Elara hampir lupa bagaimana cara bernapas. Namun, bukannya mengatakan sesuatu yang romantis atau menyentuh, Yuan malah berbisik dengan nada serius."Ada kutu di rambutmu," katanya dengan ekspresi datar.Elara membuka matanya lebar-lebar. "Apa? Kutu?" tangannya langsung bergerak panik, mencoba mencari mie yang dimaksud. Ia menyapu rambutnya ke sana ke mari, tetapi tidak menemukan apa pun.Yuan menyandarkan diri di kursi rodanya sambil tertawa kecil. "Tenang saja. Aku bercanda."Elara menatapnya dengan campuran rasa kesal dan malu. "Tuan Yuan! Itu tidak lucu! Saya hampir berpikir Anda akan—""Akan apa?" Yuan memotong, menyeringai penuh kemenangan.Elara mendengus dan memutar badannya. "Lupakan saja."Namun, momen konyol itu segera sirna ketika suara langkah kaki mendekat. Sebelum mereka sempat berkata apa-apa lagi, pintu kamar Yuan terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang berwarna karamel dan gaun elegan berdiri di sana. Ia memancarkan aura
Sementara di rumah majikannya, Fiona duduk di sebelah Yuan saat acara dimulai. Ia terus berbicara tentang masa lalu mereka, memancing setiap orang untuk turut berkomentar tentang hubungan mereka di masa lalu. Alan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati Yuan."Kau ingat saat kita pergi ke Paris?" Fiona berkata dengan nada manis. "Itu salah satu kenangan terbaikku ….""Ya, aku ingat semuanya," jawab Yuan singkat, tatapannya kosong.Pada intinya, acara itu sengaja dibuat oleh Fiona agar keluarga Ramiro kembali menjalin kedekatan dengan keluarganya. Sikap manisnya yang menjebak setiap orang pun menuai pujian. Akan tetapi, mereka tidak tahu apakah Fiona benar tulus dengan tindakannya.Di tempat lain, Elara tersenyum puas. Ia mengepalkan tangannya, lalu membuat gerakan sambil berteriak kecil. “Yes!”Elara kembali ke rumah majikannya. Ia mulai memikirkan sesuatu di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Ramiro.“Aku lega, tapi … begitu pekerjaan selesai, aku harus segera pulang. Ak
Fiona melangkah keluar dengan senyum terselubung di wajahnya. Ia tahu, permainan ini belum selesai. Yuan mungkin sudah berubah, tapi ia percaya bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan. Bagaimanapun juga, ia takkan mundur sebelum tujuannya tercapai—mengukuhkan dirinya sebagai bagian dari keluarga Ramiro.Sementara, Yuan meminta diantar ke kamarnya oleh Elara Rose. Fiona justru menelpon seseorang untuk melancarkan rencananya.“Buat semuanya tanpa jejak, se-natural mungkin. Cari wanita yang bersedia menjadi umpan untuknya.” Fiona tampak celingukan, khawatir seseorang mendengar percakapannya.“Baik, Nona. Semua sesuai dengan keinginan Anda.”Panggilan berakhir. Fiona menatap Yuan yang baru saja keluar dari lift lantai dua menuju ke kamarnya, dibantu Elara. Senyuman licik menghias di wajah Fiona.Mereka masuk ke kamar Yuan. Setelah itu, Yuan meminta Elara membawakan makanan untuk sarapan, karena tadi ia tidak sempat makan akibat ulah Fiona.“Elara,” panggil Yuan sebelum Elara sempat keluar
Detik itu juga, seluruh isi ruangan seakan membeku. Fiona pun tertegun, mulutnya sedikit terbuka, sementara Elara mematung di tempatnya, matanya membelalak.“Yuan?” gumam Elara pelan, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Yuan berjalan perlahan menuju mikrofon, tubuhnya tegak, meskipun gerakannya tampak sedikit canggung. Terdengar bisik-bisik dari tamu yang hadir, seolah mereka juga tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan.“Selamat malam, semuanya,” ulang Yuan, suaranya tegas. “Terima kasih telah datang ke acara malam ini. Saya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa syukur atas dukungan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya.”Ruangan langsung hening. Semua tamu, bahkan Fiona, memandang Yuan dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kekaguman.Fiona akhirnya sadar dari keterkejutannya dan melangkah maju dengan langkah cepat. “Yuan? Bagaimana mungkin…?” tanyanya dengan suara pelan namun tajam, nyaris berbisik. “Kau bilang belum bisa berdiri tanpa bantu
Elara berdiri mematung di depan kamar Yuan. Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah, campur aduk dengan kekhawatiran. Dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, dengan bayangan Yuan yang tampak frustasi terlintas di benaknya. Alex yang berdiri di sebelahnya menghela napas panjang.“Elara,” panggil Alex perlahan. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, kau tahu ini bukan salahmu, kan?”Elara menoleh, matanya berkaca-kaca.“Tapi jika aku tidak membuat kesalahan saat acara tadi ... mungkin dia tidak akan memaksakan diri seperti itu.”“Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus,” jawab Alex tegas. “Yuan memang keras kepala. Jika dia memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.”Sebelum Elara sempat menjawab, suara sepatu heels yang nyaring semakin mendekat. Fiona muncul di ujung lorong dengan senyum manis yang—dalam situasi ini—lebih terlihat seperti ejekan.“Oh, aku dengar Yuan jatuh, ya?” Fiona bersuara ceria yang berlebihan, matanya langsung menangkap Elara dengan tatapan t
Martha menyeret Elara Rose menuju ke taman dengan ekspresi tegas, tak peduli betapa Elara mencoba menjelaskan sesuatu. Sesampainya di halaman rumput yang luas itu, Martha melipat tangan di dada, berdiri dengan tatapan yang tajam.“Elara, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” kata Marta, dingin.“Tapi, Nyonya Marta, saya sudah diberhentikan oleh Tuan Muda Yuan. Saya hanya mematuhi perintah.” Elara menjawab dengan suara bergetar, berusaha tetap sopan.Martha menggeleng, matanya menyipit. Kemudian, ia meraih bahu Elara Rose, membimbingnya agar duduk di kursi taman.“Dengar baik-baik, Elara. Kamu masih terikat kontrak dengan keluarga ini. Gaji untuk masa kerja ke depan sudah kami bayarkan ke agensi. Jadi, kalau kamu memutuskan pergi, berarti kamu melanggar kontrak. Ada denda dan sanksi atas pelanggaran tersebut.”Elara terdiam, wajahnya memucat. Ia tahu kalau dirinya akan dikenai penalti besar. Uang yang jelas tidak ia miliki.“Tapi ….” Elara mencoba mencari celah, tapi Marta memotongnya ce
Elara menahan napas, tubuhnya meringkuk di antara tumpukan sayuran hijau yang memenuhi bak. Jantungnya berdegup kencang ketika suara langkah kaki mendekat dari arah belakang. Dia menggigit bibirnya, berdoa dalam hati agar tidak ketahuan. Terdengar suara kenek yang berbicara dengan seseorang, "Bagaimana, Bang? Apa kami sudah bisa pergi?" "Sebentar, masih dicek aja, siapa tahu ada barang selundupan," jawab suara berat yang tidak dikenal oleh Elara. Cahaya remang-remang dari lampu jalan menyusup masuk saat orang-orang itu menyingkap lebih banyak lagi terpal penutup sayuran. Elara menunduk lebih dalam, menyatu dengan sayuran yang warnanya kebetulan senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sayur-sayur yang lembap menempel di kulitnya, membuat tubuhnya terasa dingin. Pria yang membuka bak tampak memicingkan mata, mencoaba melihat lebih jelas ke dalam. Namun penerangan yang minim membuatnya kesulitan. "Bersih, nggak ada apa-apa," gumamnya. Bak ditutup kembali dengan bunyi berderak yang
Elara menatap tajam ke arah pria asing yang kini berdiri di hadapannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tatapan licik dan seringai di wajahnya. Meski dia tidak mengenalnya, naluri Elara langsung memperingatkannya bahwa pria ini berbahaya."Saya tidak kenal Anda. Tolong jangan ganggu saya," ucap Elara dengan suara bergetar.Pria itu menyeringai semakin lebar. "Ah, Elara Rose. Gadis desa yang ingin jadi orang kota, ya? Jangan pura-pura tidak kenal. Aku Darwis, anaknya Pak Lurah di kampungmu. Kau pikir bisa lari dari perjodohan ini, setelah semua yang keluargaku berikan pada orang tuamu?"Elara membeku, kenapa lelaki bernama Darwis itu bisa ada di sini? Dia baru saja diusir dari rumah keluarga Ramiro, dan kini orang yang ia hindari justru muncul, menambah masalah."Aku tidak punya urusan denganmu," tegas Elara, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang. "Dan aku tidak tahu bagaimana kau bisa menemukanku di sini."Darwis mendekat dengan langkah santai. Gayanya yang sok as
Martha menggenggam dokumen dengan tangan yang sedikit bergetar. Matanya menatap tajam ke arah Elara Rose, yang berdiri dengan wajah pucat, tak tahu harus berkata apa. Victor menghela napas panjang, sementara Yuan hanya memandang Fiona dengan sorot mata dingin."Jadi ini?" Martha menunjuk dokumen itu. "Kau memalsukan umur dan ijazah perawat? Kau bahkan belum lulus dari Universitas?"Elara tertegun, napasnya tersengal. "Nyonya Martha, saya bisa jelaskan—""Jelaskan apa?" Martha memotong dengan suara yang penuh kemarahan. "Bahwa kau hanyalah gadis desa yang memalsukan dokumen agar bisa bekerja di keluarga kami? Bagaimana kami bisa percaya pada seseorang yang bahkan berbohong tentang identitasnya?"Elara merasa tubuhnya lemas. Ia memang salah, tapi tidak ada tujuan lain selain bisa mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup. Namun, sepertinya kali ini Martha benar-benar tidak respect lagi padanya."Saya benar-benar tidak bermaksud menipu, Nyonya. Saya hanya ... terpaksa melakukannya kar
Martha menyeret Elara Rose menuju ke taman dengan ekspresi tegas, tak peduli betapa Elara mencoba menjelaskan sesuatu. Sesampainya di halaman rumput yang luas itu, Martha melipat tangan di dada, berdiri dengan tatapan yang tajam.“Elara, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” kata Marta, dingin.“Tapi, Nyonya Marta, saya sudah diberhentikan oleh Tuan Muda Yuan. Saya hanya mematuhi perintah.” Elara menjawab dengan suara bergetar, berusaha tetap sopan.Martha menggeleng, matanya menyipit. Kemudian, ia meraih bahu Elara Rose, membimbingnya agar duduk di kursi taman.“Dengar baik-baik, Elara. Kamu masih terikat kontrak dengan keluarga ini. Gaji untuk masa kerja ke depan sudah kami bayarkan ke agensi. Jadi, kalau kamu memutuskan pergi, berarti kamu melanggar kontrak. Ada denda dan sanksi atas pelanggaran tersebut.”Elara terdiam, wajahnya memucat. Ia tahu kalau dirinya akan dikenai penalti besar. Uang yang jelas tidak ia miliki.“Tapi ….” Elara mencoba mencari celah, tapi Marta memotongnya ce
Elara berdiri mematung di depan kamar Yuan. Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah, campur aduk dengan kekhawatiran. Dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, dengan bayangan Yuan yang tampak frustasi terlintas di benaknya. Alex yang berdiri di sebelahnya menghela napas panjang.“Elara,” panggil Alex perlahan. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, kau tahu ini bukan salahmu, kan?”Elara menoleh, matanya berkaca-kaca.“Tapi jika aku tidak membuat kesalahan saat acara tadi ... mungkin dia tidak akan memaksakan diri seperti itu.”“Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus,” jawab Alex tegas. “Yuan memang keras kepala. Jika dia memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.”Sebelum Elara sempat menjawab, suara sepatu heels yang nyaring semakin mendekat. Fiona muncul di ujung lorong dengan senyum manis yang—dalam situasi ini—lebih terlihat seperti ejekan.“Oh, aku dengar Yuan jatuh, ya?” Fiona bersuara ceria yang berlebihan, matanya langsung menangkap Elara dengan tatapan t
Detik itu juga, seluruh isi ruangan seakan membeku. Fiona pun tertegun, mulutnya sedikit terbuka, sementara Elara mematung di tempatnya, matanya membelalak.“Yuan?” gumam Elara pelan, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Yuan berjalan perlahan menuju mikrofon, tubuhnya tegak, meskipun gerakannya tampak sedikit canggung. Terdengar bisik-bisik dari tamu yang hadir, seolah mereka juga tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan.“Selamat malam, semuanya,” ulang Yuan, suaranya tegas. “Terima kasih telah datang ke acara malam ini. Saya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa syukur atas dukungan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya.”Ruangan langsung hening. Semua tamu, bahkan Fiona, memandang Yuan dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kekaguman.Fiona akhirnya sadar dari keterkejutannya dan melangkah maju dengan langkah cepat. “Yuan? Bagaimana mungkin…?” tanyanya dengan suara pelan namun tajam, nyaris berbisik. “Kau bilang belum bisa berdiri tanpa bantu
Fiona melangkah keluar dengan senyum terselubung di wajahnya. Ia tahu, permainan ini belum selesai. Yuan mungkin sudah berubah, tapi ia percaya bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan. Bagaimanapun juga, ia takkan mundur sebelum tujuannya tercapai—mengukuhkan dirinya sebagai bagian dari keluarga Ramiro.Sementara, Yuan meminta diantar ke kamarnya oleh Elara Rose. Fiona justru menelpon seseorang untuk melancarkan rencananya.“Buat semuanya tanpa jejak, se-natural mungkin. Cari wanita yang bersedia menjadi umpan untuknya.” Fiona tampak celingukan, khawatir seseorang mendengar percakapannya.“Baik, Nona. Semua sesuai dengan keinginan Anda.”Panggilan berakhir. Fiona menatap Yuan yang baru saja keluar dari lift lantai dua menuju ke kamarnya, dibantu Elara. Senyuman licik menghias di wajah Fiona.Mereka masuk ke kamar Yuan. Setelah itu, Yuan meminta Elara membawakan makanan untuk sarapan, karena tadi ia tidak sempat makan akibat ulah Fiona.“Elara,” panggil Yuan sebelum Elara sempat keluar
Sementara di rumah majikannya, Fiona duduk di sebelah Yuan saat acara dimulai. Ia terus berbicara tentang masa lalu mereka, memancing setiap orang untuk turut berkomentar tentang hubungan mereka di masa lalu. Alan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati Yuan."Kau ingat saat kita pergi ke Paris?" Fiona berkata dengan nada manis. "Itu salah satu kenangan terbaikku ….""Ya, aku ingat semuanya," jawab Yuan singkat, tatapannya kosong.Pada intinya, acara itu sengaja dibuat oleh Fiona agar keluarga Ramiro kembali menjalin kedekatan dengan keluarganya. Sikap manisnya yang menjebak setiap orang pun menuai pujian. Akan tetapi, mereka tidak tahu apakah Fiona benar tulus dengan tindakannya.Di tempat lain, Elara tersenyum puas. Ia mengepalkan tangannya, lalu membuat gerakan sambil berteriak kecil. “Yes!”Elara kembali ke rumah majikannya. Ia mulai memikirkan sesuatu di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Ramiro.“Aku lega, tapi … begitu pekerjaan selesai, aku harus segera pulang. Ak
Ketika Yuan mendekatkan wajahnya, Elara hampir lupa bagaimana cara bernapas. Namun, bukannya mengatakan sesuatu yang romantis atau menyentuh, Yuan malah berbisik dengan nada serius."Ada kutu di rambutmu," katanya dengan ekspresi datar.Elara membuka matanya lebar-lebar. "Apa? Kutu?" tangannya langsung bergerak panik, mencoba mencari mie yang dimaksud. Ia menyapu rambutnya ke sana ke mari, tetapi tidak menemukan apa pun.Yuan menyandarkan diri di kursi rodanya sambil tertawa kecil. "Tenang saja. Aku bercanda."Elara menatapnya dengan campuran rasa kesal dan malu. "Tuan Yuan! Itu tidak lucu! Saya hampir berpikir Anda akan—""Akan apa?" Yuan memotong, menyeringai penuh kemenangan.Elara mendengus dan memutar badannya. "Lupakan saja."Namun, momen konyol itu segera sirna ketika suara langkah kaki mendekat. Sebelum mereka sempat berkata apa-apa lagi, pintu kamar Yuan terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang berwarna karamel dan gaun elegan berdiri di sana. Ia memancarkan aura