"A-aapa yang Anda lakukan?!" serunya panik.
Yuan mengangkat alis, ekspresi dinginnya berubah menjadi seringai kecil. "Apa menurutmu aku akan meminta hal aneh darimu? Aku hanya ingin berganti pakaian. Kau harus membantu kalau mau bertahan di sini."
Wajah Elara memerah. "Tidak perlu melepas pakaian di depan saya seperti itu!"
Yuan tertawa lirih, suara rendahnya terdengar mengejek. "Kau akan menjadi perawatku, bukan? Ini bagian dari pekerjaanmu. Jangan bilang kau sudah takut bahkan sebelum mulai."
Elara Rose mengintip dari celah jarinya, memastikan Yuan hanya duduk dengan setengah kemejanya yang terbuka. Napasnya bergetar karena malu sekaligus jengkel. Pria ini jelas tahu bagaimana memanipulasi situasi untuk membuatnya tidak nyaman. Namun, ia menolak menyerah begitu saja.
"Baiklah," katanya akhirnya, menurunkan tangannya dari wajah. "Tapi saya hanya membantu apa yang diperlukan. Tidak lebih."
Yuan menatapnya dengan sedikit menarik ujung bibirnya. Sepertinya, ia merasa puas karena bisa menjahili Elara Rose. Ia menikmatinya, saat wajah Elara memerah dan bersikap canggung. Di dalam hatinya ia bergumam, ‘Gadis ini begitu lugu, berbeda dari perawat-perawat sebelumnya’.
"Bagus. Ambil kemeja di lemari itu!" perintahnya sambil menunjuk lemari besar di sudut ruangan.
Elara berjalan ke lemari itu dengan langkah ragu, membuka pintu besar yang langsung memperlihatkan deretan pakaian yang tertata rapi. Ia mengambil salah satu kemeja putih yang terlihat mahal dan membawanya ke hadapan Yuan. "Ini."
"Bantu aku memakainya," kata Yuan dengan nada datar. Namun, seringai di sudut bibirnya masih belum hilang.
Elara menghela napas panjang, menahan keinginannya untuk membalas dengan ketus. Dengan hati-hati, ia membantu Yuan mengganti kemeja, meski sesekali tangannya gemetar saat bersentuhan dengan kulit pria itu. Yuan, di sisi lain, tampak sangat menikmati rasa canggung Elara.
Setelah selesai, Elara langsung mundur beberapa langkah, wajahnya masih merah padam. "Sudah selesai. Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Tuan?"
Yuan mengangguk, lalu menatapnya dengan sorot mata tajam. "Ada. Bawa aku ke sana," katanya sambil menunjuk ke arah jendela besar yang menghadap taman.
Elara bergerak tanpa berpikir panjang, ia mendorong kursi roda yang diduduki oleh Yuan ke tempat yang dimaksud. Kemudian, Yuan berusaha mengguncang tubuhnya yang membatu hingga kursi rodanya oleng.
Elara Rose menghentikan langkahnya, menatap Yuan dengan kening berkerut dan hati yang sangat kesal. "Ada apa, Tuan?"
"Kau di sini untuk membantu, bukan? Aku ingin duduk di dekat jendela," balas Yuan sambil melipat tangannya di dada. "Atau kau sudah menyerah?"
“Tapi, saya sudah mendorong kursi rodanya agar anda bisa duduk di dekat jendela.” Elara mendengus lirih agar tak terdengar oleh Yuan.
“Aku tidak menyuruhmu begitu, aku ingin duduk di dekat jendela, di sofa. Bukan di kursi roda menyebalkan ini,” katanya ketus.
Elara Rose menarik napas dalam, ia bingung apa yang sebenarnya diinginkan oleh Yuan. Ia berdiri di dekat kursi roda itu, hanya berdiri mematung. Ia mencoba mencari tuas pengunci, tapi justru memutar sesuatu yang membuat sandaran kursi melorot tiba-tiba.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" Yuan berseru, setengah membungkuk karena posisi kursi yang berubah.
Elara melonjak kaget. "Saya tidak sengaja! Saya tidak tahu kursi rodanya bisa seperti ini!"
Yuan menghela napas panjang, menekan dahinya dengan tangan. "Astaga, kau bahkan tidak tahu cara mengatur kursi roda?"
"Saya tidak pernah memiliki kursi roda! Bagaimana saya tahu cara menggunakannya?!" balas Elara kesal.
“Jadi, kau ingin berkata bahwa kau sehat dan aku cacat?” tanya Yuan berang.
“Tuan… maaf, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya… “ Elara Rose memundurkan langkahnya, dadanya berdebar.
Yuan terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Tawanya yang jarang terdengar itu membuat Elara menatapnya bingung.
"Apa yang lucu?"
"Kau benar-benar tidak kompeten," katanya sambil mencoba mengendalikan tawanya. "Tapi setidaknya aku punya mainan baru sekarang.”
Elara Rose memutar matanya, lalu kembali mencoba mendorong kursi itu setelah menemukan tuas pengunci. Kemudian ia membantu Yuan berdiri dengan bantuan tongkat kruk yang sudah terpasang di kedua lengannya. Dengan susah payah, ia akhirnya berhasil memindahkan Yuan ke sofa yang berada di dekat jendela. Ia menghapus keringat di dahinya, merasa lega tugas itu selesai.
Namun, Yuan belum selesai dengan permainannya.
"Sekarang, ambilkan buku di rak sana," katanya sambil menunjuk rak buku di sisi ruangan.
Elara Rose berjalan ke rak itu dan mulai mencari-cari buku yang dimaksud. "Yang mana?"
"Yang ada di paling atas," jawab Yuan santai.
Elara Rose menatap ragu rak tinggi itu, air mukanya terlihat bingung. "Itu terlalu tinggi. Saya tidak bisa mencapainya."
"Gunakan tangga di sudut rak," kata Yuan, masih dengan nada dinginnya.
Elara menggerutu pelan, lalu menyeret tangga yang menyerupai bangku portable berundak-undak dari pojok rak buku yang menjulang setinggi dinding ruangan itu. Saat ia berdiri di atas tangga dan meraih buku, kursi itu sedikit goyah, membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Ah!" serunya, tangannya melambai-lambai mencoba menyeimbangkan diri.
Yuan hanya menyilangkan tangannya dengan ekspresi datar, melihat situasi panik yang dihadapi Elara Rose. "Hati-hati, atau kau bisa jatuh dan melukai dirimu sendiri."
"Ya, terima kasih atas peringatannya," balas Elara dengan nada sarkastik, akhirnya berhasil mengambil buku itu dan turun dari tangga dengan hati-hati. Ia menyerahkan buku itu kepada Yuan, yang menerimanya dengan anggukan kecil.
"Tidak buruk untuk seorang amatir," katanya sambil membuka buku itu. "Kita lihat apakah kau bisa bertahan lebih lama dari perawat sebelumnya."
Elara Rose mengepalkan tangannya, mencoba menahan diri untuk tidak membalas. "Saya akan bertahan, Tuan Yuan. Saya tidak akan menyerah hanya karena sikap Anda yang menyebalkan."
Yuan menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit senyum di sudut bibirnya. "Kita lihat saja nanti, Nona Rose."
Malam itu, Elara Rose merenung di kamar kosnya. Ia mengingat setiap interaksi dengan Yuan hari itu, dan setiap kali ia merasa berhasil, ada saja sesuatu yang membuatnya kesal.
“Bagaimana aku bisa bertahan dengan pria seperti itu?” gumamnya.
Namun, saat ia memikirkan kembali alasan mengapa ia mengambil pekerjaan ini—untuk membiayai kuliahnya—ia menggenggam erat gelang kecil di pergelangan tangannya, sebuah hadiah dari ibunya. “Aku harus bertahan karena pengumuman lolos ujian masuk perguruan tinggi diputuskan, kalau aku berhasil, maka harus membayar sejumlah uang untuk bisa memulai pendidikanku di perguruan tinggi.”
Keesokan paginya, Yuan memutuskan untuk melanjutkan ‘ujian’ berikutnya.
“Elara!”
Yuan memanggil dari kamarnya. Elara yang sedang mencuci buah di dapur, langsung bergegas menghampiri. Ia menemukan Yuan duduk di kursi rodanya, menatap tumpukan buku yang berserakan di lantai
“Tolong pindahkan buku-buku itu ke rak!” perintahnya santai.
“Baik,” jawab Elara tanpa pikir panjang. Begitu ia mencoba mengangkat salah satu buku, ia menyadari beratnya. “Kenapa buku ini seberat batu bata?”
“Itu ensiklopedia. Dan ada delapan lagi,” kata Yuan sambil menyembunyikan senyum kecil.
Elara memandang tumpukan itu dengan ekspresi tidak percaya. Akan tetapi, ia meneguhkan hati, mulai memindahkan buku-buku itu satu per satu. Yuan memperhatikannya dengan penuh minat, terutama saat Elara hampir menjatuhkan salah satu buku ke kakinya sendiri.
“Berhati-hatilah. Kalau kau melukai kakiku, aku akan memecatmu,” kata Yuan sambil terkekeh pelan.
Elara menatap kaki Yuan yang bertumpu pada pijakan kursi rodanya. Ia terlihat menahan kalimat kurang pantas yang hampir keluar dari mulutnya.
“Bagus. Setidaknya kau cukup tau diri untuk tetap diam,” sambung Yuan.
Elara Rose tersentak mendengar perkataan Yuan yang seakan mengetahui isi hatinya, tapi juga merasa agak lega. Sepertinya, Yuan mulai menyerah untuk mempersulit dirinya. Namun, Elara salah, Yuan tampak memikirkan sesuatu dengan seringai liciknya itu.
“Baiklah, Nona Rose. Sepertinya… aku tahu bagaimana cara mengujimu apakah kamu benar-benar siap bekerja di sini.”
Yuan tiba-tiba memutar kursi rodanya ke arah Elara, senyumnya penuh arti.
Elara memandang Yuan dengan curiga. “Maksud Tuan?”
"Aku ingin kau membantuku pergi ke lantai dua.” Yuan melipat tangannya, ekspresi wajahnya penuh tantangan.Elara mengerutkan kening. “Lantai dua? Tapi… untuk apa Tuan Muda ingin ke lantai dua? Bukankah kamar Tuan sudah dilengkapi dengan semua fasilitas?”“Tentu saja,” Yuan menjawab sambil mengangkat alis. “Tapi ada sesuatu yang aku butuhkan di sana. Lagipula, aku ingin memastikan kau cukup kompeten. Jadi, ayo.”Ia memutar kursi rodanya ke arah tangga, roda-roda besinya menimbulkan suara bergemuruh di lantai marmer. Elara menatap tangga panjang yang melengkung ke atas dengan hati berdebar.“Tapi… ada lift, kan?” tanya Elara ragu.“Tidak ada,” Yuan menjawab dengan nada datar, lalu menoleh dengan senyuman kecil. “Itulah tantangannya. Kau harus membawaku ke atas.”“APA?!” Elara membulatkan matanya. “Tuan bercanda, kan?”Yuan hanya mengangkat bahu dengan santai. “Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku. Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, bukan?”Elara menghela napas, berusaha mereda
Pagi itu, Elara mengetuk pintu kamar Yuan dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian kemarin, ia merasa harus melakukan sesuatu. Bukan untuk membalas Yuan, tetapi untuk membantunya. Di balik sikap dinginnya, Yuan terlihat seperti seseorang yang membutuhkan semangat dan motivasi. Walaupun, pertanyaan mengenai foto itu belum menemukan jawaban, tapi ia memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya.“Tuan Muda,” panggil Elara sambil membuka pintu sedikit. “Saya ingin bicara sebentar.”“Apa lagi sekarang?” Yuan menjawab dari tempat tidur, suaranya serak karena baru bangun.Elara masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Sarapan dulu, lalu kita bicara. Ini penting.”Yuan mendengus. “Apa yang bisa lebih penting daripada tidurku?”“Terapi fisik,” jawab Elara tegas, membuat Yuan langsung menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah tajam.“Terapi fisik?” Yuan mengulang dengan nada mencemooh. “Aku sudah bilang, itu buang-buang waktu.”“Tuan Muda, Anda harus mencobanya. Saya membaca tentang metode baru
Ketika Elara Rose sadar, ia menemukan dirinya tidur di sofa besar di kamar Yuan. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang tenang, tapi terasa aneh. Yuan ada di dekatnya masih duduk di kursi roda dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.“Tuan Muda Yuan, apa yang sedang terjadi?” Elara bertanya, bingung dengan situasinya.“Kau tidak ingat?” Yuan membalas dengan nada datar. “Seseorang mencoba menyeretmu keluar tadi. Aku kebetulan melihatnya dari kamera pengawas.”Elara menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Yuan. “Lalu, bagaimana saya bisa di sini?”“Aku membawamu ke sini. Tidak ada tempat yang lebih aman di rumah ini selain kamarku,” katanya tanpa ragu. “Kau akan menginap di sini malam ini.”“Apa? Menginap di sini?” Elara hampir tersedak. Wajahnya memerah karena rasa canggung.“Tenang saja. Aku bukan pria mesum,” Yuan menambahkan sambil tersenyum tipis. “Lagipula, aku lebih suka membuat hidupmu sulit daripada merusak reputasimu.”Elara menghela napas panjang. “Baiklah
"Elara, dengarkan Ayah! Anak Pak Lurah itu lelaki baik, masa depanmu akan terjamin kalau kau menikah dengannya," Suara berat dari ruang tamu memecah keheningan pagi itu.Elara Rose menggeleng tegas, matanya memancarkan tekad yang kuat."Ayah, aku sudah bilang. Aku ingin kuliah, aku ingin mengejar mimpiku menjadi tour guide internasional!" Suaranya bergetar, separuh karena emosi, separuh karena takut membuat suasana semakin memanas."Tour guide? Apa kau tidak waras, Elara? Hidup di kota itu keras, dan kau tahu keluarga kita tidak punya cukup uang untuk itu!" Suara lembut tapi sarat kekhawatiran menyela. "Anak Pak Lurah itu mau melamarmu. Kau tidak perlu susah payah lagi kalau menikah dengannya.""Ayah, Ibu, tolong mengerti. Aku tidak mau menikah hanya demi uang. Aku ingin punya hidupku sendiri, dan aku sudah menabung. Aku bisa membiayai kuliahku!" Elara bersikeras, meski hatinya agak ragu melihat wajah kecewa di depannya.Tangan besar menghantam meja kayu, membuat gelas teh bergetar. "
Elara Rose terkejut. Matanya melebar saat melihat pria muda di kursi roda. Ia mengira klien yang akan dirawatnya adalah seorang lansia, mungkin pria tua yang sudah uzur. Namun, kenyataan di hadapannya jelas-jelas berbeda. Pria muda itu tampak berusia akhir dua puluhan, dengan mata tajam yang mengintimidasi dan sikapnya begitu dingin."Nona Rose, mari saya perkenalkan," ujar Kepala ART dengan senyum formal. "Ini adalah tuan muda kita, Tuan Yuan Edbert Ramiro dan ini Nyonya di rumah ini, ibunya Tuan Muda Yuan."Elara Rose masih tertegun, ia tidak dapat mengalihkan pandangannya pada sosok pria muda yang duduk di kursi roda itu."Apa yang kau lihat?" tanya Yuan sinis, memecah keheningan.Elara tergagap, tak tahu harus berkata apa. "Ah, maaf, saya hanya... tidak menyangka...""Tidak menyangka apa? Bahwa ternyata aku bukan seorang kakek renta?" Pria itu mendengus pelan. "Bagus sekali. Aku sudah muak dengan perawat yang datang dengan ekspektasi mereka sendiri.""Yuan," ujar wanita anggun di
Ketika Elara Rose sadar, ia menemukan dirinya tidur di sofa besar di kamar Yuan. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang tenang, tapi terasa aneh. Yuan ada di dekatnya masih duduk di kursi roda dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.“Tuan Muda Yuan, apa yang sedang terjadi?” Elara bertanya, bingung dengan situasinya.“Kau tidak ingat?” Yuan membalas dengan nada datar. “Seseorang mencoba menyeretmu keluar tadi. Aku kebetulan melihatnya dari kamera pengawas.”Elara menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Yuan. “Lalu, bagaimana saya bisa di sini?”“Aku membawamu ke sini. Tidak ada tempat yang lebih aman di rumah ini selain kamarku,” katanya tanpa ragu. “Kau akan menginap di sini malam ini.”“Apa? Menginap di sini?” Elara hampir tersedak. Wajahnya memerah karena rasa canggung.“Tenang saja. Aku bukan pria mesum,” Yuan menambahkan sambil tersenyum tipis. “Lagipula, aku lebih suka membuat hidupmu sulit daripada merusak reputasimu.”Elara menghela napas panjang. “Baiklah
Pagi itu, Elara mengetuk pintu kamar Yuan dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian kemarin, ia merasa harus melakukan sesuatu. Bukan untuk membalas Yuan, tetapi untuk membantunya. Di balik sikap dinginnya, Yuan terlihat seperti seseorang yang membutuhkan semangat dan motivasi. Walaupun, pertanyaan mengenai foto itu belum menemukan jawaban, tapi ia memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya.“Tuan Muda,” panggil Elara sambil membuka pintu sedikit. “Saya ingin bicara sebentar.”“Apa lagi sekarang?” Yuan menjawab dari tempat tidur, suaranya serak karena baru bangun.Elara masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Sarapan dulu, lalu kita bicara. Ini penting.”Yuan mendengus. “Apa yang bisa lebih penting daripada tidurku?”“Terapi fisik,” jawab Elara tegas, membuat Yuan langsung menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah tajam.“Terapi fisik?” Yuan mengulang dengan nada mencemooh. “Aku sudah bilang, itu buang-buang waktu.”“Tuan Muda, Anda harus mencobanya. Saya membaca tentang metode baru
"Aku ingin kau membantuku pergi ke lantai dua.” Yuan melipat tangannya, ekspresi wajahnya penuh tantangan.Elara mengerutkan kening. “Lantai dua? Tapi… untuk apa Tuan Muda ingin ke lantai dua? Bukankah kamar Tuan sudah dilengkapi dengan semua fasilitas?”“Tentu saja,” Yuan menjawab sambil mengangkat alis. “Tapi ada sesuatu yang aku butuhkan di sana. Lagipula, aku ingin memastikan kau cukup kompeten. Jadi, ayo.”Ia memutar kursi rodanya ke arah tangga, roda-roda besinya menimbulkan suara bergemuruh di lantai marmer. Elara menatap tangga panjang yang melengkung ke atas dengan hati berdebar.“Tapi… ada lift, kan?” tanya Elara ragu.“Tidak ada,” Yuan menjawab dengan nada datar, lalu menoleh dengan senyuman kecil. “Itulah tantangannya. Kau harus membawaku ke atas.”“APA?!” Elara membulatkan matanya. “Tuan bercanda, kan?”Yuan hanya mengangkat bahu dengan santai. “Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku. Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, bukan?”Elara menghela napas, berusaha mereda
"A-aapa yang Anda lakukan?!" serunya panik.Yuan mengangkat alis, ekspresi dinginnya berubah menjadi seringai kecil. "Apa menurutmu aku akan meminta hal aneh darimu? Aku hanya ingin berganti pakaian. Kau harus membantu kalau mau bertahan di sini."Wajah Elara memerah. "Tidak perlu melepas pakaian di depan saya seperti itu!"Yuan tertawa lirih, suara rendahnya terdengar mengejek. "Kau akan menjadi perawatku, bukan? Ini bagian dari pekerjaanmu. Jangan bilang kau sudah takut bahkan sebelum mulai."Elara Rose mengintip dari celah jarinya, memastikan Yuan hanya duduk dengan setengah kemejanya yang terbuka. Napasnya bergetar karena malu sekaligus jengkel. Pria ini jelas tahu bagaimana memanipulasi situasi untuk membuatnya tidak nyaman. Namun, ia menolak menyerah begitu saja."Baiklah," katanya akhirnya, menurunkan tangannya dari wajah. "Tapi saya hanya membantu apa yang diperlukan. Tidak lebih."Yuan menatapnya dengan sedikit menarik ujung bibirnya. Sepertinya, ia merasa puas karena bisa me
Elara Rose terkejut. Matanya melebar saat melihat pria muda di kursi roda. Ia mengira klien yang akan dirawatnya adalah seorang lansia, mungkin pria tua yang sudah uzur. Namun, kenyataan di hadapannya jelas-jelas berbeda. Pria muda itu tampak berusia akhir dua puluhan, dengan mata tajam yang mengintimidasi dan sikapnya begitu dingin."Nona Rose, mari saya perkenalkan," ujar Kepala ART dengan senyum formal. "Ini adalah tuan muda kita, Tuan Yuan Edbert Ramiro dan ini Nyonya di rumah ini, ibunya Tuan Muda Yuan."Elara Rose masih tertegun, ia tidak dapat mengalihkan pandangannya pada sosok pria muda yang duduk di kursi roda itu."Apa yang kau lihat?" tanya Yuan sinis, memecah keheningan.Elara tergagap, tak tahu harus berkata apa. "Ah, maaf, saya hanya... tidak menyangka...""Tidak menyangka apa? Bahwa ternyata aku bukan seorang kakek renta?" Pria itu mendengus pelan. "Bagus sekali. Aku sudah muak dengan perawat yang datang dengan ekspektasi mereka sendiri.""Yuan," ujar wanita anggun di
"Elara, dengarkan Ayah! Anak Pak Lurah itu lelaki baik, masa depanmu akan terjamin kalau kau menikah dengannya," Suara berat dari ruang tamu memecah keheningan pagi itu.Elara Rose menggeleng tegas, matanya memancarkan tekad yang kuat."Ayah, aku sudah bilang. Aku ingin kuliah, aku ingin mengejar mimpiku menjadi tour guide internasional!" Suaranya bergetar, separuh karena emosi, separuh karena takut membuat suasana semakin memanas."Tour guide? Apa kau tidak waras, Elara? Hidup di kota itu keras, dan kau tahu keluarga kita tidak punya cukup uang untuk itu!" Suara lembut tapi sarat kekhawatiran menyela. "Anak Pak Lurah itu mau melamarmu. Kau tidak perlu susah payah lagi kalau menikah dengannya.""Ayah, Ibu, tolong mengerti. Aku tidak mau menikah hanya demi uang. Aku ingin punya hidupku sendiri, dan aku sudah menabung. Aku bisa membiayai kuliahku!" Elara bersikeras, meski hatinya agak ragu melihat wajah kecewa di depannya.Tangan besar menghantam meja kayu, membuat gelas teh bergetar. "