Pagi itu, Elara mengetuk pintu kamar Yuan dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian kemarin, ia merasa harus melakukan sesuatu. Bukan untuk membalas Yuan, tetapi untuk membantunya. Di balik sikap dinginnya, Yuan terlihat seperti seseorang yang membutuhkan semangat dan motivasi. Walaupun, pertanyaan mengenai foto itu belum menemukan jawaban, tapi ia memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya.
“Tuan Muda,” panggil Elara sambil membuka pintu sedikit. “Saya ingin bicara sebentar.”
“Apa lagi sekarang?” Yuan menjawab dari tempat tidur, suaranya serak karena baru bangun.
Elara masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Sarapan dulu, lalu kita bicara. Ini penting.”
Yuan mendengus. “Apa yang bisa lebih penting daripada tidurku?”
“Terapi fisik,” jawab Elara tegas, membuat Yuan langsung menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah tajam.
“Terapi fisik?” Yuan mengulang dengan nada mencemooh. “Aku sudah bilang, itu buang-buang waktu.”
“Tuan Muda, Anda harus mencobanya. Saya membaca tentang metode baru yang bisa membantu pemulihan. Anda tidak akan tahu jika tidak mencoba,” kata Elara dengan penuh semangat.
Yuan menatap Elara dengan pandangan skeptis. “Aku tahu kondisiku lebih baik daripada siapa pun, termasuk kamu. Jadi berhenti bersikap seolah-olah kau tahu segalanya, Nona Rose.”
Elara menahan napas, berusaha meredam rasa frustrasinya. “Saya hanya ingin membantu, Tuan. Kalau Anda tidak mau melakukannya demi diri sendiri, pikirkan orang tua Anda. Mereka pasti ingin melihat Anda mencobanya, kembali bersemangat seperti dulu.”
“Sudah cukup!” Yuan memotong dengan nada tegas. “Aku tidak mau membahas ini lagi. Jika kau benar-benar ingin membantuku, berhenti ikut campur.”
Elara menggigit bibirnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak memaksa. Ia mengangguk pelan dan meninggalkan sarapan di meja samping tempat tidur Yuan. “Baik, Tuan. Tapi saya harap Anda mau memikirkannya lagi.”
Yuan tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi dingin.
Sehari penuh, Yuan tampak lebih menyebalkan dari biasanya. Ia mulai memberikan tugas-tugas aneh pada Elara, seolah ingin menguji seberapa jauh kesabarannya.
“Aku ingin kau membersihkan perpustakaan,” kata Yuan dengan nada santai sambil menyeruput tehnya di ruang tamu. “Setiap buku harus dikembalikan ke tempatnya, sesuai abjad. Dan jangan lupa membersihkan debu di setiap rak dari yang paling atas.”
Elara menatapnya dengan alis terangkat. “Tuan, perpustakaan itu sangat besar. Anda yakin ingin saya mengerjakannya sendirian?”
“Tentu saja,” Yuan menjawab dengan senyum tipis. “Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, kan? Ini kesempatan untuk membuktikannya.”
Elara mendesah, tetapi ia tetap pergi ke perpustakaan. Yuan mengamatinya dari kejauhan sambil menonton rekaman video dari kamera CCTV yang terpasang di dalam perpustakaan. Ia merasa puas melihat Elara sibuk dengan buku-buku tebal yang berdebu di ruang perpustakaan milik keluarga Ramiro yang letaknya berada terpisah dari rumah utama. Namun, ketika ia mendengar suara Elara bersenandung riang sambil membersihkan, Yuan mengerutkan kening.
“Apa yang dia nyanyikan?” tanya Yuan, masih menonton rekaman CCTV yang menampilkan Elara Rose.
Elara tersenyum. “Lagu favoritku ini, selalu membantuku tetap semangat saat bekerja.”
“Semangat?” Yuan mengulang dengan nada sinis. “Apa dia tidak merasa kesal karena aku memberinya tugas berat ini?”
Yuan tidak tahan lagi melihat Elara Rose menikmati semua siksaan darinya. Ia meminta bantuan seorang staff untuk membawanya ke perpustakaan. Yuan mengamatinya diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu. Ia memberi isyarat pada staff yang mengantarnya untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Kemudian, Yuan memutar roda dengan kedua tangannya perlahan, mendekati Elara.
Gadis itu terus saja bersenandung dengan headset yang ternyata terpasang di kedua telinganya. Senyum Elara Rose masih mengembang, ia mengerjakan tugas itu dengan senang hati tanpa mengeluh. Yuan mengamatinya sejak tadi.
“Apa kau selalu seperti ini? Tetap ceria meskipun harus menghadapi sesuatu yang berat, apa kau tidak kesal dengan semua kesulitan yang kau temui?”
“Oh, tentu saja saya kesal,” jawab Elara santai. “Tapi saya juga tahu kalau saya membiarkan rasa kesal itu menang, Artinya—saya gagal untuk satu kesempatan yang saya punya. Jadi, saya memilih untuk menikmatinya saja. Karena seringkali kesempatan tidak terjadi dua kali dalam hidup ini.”
Yuan menatap Elara dengan ekspresi bingung sekaligus kagum. “Kau memang aneh, Nona Rose.”
Elara tertawa kecil, lalu mengurangi volume musik dari gawainya, menoleh ke arah sumber suara seorang pria.
“Tuuuan Muda Yuan. Sejak kapan anda ada di sini?”
Yuan tersenyum, dan itu pertama kalinya Elara melihatnya penuh ketulusan. Elara Rose menunduk, ia lalu meralat kalimatnya karena khawatir Yuan akan marah. “Maaf, Tuan. Maksud saya—mengapa Tuan Muda ke sini?”
“Jadi, kau melarangku datang ke perpustakaan ini?”
Elara Rose memundurkan langkahnya. “Tttidak, Tuan. Tentu saja Tuan Muda boleh ke sini kapan pun Tuan mau, saya hanya ingin bilang kalau di sini banyak debu. Sebaiknya Tuan kembali lagi nanti, setelah saya selesai membersihkan seluruh tempat ini.”
“Aku baru tahu ada gadis sepertimu, Nona Rose,” gumamnya.
“Dan saya juga baru tahu ada pria seperti anda, definisi dari pria yang penuh tantangan hidup.” Elara masih tertunduk, tapi keberanian membuatnya ingin meluapkan isi hatinya pada sang Majikan. “Tapi, anda jangan senang dulu. Saya pasti bisa menaklukkan semua tantangan yang anda berikan, karena saya tidak akan membuat anda menang.”
Yuan mendengus, tetapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Ia segera menyembunyikan senyumnya dan kembali ke rumah utama, meninggalkan Elara yang terus sibuk di perpustakaan.
Sore harinya, Yuan memanggil Elara ke ruang kerjanya. “Aku butuh kau mengetik beberapa dokumen untukku. Komputer sudah menyala, dan file-file ada di desktop.”
Elara mengangguk dan duduk di kursi, mulai membuka file yang dimaksud. Ia mengetik dengan cepat, tetapi tiba-tiba layar komputer menampilkan pesan error.
“Tuan Yuan, komputer ini bermasalah. Saya tidak bisa membuka file-nya,” kata Elara sambil memutar kursi ke arah Yuan.
Yuan mendekat dengan kursi rodanya dan memeriksa layar. “Coba restart,” katanya pendek.
Elara menurut, tetapi setelah komputer menyala kembali, masalahnya tetap sama. Ia menoleh ke Yuan dengan wajah bingung. “Sepertinya ini bukan masalah kecil, Tuan. Apa Anda punya teknisi yang biasa menangani ini?”
“Kau pikir aku mempekerjakanmu hanya untuk mengetik?” Yuan membalas dengan nada mengejek. “Cari cara untuk memperbaikinya sendiri. Kau kan pintar, bukan?”
Elara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Baik, Tuan. Saya akan coba mencari solusinya.”
Yuan menyilangkan tangan di dadanya, mengamati Elara yang sibuk mencari tahu cara memperbaiki komputer. Meskipun ia merasa puas bisa menyulitkan Elara, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa terhibur melihat usaha keras gadis itu. Hingga lngit gelap, Elara belum juga bisa membenahi komputer Yuan. Jelas saja, toh dia seorang perawat bukan teknisi komputer.
Elara mengetuk pintu kamar Yuan. “Tuan, saya belum bisa memperbaiki komputer anda. Bagaimana kalau besok saya panggilkan teknisi. Ini sudah jam 7 malam, Tuan. Saya harus pulang.”
“Aku tidak mengizinkanmu pulang sebelum komputerku bisa dioperasikan dengan normal,” sahut Yuan dari dalam kamarnya.
Elara tampak kecewa, wajahnya sendu. Ia berjalan ke arah dapur, meninggalkan kamar Yuan.
“Nona Rose, mengapa masih di sini? Bukankah seharusnya kau sudah pulang jam 3 sore tadi?” tanya Kepala ART yang sibuk mengatur staf dapur untuk menyiapkan makan malam keluarga Ramiro.
“Itu dia masalahnya—Tuan Muda Yuan tidak mengizinkanku pulang.”
“Keterlaluan, semakin hari dia semakin menikmati kesulitanmu sebagai hiburan baginya.” Wanita itu mengusap lengan Elara lembut. “Tunggu di sini sebentar, aku akan mengadukannya kepada Nyonya Martha.”
Elara mengangguk setuju. Sementara Kepala ART pergi menemui Martha Ramiro, seseorang menutup kepalanya dengan kain hitam lalu menariknya pergi dari dapur.
Ketika Elara Rose sadar, ia menemukan dirinya tidur di sofa besar di kamar Yuan. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang tenang, tapi terasa aneh. Yuan ada di dekatnya masih duduk di kursi roda dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. “Tuan Muda Yuan, apa yang sedang terjadi?” Elara bertanya, bingung dengan situasinya. “Kau tidak ingat?” Yuan membalas dengan nada datar. “Seseorang mencoba menyeretmu keluar tadi. Aku kebetulan melihatnya dari kamera pengawas.” Elara menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Yuan. “Lalu, bagaimana saya bisa di sini?” “Aku membawamu ke sini. Tidak ada tempat yang lebih aman di rumah ini selain kamarku,” katanya tanpa ragu. “Kau akan menginap di sini malam ini.” “Apa? Menginap di sini?” Elara hampir tersedak. Wajahnya memerah karena rasa canggung. “Tenang saja. Aku bukan pria mesum,” Yuan menambahkan sambil tersenyum tipis. “Lagipula, aku lebih suka membuat hidupmu sulit daripada merusak reputasimu.” Elara menghela napas panj
Ketika Yuan mendekatkan wajahnya, Elara hampir lupa bagaimana cara bernapas. Namun, bukannya mengatakan sesuatu yang romantis atau menyentuh, Yuan malah berbisik dengan nada serius."Ada kutu di rambutmu," katanya dengan ekspresi datar.Elara membuka matanya lebar-lebar. "Apa? Kutu?" tangannya langsung bergerak panik, mencoba mencari mie yang dimaksud. Ia menyapu rambutnya ke sana ke mari, tetapi tidak menemukan apa pun.Yuan menyandarkan diri di kursi rodanya sambil tertawa kecil. "Tenang saja. Aku bercanda."Elara menatapnya dengan campuran rasa kesal dan malu. "Tuan Yuan! Itu tidak lucu! Saya hampir berpikir Anda akan—""Akan apa?" Yuan memotong, menyeringai penuh kemenangan.Elara mendengus dan memutar badannya. "Lupakan saja."Namun, momen konyol itu segera sirna ketika suara langkah kaki mendekat. Sebelum mereka sempat berkata apa-apa lagi, pintu kamar Yuan terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang berwarna karamel dan gaun elegan berdiri di sana. Ia memancarkan aura
Sementara di rumah majikannya, Fiona duduk di sebelah Yuan saat acara dimulai. Ia terus berbicara tentang masa lalu mereka, memancing setiap orang untuk turut berkomentar tentang hubungan mereka di masa lalu. Alan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati Yuan."Kau ingat saat kita pergi ke Paris?" Fiona berkata dengan nada manis. "Itu salah satu kenangan terbaikku ….""Ya, aku ingat semuanya," jawab Yuan singkat, tatapannya kosong.Pada intinya, acara itu sengaja dibuat oleh Fiona agar keluarga Ramiro kembali menjalin kedekatan dengan keluarganya. Sikap manisnya yang menjebak setiap orang pun menuai pujian. Akan tetapi, mereka tidak tahu apakah Fiona benar tulus dengan tindakannya.Di tempat lain, Elara tersenyum puas. Ia mengepalkan tangannya, lalu membuat gerakan sambil berteriak kecil. “Yes!”Elara kembali ke rumah majikannya. Ia mulai memikirkan sesuatu di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Ramiro.“Aku lega, tapi … begitu pekerjaan selesai, aku harus segera pulang. Ak
Fiona melangkah keluar dengan senyum terselubung di wajahnya. Ia tahu, permainan ini belum selesai. Yuan mungkin sudah berubah, tapi ia percaya bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan. Bagaimanapun juga, ia takkan mundur sebelum tujuannya tercapai—mengukuhkan dirinya sebagai bagian dari keluarga Ramiro.Sementara, Yuan meminta diantar ke kamarnya oleh Elara Rose. Fiona justru menelpon seseorang untuk melancarkan rencananya.“Buat semuanya tanpa jejak, se-natural mungkin. Cari wanita yang bersedia menjadi umpan untuknya.” Fiona tampak celingukan, khawatir seseorang mendengar percakapannya.“Baik, Nona. Semua sesuai dengan keinginan Anda.”Panggilan berakhir. Fiona menatap Yuan yang baru saja keluar dari lift lantai dua menuju ke kamarnya, dibantu Elara. Senyuman licik menghias di wajah Fiona.Mereka masuk ke kamar Yuan. Setelah itu, Yuan meminta Elara membawakan makanan untuk sarapan, karena tadi ia tidak sempat makan akibat ulah Fiona.“Elara,” panggil Yuan sebelum Elara sempat keluar
Detik itu juga, seluruh isi ruangan seakan membeku. Fiona pun tertegun, mulutnya sedikit terbuka, sementara Elara mematung di tempatnya, matanya membelalak.“Yuan?” gumam Elara pelan, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Yuan berjalan perlahan menuju mikrofon, tubuhnya tegak, meskipun gerakannya tampak sedikit canggung. Terdengar bisik-bisik dari tamu yang hadir, seolah mereka juga tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan.“Selamat malam, semuanya,” ulang Yuan, suaranya tegas. “Terima kasih telah datang ke acara malam ini. Saya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa syukur atas dukungan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya.”Ruangan langsung hening. Semua tamu, bahkan Fiona, memandang Yuan dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kekaguman.Fiona akhirnya sadar dari keterkejutannya dan melangkah maju dengan langkah cepat. “Yuan? Bagaimana mungkin…?” tanyanya dengan suara pelan namun tajam, nyaris berbisik. “Kau bilang belum bisa berdiri tanpa bantu
Elara berdiri mematung di depan kamar Yuan. Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah, campur aduk dengan kekhawatiran. Dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, dengan bayangan Yuan yang tampak frustasi terlintas di benaknya. Alex yang berdiri di sebelahnya menghela napas panjang.“Elara,” panggil Alex perlahan. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, kau tahu ini bukan salahmu, kan?”Elara menoleh, matanya berkaca-kaca.“Tapi jika aku tidak membuat kesalahan saat acara tadi ... mungkin dia tidak akan memaksakan diri seperti itu.”“Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus,” jawab Alex tegas. “Yuan memang keras kepala. Jika dia memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.”Sebelum Elara sempat menjawab, suara sepatu heels yang nyaring semakin mendekat. Fiona muncul di ujung lorong dengan senyum manis yang—dalam situasi ini—lebih terlihat seperti ejekan.“Oh, aku dengar Yuan jatuh, ya?” Fiona bersuara ceria yang berlebihan, matanya langsung menangkap Elara dengan tatapan t
Martha menyeret Elara Rose menuju ke taman dengan ekspresi tegas, tak peduli betapa Elara mencoba menjelaskan sesuatu. Sesampainya di halaman rumput yang luas itu, Martha melipat tangan di dada, berdiri dengan tatapan yang tajam.“Elara, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” kata Marta, dingin.“Tapi, Nyonya Marta, saya sudah diberhentikan oleh Tuan Muda Yuan. Saya hanya mematuhi perintah.” Elara menjawab dengan suara bergetar, berusaha tetap sopan.Martha menggeleng, matanya menyipit. Kemudian, ia meraih bahu Elara Rose, membimbingnya agar duduk di kursi taman.“Dengar baik-baik, Elara. Kamu masih terikat kontrak dengan keluarga ini. Gaji untuk masa kerja ke depan sudah kami bayarkan ke agensi. Jadi, kalau kamu memutuskan pergi, berarti kamu melanggar kontrak. Ada denda dan sanksi atas pelanggaran tersebut.”Elara terdiam, wajahnya memucat. Ia tahu kalau dirinya akan dikenai penalti besar. Uang yang jelas tidak ia miliki.“Tapi ….” Elara mencoba mencari celah, tapi Marta memotongnya ce
Martha menggenggam dokumen dengan tangan yang sedikit bergetar. Matanya menatap tajam ke arah Elara Rose, yang berdiri dengan wajah pucat, tak tahu harus berkata apa. Victor menghela napas panjang, sementara Yuan hanya memandang Fiona dengan sorot mata dingin."Jadi ini?" Martha menunjuk dokumen itu. "Kau memalsukan umur dan ijazah perawat? Kau bahkan belum lulus dari Universitas?"Elara tertegun, napasnya tersengal. "Nyonya Martha, saya bisa jelaskan—""Jelaskan apa?" Martha memotong dengan suara yang penuh kemarahan. "Bahwa kau hanyalah gadis desa yang memalsukan dokumen agar bisa bekerja di keluarga kami? Bagaimana kami bisa percaya pada seseorang yang bahkan berbohong tentang identitasnya?"Elara merasa tubuhnya lemas. Ia memang salah, tapi tidak ada tujuan lain selain bisa mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup. Namun, sepertinya kali ini Martha benar-benar tidak respect lagi padanya."Saya benar-benar tidak bermaksud menipu, Nyonya. Saya hanya ... terpaksa melakukannya kar
Elara menahan napas, tubuhnya meringkuk di antara tumpukan sayuran hijau yang memenuhi bak. Jantungnya berdegup kencang ketika suara langkah kaki mendekat dari arah belakang. Dia menggigit bibirnya, berdoa dalam hati agar tidak ketahuan. Terdengar suara kenek yang berbicara dengan seseorang, "Bagaimana, Bang? Apa kami sudah bisa pergi?" "Sebentar, masih dicek aja, siapa tahu ada barang selundupan," jawab suara berat yang tidak dikenal oleh Elara. Cahaya remang-remang dari lampu jalan menyusup masuk saat orang-orang itu menyingkap lebih banyak lagi terpal penutup sayuran. Elara menunduk lebih dalam, menyatu dengan sayuran yang warnanya kebetulan senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sayur-sayur yang lembap menempel di kulitnya, membuat tubuhnya terasa dingin. Pria yang membuka bak tampak memicingkan mata, mencoaba melihat lebih jelas ke dalam. Namun penerangan yang minim membuatnya kesulitan. "Bersih, nggak ada apa-apa," gumamnya. Bak ditutup kembali dengan bunyi berderak yang
Elara menatap tajam ke arah pria asing yang kini berdiri di hadapannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tatapan licik dan seringai di wajahnya. Meski dia tidak mengenalnya, naluri Elara langsung memperingatkannya bahwa pria ini berbahaya."Saya tidak kenal Anda. Tolong jangan ganggu saya," ucap Elara dengan suara bergetar.Pria itu menyeringai semakin lebar. "Ah, Elara Rose. Gadis desa yang ingin jadi orang kota, ya? Jangan pura-pura tidak kenal. Aku Darwis, anaknya Pak Lurah di kampungmu. Kau pikir bisa lari dari perjodohan ini, setelah semua yang keluargaku berikan pada orang tuamu?"Elara membeku, kenapa lelaki bernama Darwis itu bisa ada di sini? Dia baru saja diusir dari rumah keluarga Ramiro, dan kini orang yang ia hindari justru muncul, menambah masalah."Aku tidak punya urusan denganmu," tegas Elara, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang. "Dan aku tidak tahu bagaimana kau bisa menemukanku di sini."Darwis mendekat dengan langkah santai. Gayanya yang sok as
Martha menggenggam dokumen dengan tangan yang sedikit bergetar. Matanya menatap tajam ke arah Elara Rose, yang berdiri dengan wajah pucat, tak tahu harus berkata apa. Victor menghela napas panjang, sementara Yuan hanya memandang Fiona dengan sorot mata dingin."Jadi ini?" Martha menunjuk dokumen itu. "Kau memalsukan umur dan ijazah perawat? Kau bahkan belum lulus dari Universitas?"Elara tertegun, napasnya tersengal. "Nyonya Martha, saya bisa jelaskan—""Jelaskan apa?" Martha memotong dengan suara yang penuh kemarahan. "Bahwa kau hanyalah gadis desa yang memalsukan dokumen agar bisa bekerja di keluarga kami? Bagaimana kami bisa percaya pada seseorang yang bahkan berbohong tentang identitasnya?"Elara merasa tubuhnya lemas. Ia memang salah, tapi tidak ada tujuan lain selain bisa mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup. Namun, sepertinya kali ini Martha benar-benar tidak respect lagi padanya."Saya benar-benar tidak bermaksud menipu, Nyonya. Saya hanya ... terpaksa melakukannya kar
Martha menyeret Elara Rose menuju ke taman dengan ekspresi tegas, tak peduli betapa Elara mencoba menjelaskan sesuatu. Sesampainya di halaman rumput yang luas itu, Martha melipat tangan di dada, berdiri dengan tatapan yang tajam.“Elara, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” kata Marta, dingin.“Tapi, Nyonya Marta, saya sudah diberhentikan oleh Tuan Muda Yuan. Saya hanya mematuhi perintah.” Elara menjawab dengan suara bergetar, berusaha tetap sopan.Martha menggeleng, matanya menyipit. Kemudian, ia meraih bahu Elara Rose, membimbingnya agar duduk di kursi taman.“Dengar baik-baik, Elara. Kamu masih terikat kontrak dengan keluarga ini. Gaji untuk masa kerja ke depan sudah kami bayarkan ke agensi. Jadi, kalau kamu memutuskan pergi, berarti kamu melanggar kontrak. Ada denda dan sanksi atas pelanggaran tersebut.”Elara terdiam, wajahnya memucat. Ia tahu kalau dirinya akan dikenai penalti besar. Uang yang jelas tidak ia miliki.“Tapi ….” Elara mencoba mencari celah, tapi Marta memotongnya ce
Elara berdiri mematung di depan kamar Yuan. Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah, campur aduk dengan kekhawatiran. Dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, dengan bayangan Yuan yang tampak frustasi terlintas di benaknya. Alex yang berdiri di sebelahnya menghela napas panjang.“Elara,” panggil Alex perlahan. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, kau tahu ini bukan salahmu, kan?”Elara menoleh, matanya berkaca-kaca.“Tapi jika aku tidak membuat kesalahan saat acara tadi ... mungkin dia tidak akan memaksakan diri seperti itu.”“Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus,” jawab Alex tegas. “Yuan memang keras kepala. Jika dia memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.”Sebelum Elara sempat menjawab, suara sepatu heels yang nyaring semakin mendekat. Fiona muncul di ujung lorong dengan senyum manis yang—dalam situasi ini—lebih terlihat seperti ejekan.“Oh, aku dengar Yuan jatuh, ya?” Fiona bersuara ceria yang berlebihan, matanya langsung menangkap Elara dengan tatapan t
Detik itu juga, seluruh isi ruangan seakan membeku. Fiona pun tertegun, mulutnya sedikit terbuka, sementara Elara mematung di tempatnya, matanya membelalak.“Yuan?” gumam Elara pelan, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Yuan berjalan perlahan menuju mikrofon, tubuhnya tegak, meskipun gerakannya tampak sedikit canggung. Terdengar bisik-bisik dari tamu yang hadir, seolah mereka juga tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan.“Selamat malam, semuanya,” ulang Yuan, suaranya tegas. “Terima kasih telah datang ke acara malam ini. Saya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa syukur atas dukungan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya.”Ruangan langsung hening. Semua tamu, bahkan Fiona, memandang Yuan dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kekaguman.Fiona akhirnya sadar dari keterkejutannya dan melangkah maju dengan langkah cepat. “Yuan? Bagaimana mungkin…?” tanyanya dengan suara pelan namun tajam, nyaris berbisik. “Kau bilang belum bisa berdiri tanpa bantu
Fiona melangkah keluar dengan senyum terselubung di wajahnya. Ia tahu, permainan ini belum selesai. Yuan mungkin sudah berubah, tapi ia percaya bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan. Bagaimanapun juga, ia takkan mundur sebelum tujuannya tercapai—mengukuhkan dirinya sebagai bagian dari keluarga Ramiro.Sementara, Yuan meminta diantar ke kamarnya oleh Elara Rose. Fiona justru menelpon seseorang untuk melancarkan rencananya.“Buat semuanya tanpa jejak, se-natural mungkin. Cari wanita yang bersedia menjadi umpan untuknya.” Fiona tampak celingukan, khawatir seseorang mendengar percakapannya.“Baik, Nona. Semua sesuai dengan keinginan Anda.”Panggilan berakhir. Fiona menatap Yuan yang baru saja keluar dari lift lantai dua menuju ke kamarnya, dibantu Elara. Senyuman licik menghias di wajah Fiona.Mereka masuk ke kamar Yuan. Setelah itu, Yuan meminta Elara membawakan makanan untuk sarapan, karena tadi ia tidak sempat makan akibat ulah Fiona.“Elara,” panggil Yuan sebelum Elara sempat keluar
Sementara di rumah majikannya, Fiona duduk di sebelah Yuan saat acara dimulai. Ia terus berbicara tentang masa lalu mereka, memancing setiap orang untuk turut berkomentar tentang hubungan mereka di masa lalu. Alan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati Yuan."Kau ingat saat kita pergi ke Paris?" Fiona berkata dengan nada manis. "Itu salah satu kenangan terbaikku ….""Ya, aku ingat semuanya," jawab Yuan singkat, tatapannya kosong.Pada intinya, acara itu sengaja dibuat oleh Fiona agar keluarga Ramiro kembali menjalin kedekatan dengan keluarganya. Sikap manisnya yang menjebak setiap orang pun menuai pujian. Akan tetapi, mereka tidak tahu apakah Fiona benar tulus dengan tindakannya.Di tempat lain, Elara tersenyum puas. Ia mengepalkan tangannya, lalu membuat gerakan sambil berteriak kecil. “Yes!”Elara kembali ke rumah majikannya. Ia mulai memikirkan sesuatu di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Ramiro.“Aku lega, tapi … begitu pekerjaan selesai, aku harus segera pulang. Ak
Ketika Yuan mendekatkan wajahnya, Elara hampir lupa bagaimana cara bernapas. Namun, bukannya mengatakan sesuatu yang romantis atau menyentuh, Yuan malah berbisik dengan nada serius."Ada kutu di rambutmu," katanya dengan ekspresi datar.Elara membuka matanya lebar-lebar. "Apa? Kutu?" tangannya langsung bergerak panik, mencoba mencari mie yang dimaksud. Ia menyapu rambutnya ke sana ke mari, tetapi tidak menemukan apa pun.Yuan menyandarkan diri di kursi rodanya sambil tertawa kecil. "Tenang saja. Aku bercanda."Elara menatapnya dengan campuran rasa kesal dan malu. "Tuan Yuan! Itu tidak lucu! Saya hampir berpikir Anda akan—""Akan apa?" Yuan memotong, menyeringai penuh kemenangan.Elara mendengus dan memutar badannya. "Lupakan saja."Namun, momen konyol itu segera sirna ketika suara langkah kaki mendekat. Sebelum mereka sempat berkata apa-apa lagi, pintu kamar Yuan terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang berwarna karamel dan gaun elegan berdiri di sana. Ia memancarkan aura