Share

RENATA DAN SAMUDERA BIRU
RENATA DAN SAMUDERA BIRU
Penulis: Ntut Roesnawati

1. Pemilik Gedung

Penulis: Ntut Roesnawati
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-21 07:51:02

"Permisi."

Renata mengangkat wajah dari mesin Cash Drawer.

---Ya Tuhan, seperti inikah rupa bidadara?--

"Nona, permisi."

Ah, sial. Ia melamun. Tapi sungguh, lelaki ini rupawan. Kulitnya bersih, hidungnya mancung, rambutnya hitam mengkilat, matanya kombinasi cemerlang dan tajam.

Penampilannya juga terlihat necis. Stelan jas semi formal dengan celana bahan menggantung sedikit di atas mata kaki sangat sempurna melekat di tubuhnya yang menjulang.

"Oh maaf. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mencari pemilik toko kerajinan tangan ini."

"Saya sendiri."

"Ah, kebetulan sekali. Perkenalkan, saya Samudera Biru Natatama."

Sudut mulut Renata terangkat. Samudera Biru? Kenapa tidak sekalian Samudera Hindia Saja?

"Pemilik baru gedung ini."

"Eh, apa? Pemilik baru?"

Seketika Renata bersikap sempurna, waspada. Bagaimana tidak, dua minggu lalu pemilik lama menginformasikan kepada semua penyewa jika gedungnya berpindah tangan. Tapi sama sekali tak menyangka pemilik barunya datang sendiri dengan wujud sekinclong ini.

Ah, lupakan! Bukan itu fokusnya sekarang.

Pemilik baru itu meminta seluruh penyewa untuk hengkang dari gedung yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Lewat surat pemberitahuan resmi tentu saja.

Alasannya akan dipugar total.

Meski berjanji akan mengganti uang sisa kontrak yang belum habis, tetap saja itu tidak adil karena terlalu mendadak.

Di kota seperti Jakarta tidak mudah mencari tempat strategis dengan harga manusiawi. Belum lagi memulai usaha di tempat baru itu berat. Tidak bisa langsung ramai. Butuh promosi lagi, renovasi lagi.

Intinya butuh biaya lebih banyak!

"Benar, pemilik gedung."

Renata meringis mendengar penekanan pada kata pemilik gedung.

"Jadi ada perlu apa Bapak Samudera Biru datang ke toko saya?"

Alis lelaki itu bertaut. Penyewa satu ini terlihat tangguh dan sedikit angkuh.. Tampak mengabaikan penampilannya yang tidak biasa.

Cukup menarik, tidak sia-sia dia merepotkan diri menangani urusan gedung ini secara langsung. Ternyata masih ada manusia yang cukup resisten dengan aura dan pesonanya.

Sambil berdehem Samudera Biru menyilangkan kaki, menautkan jari-jari tangannya yang berada di atas meja.

"Pertama, panggil saya Biru. Kedua, saya bukan bapak-bapak. Ketiga, seharusnya saya yang bertanya, kapan Anda pindah?"

Renata menahan napas mendengar rentetan kalimat lelaki bernama Samudera Biru itu. Saat mengatakannya memang disertai sedikit senyuman yang kemanisannya mungkin setara dengan madu. Sayangnya, juga membekal aura intimidasi sangat besar. Membuat siapa pun lawan bicaranya menjadi gentar dan ingin mengakhiri pembicaraan secepat mungkin.

Termasuk Renata. Kedua kakinya gemetar.

"Begini, Bapak ... maaf ... Mas Biru. Saya menolak pindah dari tempat ini. Karena itu tidak adil.,"

Mata Samudera Biru menyipit. Sedikit terganggu oleh kata 'mas' yang diucapkan Renata. Terdengar aneh tapi sedikit manis.

"Tidak adil? Saya akan mengganti uang sisa kontrak."

Renata menghela napas. "Saya tahu. Tapi tetap saja itu tidak sebanding dengan biaya yang harus saya keluarkan untuk mendapat tempat baru."

"Saya akan ganti tiga kali lipat."

"Apa?" Renata mengerjap tak percaya.

"Jika uang masalahnya, saya bersedia mengganti tiga kali lipat."

Renata tersenyum kaku, mengendalikan wajahnya agar terlihat wajar. Tiga kali lipat itu jumlah yang lumayan.

Renata menghela napas, menenangkan otak serakahnya. Dengan memasang sedikit ekspresi menyesal sebagai formalitas, ia menolak, "Maaf Mas Biru, sebenarnya ini bukan sekedar masalah uang. Saya harus mempertimbangkan banyak hal. terutama pelanggan tetap saya."

Samudera Biru mengetuk-ngetukan jari.

"Sepuluh kali lipat. Saya akan mengganti sepuluh kali lipat. Bagaimana?"

Otak serakah Renata kembali terpicu, menghitung dengan sangat cepat. Demi apa pun ia sangat tergiur!

Sepuluh kali lipat jumlah yang lebih dari ideal. Dengan uang itu ia bisa menyewa toko di gedung yang lebih bagus.

Tapi, ada hal lain yang membuat hati Renata terasa berat.

"Bagaimana?" Samudera Biru bertanya dengan tidak sabar.

"Beri saya waktu tiga bulan," balas Renata sambil menggigit bibir bawahnya,

Mata cemerlang Samudera Biru menyapu wajah Renata. Membuat gadis itu semakin intens menggigiti bibirnya, gelisah.

"Satu bulan. Lebih dari itu saya terpksa menggunakan cara sedikit kasar."

"Tapi tidak mudah mencari tempat baru, sebulan tidak akan cukup," Renata beralibi.

"Itu urusan Anda. Saya sudah sangat murah hati mau mengganti sepuluh kali lipat. Ingat Nona, tidak ada perjanjian tertulis ketika Anda menyewa toko ini, jadi secara hukum posisi Anda lemah."

Keringat Renata nyaris berguguran. Tak menyangka kecerobohannya untuk tidak menggunakan surat perjanjian sewa berbuntut merepotkan. Dulu ia berpikir itu bukan sesuatu yang terlalu penting mengingat pengalamannya beberapa kali berpindah tempat usaha selalu lancar, hampir tidak pernah mengalami masalah berarti.

Jika ditekan secara hukum, Renata mengibarkan bendera putih. Gadis itu menghela napas, menatap Samudera Biru dengan sedikit kebencian

"Baiklah, saya setuju."

Ada senyum puas di bibir Samudera Biru melihat ketidakberdayaan di wajah Renata.

"Terima kasih atas kerja samanya, Nona?"

"Renata."

"Nona Renata. Hubungi saya setelah Anda mendapat tempat baru."

Renata menerima kartu yang disodorkan Samudera Biru. Terlihat mewah, namun ia tak tertarik. Pikirannya mengembara.

Ada alasan khusus yang membuat Renata enggan meninggalkan gedung ini. Meski terlihat tua dan terbengkalai, entah kenapa dia seperti terikat padanya. Ada perasaan nyaman dan memiliki yang kuat di hatinya.

Seperti perasaan terhadap rumah tua keluarga besar..

Lebih dari itu, gedung bobrok ini membuat malam-malam Renata menjadi lebih baik, jarang berhias mimpi buruk seperti banyak malam suram yang pernah dia lalui.

Semua penghuni kasat mata di gedung ini pun cenderung lebih kalem. Sehingga energi Renata tidak terlalu banyak terkuras untuk interaksi-interaksi tidak penting.

Ya, Renata bisa melihat makhluk alam lain!

"Baiklah, saya permisi," Samudera Biru memutus pikiran Renata. Lelaki jangkung itu berdiri, menyelipkan sejumput rambut gelombangnya ke belakang dengan gerakan yang bisa membuat sebagian wanita meleleh seperti lilin terbakar.

Aroma parfum bercampur dengan feromon tubuhnya yang dari tadi memonopoli indera penciuman Renata mulai bekerja, meracuni kewarasannya sesaat.

"Ada apa?" Alis Samudera Biru bertaut melihat Renata yang menatapnya seperti orang bodoh.

"Bukan apa-apa," Renata mengelak. Pipinya merona, kaget sekaligus malu tertangkap basah sedang menatap sedemikian rupa. Renata kembali menggigit bibir bawahnya, merasa menjadi gadis paling mesum sejagad raya.

Samudera Biru tersenyum miring. Mencondongkan sedikit tubuhnya pada Renata yang berdiri kaku seperti arca.

"Hubungi aku jika kau butuh bantuan untuk menggigiti bibirmu."

"A... apa?" Renata terbata, bisikan itu terdengar seperti sihir di telinganya.

Samudera Biru tertawa kecil. Berlalu meninggalkan Renata yang sibuk mengendalikan debaran di dadanya.

"Ah, bajingan itu. Sial!" Renata memaki dalam hati. Lelaki itu terang-terangan mengejeknya.

"Hei!!!"

Suara nyaring Renata seperti menghentikan aliran waktu. Membuat langkah Samudera Biru yang baru mencapai pintu tertahan. Ia berbalik menatap sang gadis dengan senyum terkulum.

"Kau, bajingan mesum!"

Renata menunjuk lurus ke wajah Samudera Biru. Membuat senyum lelaki itu menghilang seketika, berganti dengan tatapan mematikan.

"Mesum? Tidak terbalik? Bukankah kau yang sejak tadi menatapku seperti ingin memangsa. Lihat, sekarang pun kau terus menggigiti bibirmu. Kenapa, kau ingin menggodaku?"

Samudera Biru berjalan mendekat membuat Renata mau tak mau mundur ke belakang hingga menyentuh punggung kursi.

"Kau terlalu percaya diri. Siapa yang mau menggoda lelaki sombong sepertimu?" Renata mendesis.

"Benarkah, lalu kenapa kau terus menggigit bibirmu seperti itu?" Samudera Biru kembali tersenyum miring. Menatap dalam pada bibir penuh berwarna merah muda di depannya.

"Itu ... itu kebiasaanku sejak lama. Tidak ada hubungannya denganmu," jelas Renata. Sedetik kemudian ia menyesal, untuk apa memberi penjelasan pada lelaki gila ini.

"Begitu, sayang sekali. Padahal aku menyukainya."

Telinga Renata tersengat. Lelaki yang kini berdiri kurang dari lima belas senti meter di hadapannya itu benar-benar mengujinya.

"Mesum sialan, enyahlah!" Renata mendorong dada Samudera Biru dengan kedua telapak tangan, membuatnya terpental ke belakang, menabrak pintu kaca.

Renata terhenyak. Tak menduga dorongannya bisa sekuat itu. Padahal jika melihat postur Samudera Biru yang tinggi dan tegap akan mustahil baginya bisa membuat dia terlontar hingga tiga meter dengan begitu mudah.

"Ya, Tuhan." Renata menutup mulut dengan kedua tangan. Bergegas menghampiri Samudera Biru yang tampak mengernyit menahan sakit.

Beruntung pintu kaca tidak pecah, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada lelaki itu.

Renata mengulurkan tangan hendak membantu berdiri, namun tiba-tiba selarik angin panas menghantam, membuat tubuhnya terpelanting. Pelipisnya menumbuk ubin dengan keras.

Renata berteriak kaget sekaligus kesakitan, ketika dia mendongak, di hadapannya berdiri dua sosok tinggi besar berpakaian serba putih, berambut panjang dan berikat kepala. Mengingatkannya pada sosok pendekar dalam film kolosal negeri tirai bambu.

Wajah mereka tampan namun dingin dan keras. Tatapannya menusuk sampai ke dalam kepala Renata.

Renata pias seketika. Ia menyilangkan lengan di depan wajah dan memejamkan mata ketika salah satu sosok datang dengan pedang terhunus.

Sedetik, dua detik, tiga detik, tidak terjadi apa-apa.

"Hei, Nona. Kau tidak apa-apa?"

Renata membuka mata, mengintip dari balik lengan. Tak ada dua sosok berbaju putih. Hanya ada Samudera Biru yang tampak khawatir.

Renata menurunkan tangan, celingak-celinguk. Ia bernapas lega ketika tak menemukan dua sosok itu di mana pun.

"Hei, Nona?" Panggil Samudera Biru semakin khawatir melihat kelinglungan Renata.

"Eh, ya ... saya tidak apa-apa. Kau, kau? Tadi membentur pintu, ada yang luka, sakit?"

Renata mencicit sambil menyentuh tubuh Samudera Biru di sana-sini, persis seperti ibu-ibu yang sedang memilih sayuran segar di pasar.

“Hei, hei … kondisikan tanganmu Nona.”

Samudera Biru menangkap lengan Renata agar berhenti menggerayanginya.

"Oh, ma .. maaf."

Renata menarik tangannya dengan cepat, wajahnya merah padam.

Samudera Biru mengulurkan tangan, membantunya berdiri. Dengan ragu Renata menerima. Merasakan hangat mengaliri kulitnya. Ia mendongak, menatap takjub, dalam jarak sedekat ini lelaki itu terlihat begitu mempesona.

"Lihat, sekarang siapa yang mesum?" Samudera Biru berbisik. Bibirnya melengkungkan senyum tipis.

"Sialan!" umpat Renata dalam hati. Segera menarik tangannya dan mundur beberapa langkah ke belakang.

"Maaf, aku tidak bermaksud melukaimu. Aku tidak tahu tenagaku bisa sekuat itu," ucap Renata pelan, kembali menggigit bibir membuat lelaki di hadapannya memalingkan wajah.

"Jangan khawatir, aku tidak apa-apa," jawab Samudera Biru dengan suara sedikit parau. "Paling mati penasaran, jika terus melihatmu melakukan itu pada bibirmu," lanjutnya dalam hati.

"Syukurlah." Renata mendesah lega. Setidaknya Samudera Biru tidak bersikap keras kepadanya.

"Baiklah, sampai jumpa bulan depan Nona Renata."

Renata mengangguk, menatap kepergian Samudera Biru dengan perasaan aneh.

Ia mengamati dari balik kaca. Melihat bagaimana lelaki itu berjalan anggun menuju sedan putih, di mana seorang pria paruh baya setia menunggu.

Pria paruh waktu itu membungkuk hormat, membukakan pintu belakang mobil dan menutup dengan penuh perhitungan.

Sebelum ikut masuk ke mobil, ia menganggukan kepala ke arah Renata yang dibalas dengan satu anggukan kaku.

***

Bab terkait

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   2. Hadiah Atau Kutukan

    Renata menatap sedan putih yang menjauh dengan tatapan rumit. Ia mengamati telapak tangan yang sudah membuat Samudera Biru terlontar seperti daun kering tertiup angin. Ini seperti de javu, otak gadis itu bekerja keras, mencari serpih-serpih ingatan dalam laci memori kenangannya yang kusam dan bertumpuk-tumpuk. Juga tentang rasa hangat dari genggaman lelaki itu. Ia menemukannya di sana, bersama sosok paling ia benci dan rindukan sekaligus. Singgih Wirayuda, lelaki jahat yang meninggalkan ia dan ibunya. *** 20 Tahun Silam "Rena, Renata!!!" Gadis kecil dengan rambut hitam berbando bunga-bunga mengangkat wajah. Menatap lurus pada wajah ayu yang menghampiri dengan tergopoh. Wanita itu meraup tubuh kecilnya. Menenggelamkan kepalanya dalam pelukan. Sementara beberapa meter dari sana, seorang bocah lelaki tergeletak di tanah. Dua temannya menangis keras, mengundang keriuhan. "Dasar anak setan, kamu apakan anakku, hah?!" Seorang wanita datang menghardik. Tangannya menarik baj

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-23
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   3. Shiny

    Renata menutup telinga. Pekik tawa makhluk itu membuat telinganya sakit. Bau anyir terus merebak hingga membuat paru-parunya terasa seperti tercekik. "Berhentiii!!!" Teriak gadis itu dengan dada naik turun Makhluk di hadapannya menatap lurus. Lidahnya menjulur keluar bersama tetesan liur kental lalu kembali menebar tawa mengerikan. "Plak!!! Plak!!! Plakkk!!!" Suara pukulan terdengar. Lalu hening sejenak, hanya terdengar tarikan-tarikan napas tak beraturan. "Dasar anak nakal!!! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku dengan wujud seperti itu!" Suara Renata menggema di seantero toko. Sebelah tangannya terangkat ke atas, bersiap untuk pukulan susulan. Makhluk itu meringis, mengusap-usap kepalanya yang kena pukul. "Maaf, aku lupa menonaktifkan mode ini." Bola mata Renata berputar, menjatuhkan sebelah tangan yang tadi menggantung di udara. Sambil bersungut ia menuju meja kasir. Makhluk itu mengintilinya. "Kak, laki-laki tampan itu siapa?" "Yang mana? Yang muda atau yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-25
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   4. Rapat

    Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria. Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus. Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan. Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas. "Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata. "Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau. "Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti d

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-26
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   5. Keributan

    Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   6. Pangeran Kerajaan Peri Samudera

    Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   7. Sarapan Yang Sempurna

    Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-08
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   8. Setengah Peri Setengah Manusia

    "Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-14
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   9. Cinta Masa Kecil

    Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-17

Bab terbaru

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   111. Manis

    Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   110. Berharap Bahagia Setiap Hari

    Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   109. Dia Kembali

    Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   108. Termakan Duka

    Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   107. Dia Telah Mati

    Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   106. Kenapa Dia Tidak Datang?

    Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   105. Sepasang Kekasih Dalam Lingkaran Darah

    Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   Proses Ketiadaan

    Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   103. Binasanya Sang Raja Iblis

    “Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan

DMCA.com Protection Status