Renata menatap sedan putih yang menjauh dengan tatapan rumit. Ia mengamati telapak tangan yang sudah membuat Samudera Biru terlontar seperti daun kering tertiup angin.
Ini seperti de javu, otak gadis itu bekerja keras, mencari serpih-serpih ingatan dalam laci memori kenangannya yang kusam dan bertumpuk-tumpuk. Juga tentang rasa hangat dari genggaman lelaki itu. Ia menemukannya di sana, bersama sosok paling ia benci dan rindukan sekaligus. Singgih Wirayuda, lelaki jahat yang meninggalkan ia dan ibunya. *** 20 Tahun Silam "Rena, Renata!!!" Gadis kecil dengan rambut hitam berbando bunga-bunga mengangkat wajah. Menatap lurus pada wajah ayu yang menghampiri dengan tergopoh. Wanita itu meraup tubuh kecilnya. Menenggelamkan kepalanya dalam pelukan. Sementara beberapa meter dari sana, seorang bocah lelaki tergeletak di tanah. Dua temannya menangis keras, mengundang keriuhan. "Dasar anak setan, kamu apakan anakku, hah?!" Seorang wanita datang menghardik. Tangannya menarik baju Renata kecil tanpa ampun. "Hentikan! Jangan sentuh anak saya!" Ratri Maheswari menepis jari-jari mengerikan dari tubuh anaknya yang ketakutan. "Plakkk!!!" Satu tamparan keras mendarat di wajah Ratri Maheswari. Panas dan perih membuat tangannya terkepal namun ekspresinya tidak berubah, terlihat begitu tenang dan tak tergoyahkan. "Lihat baik-baik! Anak sialanmu memukuli anakku sampai pingsan!" "Saya minta maaf, tapi saya yakin Renata tidak melakukan itu tanpa alasan." "Alasan apa? Anakmu memang kasar, liar dan aneh!" Mata Ratri Maheswari berkilat. "Tolong jaga ucapan Anda. Anak Andalah yang kasar dan liar. Anda pikir saya tidak tahu hampir setiap hari anak Anda merundung anak saya. Tapi apa dia membalas? Tidak. Karena dia dididik untuk tidak menyakiti temannya sendiri. Jika sekarang dia membalas, itu artinya anak Anda sudah melampaui batas toleransinya." "Heh, apa ini? Kenapa kamu jadi menyalahkan anak saya. Jelas-jelas anakmu yang bersalah." "Begitukah? Mari kita cari tahu apa hanya anak saya yang bersalah dalam masalah ini." Ratri Maheswari melemparkan tatapan menusuk pada wanita di hadapannya kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Menulikan telinga dari sumpah serapahnya. "Ibu, aku minta maaf," Renata kecil berbisik. "Tidak apa-apa," Ratri Maheswari mencium kepala kecilnya. "Apa sakit?" Lengan Renata terulur, menyentuh tanda kemerahan di pipi ibunya. "Tidak sama sekali," jawab Ratri Maheswari sambil menahan air mata agar tidak meluap. "Bu Ratri, ada apa ini?" Seorang guru masuk dengan wajah khawatir dan bersalah karena lalai mengawasi anak-anak didiknya. "Anak-anak bertengkar. Putri saya tidak sengaja memukul temannya sampai pingsan," Ratri Maheswari membalas dengan sedikit dingin . Matanya penuh ketidakpuasan. "Ya Tuhan, bagaimana kondisi anak itu sekarang?" "Mungkin masih tak sadarkan diri." "Astaga, kalau begitu Bu Ratri tunggu di sini. Kita akan menyelesaikan masalah ini secepatnya." Ratri Maheswari mengangguk setuju. Ia menurunkan Renata, menatap gadis kecilnya dengan senyuman lembut. "Apa Rena terluka?" "Tidak." "Boleh Ibu tahu kenapa Rena memukul teman Rena?" Renata kecil terdiam. "Rena?" panggil Ratri Maheswari lembut. "Dia, dia bilang Ibu ... Ibu penyihir. Dia bilang Rena anak setan, bukan anak Ibu atau Ayah." Helaan napas berat terdengar. "Rena percaya?" Gadis itu menggeleng. "Pintar. Dengar, sayang. Rena adalah putri Ibu dan Ayah. Dan Ibu bukan penyihir, Ayah juga. Kita berdua hanya. orang tua yang beruntung karena memiliki anak yang sangat cantik, baik dan imut seperti Rena." Ratri Maheswari mencubit kecil pipi tembam Renata dan menciumnya dengan kuat hingga si kecil kegelian. Namun kebahagiaan itu hanya bertahan beberapa detik. Wajah Renata tiba-tiba berubah murung. "Bu, kenapa Rena bisa melihat hantu?" Ratri Maheswari seperti membeku namun dengan cepat kembali ke tampilannya yang keibuan dan hangat. "Karena Ibu juga begitu." Renata memiringkan kepala. "Ibu tidak takut?" "Tidak, kenapa takut, mereka juga ciptaan Tuhan sama seperti kita. Rena takut?" "Sedikit." Renata menyentuh ruas telunjuk dengan jempolnya yang mungil. "Tapi kenapa orang-orang tidak bisa?" "Karena kita spesial, itu seperti hadiah dari Tuhan khusus untuk kita." "Tapi kenapa mereka tidak menyukai Rena yang spesial?" "Karena mereka tidak tahu." "Jadi Rena harus memberi mereka tentang hadiah dari Tuhan ini?" "Mm ... biarkan mereka tahu sendiri. Yang terpenting Rena tetep menjadi anak baik, mengerti?" Renata terdiam sejenak kemudian mengangguk. "Bu, tadi dari tangan Rena keluar cahaya putih." Renata mengangkat kedua telapak tangannya. Wajah Ratri Maheswari seketika berubah menjadi tegang. Dia meraih lengan Renata, menatap dengan saksama. "Tidak apa-apa, itu cahaya dari Tuhan, Rena tidak boleh memberitahukannya kepada siapa pun, oke?" "Termasuk Ayah?" "Tidak. Ayah boleh." "Oke." Ratri Maheswari mengelus rambut Renata kemudian menatap berkeliling dengan tajam. Wanita anggun itu menjentikan telunjuk dan jari tengah ke atas. Membangun perisai kehijauan yang tidak bisa dilihat oleh mata orang biasa. Ratri Maheswari menatap ke luar perisai, ke arah di mana makhluk-makhluk aneh yang bermunculan satu per satu. Makhluk-makhluk itu menyeringai dengan sangat agresif. Membuat Renata meringkuk lebih jauh ke dalam pelukan ibunya. Ratri Maheswari mendengus marah dan mengedipkan kedua matanya. Sinar putih berbentuk pedang melesat dari mata cantik itu, memotong sosok-sosok aneh dengan sangat cepat dan akurat. "Crashh ... crashh ... crashh!!!" Potongan tubuh mereka jatuh, berubah menjadi bulir-bulir debu sebelum menyentuh tanah kemudian menghilang begitu saja. Renata melihat semua kejadian dengan ekspresi memuja. "Ibu, Ibu sangat hebat. Rena ingin punya mata seperti Ibu." Ratri Maheswari hanya tersenyum dan mencium kepala gadis kecil itu dalam-dalam. "Sayang, Renata!" Seorang lelaki tegap dengan wajah kharismatik masuk. "Ayahhh!!! Renata menghambur, memeluk pinggang Singgih Wirayudha.. "Anak Ayah yang cantik." Lelaki itu menggendong Renata, menciumnya bertubi-tubi. Mereka tertawa lepas diiringi tatapan sendu Ratri Maheswari. "Sayang." Lelaki itu menghampiri istrinya, memeluk pundaknya dengan sebelah tangan. "Apa yang terjadi, kenapa memanggilku?" Ratri Maheswari menarik napas dalam. Menatap suaminya lekat. "Panca buana," desisnya bergetar. Wajah Singgih seketika memucat. Ia meraih telapak tangan Renata, mengusap perlahan. Sebuah tanda berbentuk bunga lotus putih kebiruan muncul. Cahayanya berpendar indah seperti kilau jutaan pelangi. Senyum Renata merekah, menatap takjub dengan mata polosnya. Singgih Wirayudha kembali mengusap telapak tangan Renata dan tanda itu seketika menghilang. "Ayah, Rena mau lihat lagi," rengek Renata yang masih belum puas melihat. "Baik, tapi nanti, tunggu Rena tumbuh sedikit lebih besar, oke?" "Sekarang Rena sudah lebih besar," Renata tidak mau mengalah. "Tunggu sampai sebesar Ibu. Sekarang itu akan menjadi rahasia kita bertiga saja orang lain tidak boleh ada yang tahu, mengerti?" Meski kecewa Renata kecil tampak berpikir keras.. Kata rahasia terdengar keren di telinganya. Jadi dia mengangguk dengan tegas. Singgih Wirayudha mengusap kepala Renata kemudian menatap Ratri Maheswari. Meski gelisah keduanya tampak sepakat untuk menunggu dan menyelesaikan masalah anak-anak terlebih dahulu. Beruntung, masalah pada akhirnya terselesaikan dengan sejumlah kompensasi fantastis. Pasangan itu tampak tidak peduli, seolah uang bagi mereka hanyalah remah roti tak berharga. Tanpa banyak basa-basi keduanya segera meninggalkan sekolah, berjalan tergesa menuju mobil. Beberapa makhluk kembali berdatangan, mencoba menyerang. Sayangnya mereka bukan tandingan suami istri itu. Mereka hancur bahkan sebelum menyentuh perisai kehijauan yang dibuat Ratri Maheswari. Mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Renata yang menyadari perubahan situasi hanya diam sambil memeluk ibunya. Sesampainya di rumah, Singgih meminta Ratri Maheswari dan Renata masuk lebih dulu. Sementara ia berdiri di halaman dengan mata terpejam. Kedua lengannya terangkat dengan telapak menghadap ke depan. Perlahan cahaya perak keluar dari telapak tangan Singgih Wirayudha, melingkupi rumahnya seperti kubah besar. Setelah itu barulah ia masuk ke dalam menyusul mereka. "Ayah," Renata berlari menyambut. Singgih Wirayudha menekuk lutut, merentangkan tangan. Membiarkan putrinya menabrak tubuhnya dengan keras kemudian mengangkat dan memutarnya di udara. Renata tertawa lebar, memeluk erat-erat. Ia tak ingin berhenti jika Ratri Maheswari tak memaksanya berhenti. Wanita ayu itu membawa Renata ke kamar untuk mengganti baju. Sementara Singgih menatap kepergian mereka dengan mata gusar. Selepas magrib, Ratri Maheswari sengaja membuat Renata tidur lebih cepat. Singgih membopong tubuh kecilnya menuju ruang rahasia di balik lemari. Mereka meletakkan Renata di atas meja batu. Singgih Wirayudha mengibaskan lengan ke atas tubuh putrinya. Secara tiba-tiba tubuh Renata mengeluarkan cahaya putih kebiruan bersama aroma bunga lotus. Suami istri itu saling melempar pandang. Ratri Maheswari maju satu langkah, jemarinya membuat beberapa gerakan, menghasilkan cahaya kehijauan yang sangat dingin. Ia mengarahkan cahaya itu ke tubuh Renata, membuat gadis kecil itu melayang hampir satu meter dari atas batu. Dua cahaya saling bergulung di udara. Keringat mulai menghiasi wajah Ratri Maheswari, membuat Singgih sangat khawatir. Ia akan mendekat namun Ratri Maheswari menggelengkan kepala. Singgih Wirayudha menghembuskan napas berat, hanya bisa menatap istri dan putrinya dengan perasaan was-was. Setelah satu jam lebih barulah cahaya putih kebiruan di tubuh Renata memudar lalu menghilang seiring aroma lotus yang juga menghilang. Tubuh Renata perlahan turun kembali ke meja batu. Sementara Ratri Maheswari terjatuh ke lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya. "Sayang!" Singgih Wirayudha berteriak, memeluk tubuh istrinya yang sedingin es. "Aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Sekarang putri kita akan aman untuk sementara waktu." "Diamlah, jangan banyak bicara." Singgih Wirayudha meletakan telapak tangan di dada istrinya. Menyalurkan energi murni untuk mengobati luka dalamnya. Beberapa saat kemudian tubuh Ratri Maheswari kembali hangat. Singgih Wirayudha membantunya berdiri. "Ayah, ibu." Suara kecil Renata membuat suami istri itu terkejut. Seharusnya Renata tidak akan bangun sampai besok pagi. "Sayang, sudah bangun?" Ratri Maheswari memeluk putrinya. "Rena tidak tidur Ibu. Rena hanya tidak bisa berbicara dan membuka mata." "Benarkah, sejak kapan?" "Sejak Ayah menggendong Rena." Ratri dan Singgih saling melempar pandang. "Ibu, apa Rena sakit? Kenapa Rena di bawa ke sini?" Ratri Maheswari tersenyum "Rena hanya sedikit sakit, jadi Ibu dan Ayah membawa Rena ke sini untuk diobati." "Apa sekarang sudah sembuh?" Ratri Maheswari mengangguk membuat Renata bersorak senang. Singgih Wirayudha menggendong putri kecilnya di punggung, membawa kembali ke kamarnya. "Sekarang waktunya Rena menjadi putri tidur," ucap lelaki itu sambil membaringkan Renata. Renata merajuk namun singgih berhasil membujuknya dengan janji memancing di akhir pekan. Gadis kecil itu masuk ke dalam selimut, memejamkan mata sementara Singgih menepuk-nepuk kakinya sampai Renata benar-benar terlelap. *** Setelah malam itu Renata tak pernah melihat Singgih Wirayudha lagi. Ibunya hanya mengatakan jika dia pergi bekerja. Namun sampai ia dan ibunya pindah ke tempat terpencil dan melepaskan segala kemewahan yang mereka miliki pun lelaki itu tak pernah muncul. Beranjak remaja Renata berhenti bertanya tentang Singgih Wirayudha. Selain karena lelah dan merasa dicampakkan, ia juga tak tega melihat kesedihan di wajah ibunya setiap kali menyinggung masalah tersebut. Mereka memutuskan hidup dalam diam. Menjauh dari orang-orang yang mengenal mereka, menjauh dari hiruk pikuk dunia. Renata merasa disembunyikan namun ia tak bisa protes, lagi-lagi demi ibunya. Sepuluh tahun kemudian Ratri Maheswari meninggal dunia, tepat di depan mata Renata. Saat berusaha melindunginya dari makhluk berjubah hitam, bermata semerah darah yang tiba-tiba menyerang kediaman mereka. Makhluk itu terluka parah dan melarikan diri. Namun harga untuk itu terlalu mahal. Rasanya Renata tak sanggup menanggungnya seandainya ibunya tidak berpesan untuk melanjutkan hidup dengan benar dan menunggu ayahnya kembali. Cih, bahkan Renata sangsi lelaki itu masih ingat jalan pulang ke rumah lama mereka. Meski begitu ia tak menampik, setitik harapan tumbuh di dadanya. Jika ia mati menyusul ibunya, bagaimana ia akan tahu jika ayahnya masih hidup dan mungkin sedang mencarinya? Renata bermain dengan kemungkinan. Tak tanggung-tanggung hingga usianya mendekati dua puluh tujuh tahun atau hampir sepuluh tahun setelah ibunya mangkat. Tapi sang ayah tak pernah kembali. Renata mulai ragu jika lelaki itu masih hidup. Ia juga meragukan perkataan ibunya jika kemampuannya melihat makhluk alam lain adalah sebuah hadiah. Karena pada kenyataannya , itu lebih mirip kutukan yang merampas kebahagiaannya satu per satu. "Dia tampan." Renata terlonjak, lamunannya berceceran dan menguap tanpa sisa. Gadis itu berbalik ke arah sumber suara. Matanya seketika terbelalak dan jantungnya seperti akan berhenti berdegup. Di hadapannya berdiri sosok gadis berseragam SMA dengan rambut panjang meriap kaku. Wajahnya pucat, hidungnya terpotong dan bola matanya menyembul keluar. Bau anyir menyeruak tajam bersamaan dengan tawa nyaring yang menusuk gendang telinga. ***Renata menutup telinga. Pekik tawa makhluk itu membuat telinganya sakit. Bau anyir terus merebak hingga membuat paru-parunya terasa seperti tercekik. "Berhentiii!!!" Teriak gadis itu dengan dada naik turun Makhluk di hadapannya menatap lurus. Lidahnya menjulur keluar bersama tetesan liur kental lalu kembali menebar tawa mengerikan. "Plak!!! Plak!!! Plakkk!!!" Suara pukulan terdengar. Lalu hening sejenak, hanya terdengar tarikan-tarikan napas tak beraturan. "Dasar anak nakal!!! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku dengan wujud seperti itu!" Suara Renata menggema di seantero toko. Sebelah tangannya terangkat ke atas, bersiap untuk pukulan susulan. Makhluk itu meringis, mengusap-usap kepalanya yang kena pukul. "Maaf, aku lupa menonaktifkan mode ini." Bola mata Renata berputar, menjatuhkan sebelah tangan yang tadi menggantung di udara. Sambil bersungut ia menuju meja kasir. Makhluk itu mengintilinya. "Kak, laki-laki tampan itu siapa?" "Yang mana? Yang muda atau yan
Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria. Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus. Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan. Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas. "Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata. "Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau. "Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti d
Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan