Home / Romansa / RENATA DAN SAMUDERA BIRU / 7. Sarapan Yang Sempurna

Share

7. Sarapan Yang Sempurna

last update Last Updated: 2021-09-08 12:10:22

Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya. 

"Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri.

"Kau terlihat cantik, Nona."

Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis.

"Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas.

"Apa kau memintaku menyimpannya sebagai kenang-kenangan?" Samudera Biru mendekat membuat Renata mundur beberapa langkah, tak ingin mabuk aroma. Ini masih pagi dan ia tak menginginkan masalah.

"Kalau begitu aku akan menggantinya, berikan saja nomor rekeningmu."

"Apa aku terlihat miskin?"

Renata mendesah, sadar tak akan menang berdebat.

"Baiklah, terima kasih atas kemurahan hati Anda, Pangeran." Renata membungkuk lalu menegakkan badan dengan sedikit bingung, kenapa ia bersikap demikian? Wujud penghormatan pada seorang pangeran? Yang benar saja, ia bukan rakyatnya.

Samudera Biru mengedikkan bahu, pura-pura tidak peduli namun bibirnya terlihat menahan tawa. Ia tahu Renata melakukan itu karena kesal sekaligus takut. Manusia mana yang tidak menjadi defensif saat berada di sarang makhluk asing? 

"Lekas turun, setelah sarapan sopir akan mengantarmu pulang."

"Sopir? Tidak, tidak usah. Aku akan memesan taksi saja," tolak Renata sambil mengejar langkah Samudera Biru.

"Aku tidak mengizinkan taksi masuk ke pekarangan rumahku."

"Kalau begitu aku akan menyuruh menunggu di jalan."

"Tidak," tegas Samudera Biru.

"Ck ...." Renata berdecak, sulit sekali bicara dengan orang ini, salah, peri ini."

"Silahkan Nona," seorang pelayan mendekati Renata, menarik sebuah kursi di samping kiri kursi Samudera Biru. 

"Terima kasih." Renata melempar senyum, mengira-ngira apakah perempuan di hadapannya peri atau manusia sungguhan. Setelah itu ia mengangguk sopan pada lelaki paruh baya yang duduk di seberang meja. Lelaki bernama Lucas yang tadi memberinya baju ganti, si manusia seribu persen.

Renata menyeringai mengingat percakapan singkatnya dengan lelaki itu.

"Maaf, boleh saya tahu, Anda manusia atau peri?"

"Saya seribu persen manusia seperti Nona."

Ada raut geli di wajah Lucas, membuat Renata meringis malu.

"Syukurlah. Oh iya, apakah Tuan Biru itu benar seorang pangeran peri?"

"Betul."

"Oh. Apa ia jahat? Apa saya akan baik-baik saja setelah ini?"

"Tidak. Itu tergantung bagaimana Nona bersikap. Kalau Nona bersikap baik maka Pangeran Biru akan seribu kali lebih baik, jika Nona bersikap buruk maka ... Nona pasti mengerti maksud saya."

Renata mengangguk. Mengantar kepergian Lucas dengan hati ketar ketir. "Mati aku," gumamnya mengingat sikap judesnya pada Samudera Biru selama ini.

Desah kasar lolos dari mulut Renata. Sesi sarapan yang belum kunjung dimulai ---karena sang pangeran masih terlihat sibuk dengan gawainya-- terasa mencekam. Renata menggaruk kepala,  iseng-iseng mengamati ruang makan. Dominasi warna putih, meja panjang dengan sepuluh kursi model welton semi klasik, lampu gantung kristal, guci-guci tua dan lukisan abstrak abad pertengahan mengisi ruangan dengan serasi. Sebuah taman terhampar di belakang jendela kaca besar, di belakang kursi Samudera Biru. Pohon, rumput dan aneka bunga menyubur di sana, bersisian dengan kolam batu berair jernih. Koi besar warna-warni berenang gemulai disela gemercik air, mencipta harmoni alam yang memanjakan panca indra.

"Makanlah," suara Samudera Biru mengalun, menyudahi tur singkat Renata.

Gadis itu mengangguk, menatap meja antusias, namun kulit keningnya seketika mengerut. Mereka hanya bertiga tapi makanan yang tersaji cukup untuk satu keluarga besar yang sedang mengadakan arisan. 

Dan, tunggu. Apa ini asli? Bagaimana kalau ternyata aneka serangga atau bintang melata lain yang disihir menyerupai makanan manusia? Mata Renata membesar.

"Semua makanan ini sungguhan, Nona. Jangan khawatir." Lucas meyakinkan, seolah bisa mendengar isi kepalanya.

"Begitu," Renata mengangguk bodoh, kalau bisa ia ingin menggali lubang untuk bersembunyi saking malu dan khawatir memancing kekesalan makhluk di sampingnya.

Beruntung makhluk itu hanya tersenyum mengejek, tidak sampai membuat mulutnya miring, lubang hidungnya hilang atau hal mengerikan lainnya.

Dengan canggung Renata mengambil salad dan beberapa sosis goreng. Sungguh hatinya menjerit ingin menerjang semua makanan yang ada di depannya, mencicip satu-satu sampai perutnya terasa ingin meledak. Tapi ia harus mempertahankan image-nya sampai akhir, menunjukan pada peri di sampingnya jika ia adalah negosiator manusia yang bertata krama. Sungguh berat, tapi biarlah, setelah ini ia bisa membeli ketoprak untuk menghibur diri. Sekarang yang terpenting adalah bisa pulang dengan dalam kondisi sehat walafiat. Dan tiba-tiba sepotong daging panggang mendarat di piringnya.

"Makanlah yang banyak, kau butuh energi untuk mengumpatku."

Renata mengerjap, entah harus berterima kasih atau menggerutu. Lelaki peri ini hobi sekali menabuh genderang perang, namun Renata teringat ucapan Lucas, dia harus bersikap baik, apa pun keadaannya.

"Terima kasih," dua kata itu lolos dengan berat.

Samudera Biru tersenyum, matanya menatap penuh arti pada Renata yang mulai memotong daging.

"Apa kalian hanya akan menonton?" Samudera Biru kembali bersuara, kali ini pada ruang kosong jauh di ujung meja.

Lalu "wussss!!!" Kursi terisi penuh oleh peri-peri berpakaian serba putih. 

Mereka membungkuk pada Samudera Biru, Lucas dan Renata, kemudian mulai memilih menu masing-masing.

Renata menggigit sosis, terpesona. Ia baru tahu jika peri memakan makanan yang sama dengan manusia. 

Dengan penasaran ditatapnya satu per satu wajah peri yang sedang makan, mengamati fitur wajah yang serupa tapi tak sama, laiknya idol K-pop di mata emak-emak polos bermata lamur yang pertama kali melihat dari televisi, setelah beberapa saat barulah nampak perbedaannya. Dan peri-peri tampan ini memiliki dua persamaan yaitu aura dingin dan ujung telinga yang sedikit lancip. Tapi kenapa telinga Samudera Biru tidak lancip?

Renata mengingat-ngingat saat lelaki itu menunjukan wujud aslinya. Ah, karena terlalu kaget ia sampai tidak memperhatikan secara detail. Tapi tak apa, lain kali ia akan mengamati dengan baik. Apa, lain kali? Apa ia sedang berharap bertemu dengan lelaki itu lagi? Renata bergidik, kembali fokus pada piringnya.

"Sarapan bersama para peri, sungguh pagi yang sempurna," kekehnya dalam hati.

Ujung bibir Samudera Biru terangkat geli menyadari Renata sedang bergibah ria. Ekspresi konyol di wajahnya itu menjelaskan segalanya. 

Selesai sarapan Samudera Biru mengantar Renata ke garasi. Mata gadis itu tak berkedip menyaksikan jejeran mobil mewah yang terparkir. Nyaris seperti showroom. Pikirannya melesat, membayangkan dirinya sedang mengendarai salah satu mobil itu di jalan dengan laut dan bebukitan di kanan kirinya. Angin mengibarkan rambutnya manja dan ia merentangkan sebelah tangan ke luar jendela. Aduhai surga dunia.

"Sedang apa kau?" 

"Brukkkk!!!" Semua khayalan Renata ambruk. Ia membuka mata, menurunkan kedua lengannya yang terentang lebar perlahan-lahan. Tawa-tawa tertahan membuat cuping telinganya memerah, tembus hingga ke kulit wajahnya yang tanpa bedak.

"Bukan apa-apa," jawab Renata, buru-buru mengganti ekpresi wajahnya menjadi datar.

Samudera Biru terkekeh. "Tawaranku masih berlaku, satu kencan untuk satu mobil," bisiknya membuat saraf di sekujur tubuh gadis itu berlarian.

"Tidak, terima kasih," sambar Renata ketus, lupa pada saran Lucas untuk bersikap baik. 

"Sayang sekali," Samudera Biru kembali terkekeh. "Antar Nona ini pulang." Perintahnya pada sopir yang berdiri di samping BMW 840i hitam. Ia mengangguk dan sigap membuka pintu mobil.

Renata menatap Samudera Biru dengan sorot keberatan namun lelaki itu malah menekuk kepalanya, mendorongnya masuk dan menutup pintu.

"Walau kau seorang pangeran, aku tidak akan mengampunimu kalau melakukan itu lagi," desis Renata dengan kepala melongok ke luar.

"Aku sangat senang ternyata kau ingin bertemu denganku lagi." Mata kiri Samudera Biru mengedip membuat Renata segera menarik kepalanya kesal.

Sopir dan dua penjaga menatap tak percaya pada interaksi di antara keduanya. Bagaimana bisa gadis itu berbicara tidak sopan dan kenapa Samudera Biru bersikap genit. Jelas Ini sangat jauh berbeda dari sikap pangeran yang mereka kenal. Pangeran mereka dengan segala keseriusan, kesopanan, kecerdasan dan keanggunannya tidak mungkin melakukan hal norak seperti itu. Lantas ini apa? Semua pertanyaan itu hanya bisa mereka simpan dalam hati. Mencoba percaya jika pangeran mereka tidak akan bertindak tanpa perhitungan. 

Melihat raut keheranan di wajah sopir dan kedua penjaga membuat Lucas menarik napas, menggerutu pangerannya yang tidak bisa menahan barang sedikit rasa sukanya pada Renata. Tapi apa dia menyadari rasa sukanya? Lucas yakin tidak. Pangerannya itu bodoh kalau soal asmara. 

Tanpa sadar Lucas tersenyum geli lalu kembali berkonsentrasi pada kelanjutan percakapan dua insan di depannya.

"Terserah kau saja, tapi terima kasih atas semua pertolonganmu." Renata membungkukkan badan.

"Tidak masalah dan katakan pada teman-temanmu aku akan datang dalam waktu dekat untuk bicara, jadi jangan melakukan hal konyol."

Renata mengangguk lalu menatap Lucas yang kebetulan sedang menatap ke arahnya. Gadis itu tersenyum manis. "Terima kasih atas bantuannya Tuan Lucas," ucapnya dengan suara lembut.

"Sama-sama, Nona." Lucas balas membungkukkan badan.

Sebelah alis Samudera Biru terangkat, merasa tidak terima Renata lebih bersikap manis kepada Lucas dari pada kepada dirinya.

"Pergilah" usir Samudera Biru ketus. Renata mendelik, decakannya teredam laju mobil.

"Tadi kenapa kau tersenyum begitu?" 

"Apa? Ah, saya merasa geli, Pangeran," aku Lucas yang sedikit kaget mendapat interogasi dadakan dari Samudera Biru.

"Apa kau menganggapku lucu?"

"Tidak, Pangeran. Anda hanya terlihat sedikit menggemaskan pagi ini."

"Apa kau bilang?" Samudera Biru mendesis.

Lucas tertawa, lalu membungkuk. "Maafkan saya."

"Ah, lupakan. Tolong awasi gadis itu," perintah Samudera Biru pada Lucas kemudian berlalu bersama dua penjaga pribadinya.

Lelaki paruh baya itu mengangguk, memberi kode pada dua penjaga lain yang berdiri tak jauh dari situ. Mereka mengangguk lantas menghilang dari pandangan.

***

Related chapters

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   8. Setengah Peri Setengah Manusia

    "Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad

    Last Updated : 2021-09-14
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   9. Cinta Masa Kecil

    Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih

    Last Updated : 2021-09-17
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   10. Panca Buana Dan Jiwa Lotus

    “Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s

    Last Updated : 2021-09-21
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   11. Takdir Dan Penawaran

    Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan

    Last Updated : 2021-09-29
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   12. Keris Wasthu Chandraka

    Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men

    Last Updated : 2021-10-01
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   13. Iblis Kali Maya

    Harapan menyala di mata Renata. Bertemu dengan orang, bukan, peri yang mengenal ayahnya adalah sebuah kemajuan besar dalam pencariannya yang terasa mustahil.“A ... anda tahu di mana ayah saya?”“Tidak, kami terakhir bertemu sekitar sembilan belas tahun lalu, di tempat ini.”Nyala itu memudar menjadi muram. Mengusik hati lelaki berparas indah di depannya.“Jangan khawatir, dalam waktu dekat aku akan mencari tahu, hem?”Renata mengangkat wajah, menemukan manik mata Samudera Biru yang setenang telaga. Sesaat ia tenggelam di sana seperti musafir tersesat.“Terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Renata. Ia menunduk, mengundang secuil senyum makhluk di depannya.“Pangeran, apa yang akan Anda lakukan pada iblis Kali Maya?” tanya Panglima Kuning.“Aku akan menghancurkannya.”“Bukankah itu akan sulit karena dia pernah mencuri sedikit darah

    Last Updated : 2021-10-09
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   14. Ikut Aku Atau Mati

    “Rena ... Renaa ... Renataa.” Mata gadis cantik itu terbuka perlahan. Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Semakin lama semakin jelas dan ia mengenali sebagai suara Singgih Wirayudha, ayahnya. “Ayah?” gadis itu berdiri, mendatangi sumber suara. “Ya, Rena. Kemarilah, Nak.” Renata berjalan menuju lantai bawah dengan perlahan. “Ayah di mana?” “Ayah di sini. Kemarilah,” suara itu kembali terdengar. Renata membuka pintu dan menggeser rolling door. Selangkah lagi kakinya akan melewati pintu tiba-tiba suara Samudera Biru bergaung di kepalanya. “Jangan pernah keluar, Renata!” Ia tertegun, menarik kakinya kembali. Namun, sosok Singgih Wirayudha menjelma. Ia tersenyum dan melambai. Membuat Renata terpaku oleh ribuan rasa yang berdatangan tanpa diminta, mereka berkomplot mengabaikan suara Samudera Biru. “Aa ... Ayah,” ucapnya terbata, tanpa sadar melewati dinding pelindung. Singgih Wirayudha kembali ter

    Last Updated : 2021-10-12
  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   15. Racun Phoenix Api

    Samudera Biru menempatkan Renata di atas meja pipih terbuat dari batu giok hijau muda yang dingin. “Pukk!! Pukk!! Pukk!!" Hei, bangun!!!” Renata mengerang, tubuhnya terasa kosong, seolah seluruh energinya terhisap oleh sesuatu yang tak terlihat. “Apa?” tanya gadis itu nyaris tak terdengar. “Buka matamu.” “Hem.” Kinara mengangkat sedikit kelopak, mati-matian bertahan agar tidak jatuh dan menutup kembali. “Tahan sebentar, ini cukup menyakitkan.” Samudera Biru memegang ujung jarum, lalu menarik dalam satu gerakan kuat. “Arrghh!!” Jeritan Renata dipantulkan dinding-dinding batu. Nyeri teramat hebat mendera, seperti sesuatu yang berakar dicabut paksa dari bahunya. Bagaimana tidak, ujung jarum itu ternyata terpecah menjadi enam bilah sangat tipis dengan ujung menekuk seperti jangkar. Daya cengkeramnya tidak main-main, sejumput daging ikut tercabut keluar. Darah mengalir

    Last Updated : 2021-10-20

Latest chapter

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   111. Manis

    Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   110. Berharap Bahagia Setiap Hari

    Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   109. Dia Kembali

    Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   108. Termakan Duka

    Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   107. Dia Telah Mati

    Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   106. Kenapa Dia Tidak Datang?

    Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   105. Sepasang Kekasih Dalam Lingkaran Darah

    Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   Proses Ketiadaan

    Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny

  • RENATA DAN SAMUDERA BIRU   103. Binasanya Sang Raja Iblis

    “Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan

DMCA.com Protection Status