“Rena ... Renaa ... Renataa.”
Mata gadis cantik itu terbuka perlahan. Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Semakin lama semakin jelas dan ia mengenali sebagai suara Singgih Wirayudha, ayahnya.
“Ayah?” gadis itu berdiri, mendatangi sumber suara.
“Ya, Rena. Kemarilah, Nak.”
Renata berjalan menuju lantai bawah dengan perlahan.
“Ayah di mana?”
“Ayah di sini. Kemarilah,” suara itu kembali terdengar.
Renata membuka pintu dan menggeser rolling door. Selangkah lagi kakinya akan melewati pintu tiba-tiba suara Samudera Biru bergaung di kepalanya.
“Jangan pernah keluar, Renata!”
Ia tertegun, menarik kakinya kembali. Namun, sosok Singgih Wirayudha menjelma. Ia tersenyum dan melambai. Membuat Renata terpaku oleh ribuan rasa yang berdatangan tanpa diminta, mereka berkomplot mengabaikan suara Samudera Biru.
“Aa ... Ayah,” ucapnya terbata, tanpa sadar melewati dinding pelindung.
Singgih Wirayudha kembali ter
Samudera Biru menempatkan Renata di atas meja pipih terbuat dari batu giok hijau muda yang dingin. “Pukk!! Pukk!! Pukk!!" Hei, bangun!!!” Renata mengerang, tubuhnya terasa kosong, seolah seluruh energinya terhisap oleh sesuatu yang tak terlihat. “Apa?” tanya gadis itu nyaris tak terdengar. “Buka matamu.” “Hem.” Kinara mengangkat sedikit kelopak, mati-matian bertahan agar tidak jatuh dan menutup kembali. “Tahan sebentar, ini cukup menyakitkan.” Samudera Biru memegang ujung jarum, lalu menarik dalam satu gerakan kuat. “Arrghh!!” Jeritan Renata dipantulkan dinding-dinding batu. Nyeri teramat hebat mendera, seperti sesuatu yang berakar dicabut paksa dari bahunya. Bagaimana tidak, ujung jarum itu ternyata terpecah menjadi enam bilah sangat tipis dengan ujung menekuk seperti jangkar. Daya cengkeramnya tidak main-main, sejumput daging ikut tercabut keluar. Darah mengalir
Renata membuka mata perlahan. Merasakan dingin batu giok mencucuk hingga jauh ke dalam kulit, daging dan tulangnya.Tak ada lagi rasa panas membara, hanya tersisa rasa ringan yang aneh. Seolah seluruh tubuhnya hanya berisi partikel-partikel kecil yang melayang di udara.“Kau sudah bangun?”Satu suara mengalun membuat Renata seketika terjaga penuh. Di depannya Samudera Biru tampak sedang membaca buku tua dengan kaki terlipat.“Ini jam berapa?” tanya Renata sambil mengusap wajah.“Jam satu siang.”“Astaga, aku harus membuka toko,” ucapnya panik.Samudera Biru menurunkan buku. Memandang penuh geli.“Setelah melewati fase antara hidup dan mati hal pertama yang terlintas di kepalamu adalah membuka toko? Ck, kau luar biasa.”“Tentu saja, toko itu seperti penyambung nyawaku. Dari sana aku bisa bertahan hidup,” sahut Renata sambil beringsut. Namun kembali me
Renata berjalan tertatih sambil menepuk bagian dress yang kotor. Wajahnya menekuk, menatap frustasi pada lutut dan siku yang tergores cukup lebar. Bekasnya pasti tidak sedap dipandang mata.Samudera Biru sangat keterlaluan. Ia baru saja selamat dari racun tapi sudah diserang secara brutal.“Latihan macam apa itu? Bilang saja mau menindasku, huh! Dasar rubah licik tak berperasaan!” umpat Renata sambil meniup luka di telapak tangannya.“Bugh! Aww!!”Karena terlalu fokus Renata menabrak sesuatu yang lebar, keras dan wangi.“Aish, sialnya,” keluh gadis itu sambil menyentuh kening yang berdenyut.Renata mengangkat kepala, menemukan kaus putih dan jas kasual biru laut menggantung sempurna di satu dada kokoh. Ia menelusur, terhenti di paras rupawan dengan bibir semerah kelopak mawar dan mata sejernih kristal.Sungguh keindahan yang bisa meruntuhkan akal sehat, membuat bodoh dan linglung penatap
Renata menghambur, memeluk tubuh lemas Shiny. Menepuk-nepuk wajahnya yang sudah kembali ke wujud aslinya dengan panik. “Astaga, ada apa denganmu? Hei, bangun, jangan menakutiku, Shiny.” “Aroma lotusmu membuat dia kehilangan kontrol.” Renata menoleh, menatap Samudera Biru yang berjalan mendekat. “Apa separah itu efeknya?” Renata menyeka darah Shiny dengan ujung dress. “Untuk makhluk berkekuatan rendah seperti dia itu sangat menyiksa. Instingnya dengan mudah mengambil alih kesadarannya.” “Apa tidak ada cara untuk menghilangkan aroma lotusku?” “Ada.” “Bagaimana caranya?” “Nanti kau akan tahu, sekarang kemasi barang-barangmu dulu.” “Tapi Shiny?” “Jangan khawatir, dia hanya mengalami luka dalam ringan.” Muntah darah dan tak sadarkan diri dianggap luka dalam ringan? Renata ingin memaki namun tatapan dingin Samudera Biru membuatnya terpaksa menelan kekesalannya dalam hati.
Renata menyalakan senter ponsel gemetar. Keringatnya menetes dari setiap pori-pori, sangat kontras dengan udara dingin di bukit.Saat cahaya menyentuh gulita ia nyaris melompat, sekelilingnya penuh oleh berbagai makhluk mengerikan.Meski terbiasa melihat makhluk alam lain tetap saja kali ini terasa berbeda, terlalu banyak, terlalu menekan energinya.Makhluk-makhluk itu mengendus, membaui aroma lotus. Mata mereka persis seperti mata Shiny tadi, buas dan haus.“Ibu, apa perisaimu bisa menahan mereka semua
Mata Renata membeliak. Dadanya teramat sakit dan pengap.Pandangannya perlahan menggelap dan pikirannya yang melemah menampilkan beberapa wajah secara samar-samar. Ibu, ayah, Shiny dan Samudera Biru.Ironis, bahkan disaat terakhir ia masih mengingat wajah keparat yang menyodorkannya pada kematian.Dasar hati sialan!“Crashh!!!”Suara daging terpotong terdengar seiring tubuh yang jatuh ke tanah. Pelan-pelan oksigen kembali mengisi paru-paru bersamaan dengan bau amis cairan hangat yang memerciki wajahnya.“Uhukk!! Uhukk!!” Renata terbatuk. Pandangannya kembali menerang. Matanya terkunci kaku di punggung kokoh beraroma bebungaan langka.Ada lega yang mengaliri sudut-sudut hati dan ia membenci itu, sungguh.Sementara di depannya Nyai Sangsang Merah menatap nyalang pada wajah rupawan beraura luar biasa. Hatinya terpikat namun rasa sakit membuatnya meradang.“Kurang ajar! Beraninya kau memot
Hari masih gelap saat Renata terbangun oleh suara-suara dari kolam renang. Matanya memicing menatap benda kotak di atas nakas, pukul empat.Siapa yang memakai kolam renang sepagi ini?Renata mengerjap, bersila di atas kasur mengumpulkan kesadaran, setelah lengkap beranjak menuju balkon.Udara dingin membuatnya buru-buru memeluk lengan.Di tengah kolam renang tampak Samudera Biru berdiri tegak di atas air. Melakukan beberapa gerakan lembut seperti menari. Perlahan gerakan-gerakan itu semakin bertenaga dan cepat, menimbulkan riak-riak besar di bawahnya.Ia bertelanjang dada, mengekspose tubuh kokoh yang tanpa cela. Celana sutra hitam panjang melekat sempurna di pinggangnya yang ramping.Kulit halusnya tampak berkilau dalam siraman cahaya lampu, sementara rambut legamnya terlontar anggun bersamaan dengan keringat yang meluncur perlahan seperti sungai-sungai pegunungan.Begitu indah, kuat dan seksi.“Glek,” tanpa sadar
Rama berjalan terseok menuju ruang kerja. Di belakangnya Renata tertawa dan terus bergerak seperti kutu loncat.Ratansa yang melihat tak bisa menahan tawa sementara Samudera Biru hanya melirik geli.“Hei, aku berhasil,” Renata menepuk meja.“Benarkah?” Samudera Biru menutup buku dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Tentu saja, lihat baik-baik.”Renata mulai memamerkan hasil latihannya.Samudera Biru memberi kode pada Ratansa untuk maju.Peri tampan berwajah dingin itu menjura lalu bergerak cepat berusaha menjatuhkan Renata dengan berbagai cara.Wajahnya sedikit memucat ketika semua usahanya gagal total. Beberapa kali ia malah sedikit mengernyit menahan sakit akibat berbenturan dengan tulang kering Renata yang terlihat kecil dan rapuh.Rama menyeringai puas, sedikit merasa lebih baik melihat ekspresi Ratansa.“Bagaimana? Aku hebat kan?” Renata menyombong,
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan