Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.
Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangannya menyentuh dada, membagi sedikit energi untuk menormalkan aliran darah yang kacau.
Renata mengerang lirih, keringat bermunculan di dahinya seperti jejak rinai pada kaca. Pelan-pelan napasnya yang tersendat mulai terlihat lancar dan teratur.
Samudera Biru menyeka keringat gadis itu dengan handuk kecil yang disodorkan Lucas lantas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas dada.
"Semua yang terluka sudah diurus?" tanya Samudera Biru pada Lucas.
"Sudah, termasuk teman-teman Nona ini."
"Bagus, setelah diobati suruh mereka kembali ke gedung dan tolong selidiki semua hal yang berkaitan dengan dia, sedetail mungkin,"
Lucas mengangguk lalu bertanya dengan ragu "Apakah Anda membutuhkan kamar lain?"
"Tidak, aku tidur di sini, jadi pergilah."
Lucas kembali mengangguk lalu mengundurkan diri dari pandangan. Sejujurnya ia sedikit terkejut karena ini pertama kali Samudera Biru membawa wanita ke dalam kamar pribadinya. Padahal biasanya Samudera Biru sangat protektif, selain Lucas ia tak akan pernah mengizinkan orang lain masuk ke kamarnya barang selangkah pun, tak terkecuali ayah dan adik perempuannya.
Jika wanita itu bisa sampai di tempat tidurnya berarti dia punya arti besar untuk Samudera Biru. Tapi arti apa, bahkan mereka baru bersua kemarin.
"Selamat jatuh cinta," ucap Lucas dalam hati sebelum benar-benar menyingkir.
"Kenapa kau begitu ceroboh?" desis Samudera Biru menatap Renata yang meringkuk tenang seperti bayi. Jarinya merapikan beberapa lembar surai yang menempel di pipi lalu menyentuh lebam keunguan di pelipisnya. "Apa kau begitu sibuk sampai tidak punya waktu mengurus lukamu sendiri?" sambung lelaki itu lalu mengoleskan salep yang tadi dibawa Lucas bersama handuk kecil. Setelah selesai ia kembali menatap, menaksir fitur wajah Renata dengan hati yang terasa aneh.
Gadis ini tidak terlalu cantik, malah terkategori biasa saja jika dibandingkan dengan wanita-wanita yang dikenalnya. Namun entah mengapa ia merasa terikat padanya. Ia selalu berdebar setiap kali mata mereka berserobok, seluruh indranya tiba-tiba bersekutu membentuk simpul-simpul rindu yang menyiksa lalu memaksa melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan seumur hidupnya pada seorang gadis, seperti menggoda, menjahili atau mengejek, apapun itu agar dia memperhatikannya.
Dan hasratnya mudah sekali tersulut setiap mereka berdekatan. Seperti sekarang, netranya bahkan tak bisa berpaling dari bibir merah muda gadis itu, bibir yang seolah memanggil, menuntun jemarinya untuk membuat sebuah sentuhan.
Ada desir halus yang menjalar ketika ujung jari telunjuknya bertemu dengan daging selembut puding itu. Karenanya tanpa sadar Samudera Biru menurunkan kepala, siap mengenyahkan semua jarak diantara mereka, namun setitik kewarasannya yang tersisa berteriak, melemparnya pada satu kesadaran utuh.
"Astaga, apa yang kulakukan?" desahnya bergidik. Hampir saja ia mencuri ciuman dari seorang wanita yang sedang tertidur. "Memalukan," umpatnya sambil beranjak penuh penyesalan.
Dan sekarang kepalanya berdenyut, menuntut untuk dinetralkan. Lelaki itu menghembuskan napas kasar, menyeret diri ke kamar mandi. Membiarkan jutaan tetes air shower menimpa tubuhnya, membujuk hasrat yang merajuk agar bersemayam dengan tenang.
Setelah ritual pendinginannya selesai barulah ia kembali mendekati Renata, memastikan kondisinya stabil lantas menyerahkan tubuh lelahnya pada sofa besar di seberang ranjang.
Samudera Biru menatap plafon, mengingat cahaya kehijauan Renata yang sangat familier. Bagaimana gadis itu bisa memilikinya? Apa ia sadar memilikinya? Lalu bagaimana ia bisa melihat para penjaganya yang notabene berbeda dari makhluk sejenis hantu, siluman atau dedemit. Mereka sulit ditembus bahkan oleh indera keenam manusia. Kecuali orang itu memiliki kekuatan di atas rata-rata manusia biasa, memiliki perjanjian khusus atau keturunan dari manusia-manusia terpilih. Untuk yang terakhir Samudera Biru sangsi, karena mereka sudah lama melenyapkan diri, tak terjangkau penglihatan batinnya.
Jika Renata adalah salah satu dari sekian manusia yang terpilih maka ia seperti mendapat sebuah jackpot. Usahanya selama bertahun-tahun akan terbayar. Yang dicari datang sendiri ke dalam genggamannya.
"Apa ini takdir, Ibu?" Samudera Biru mendesah lalu menutup mata.
***
Renata menggeliat, merasakan cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ia tersenyum senang, sudah lama sekali tidak tidur selelap ini. Rasanya ia ingin bermalas-malasan sedikit lebih lama di kasur yang sangat empuk dan halus ini. Tunggu, sangat empuk dan halus? Sejak kapan kasur busanya berkarakter seperti itu?
Kelopak mata gadis itu terangkat, mengintip. Warna keemasan langsung menyapa. Keemasan? Seprainya berwarna abu-abu!
Seketika Renata terjaga seratus persen. Memorinya dipaksa bekerja dua kali lipat menyusun keping-keping kejadian semalam. Ia ingat hal terakhir yang dilihatnya adalah tubuh seksi Samudera Biru. Tunggu, kamar ini, di mana aku? Apakah ini kamar lelaki mesum itu? Hwaaa ... Renata mengacak rambut, panik. Ia menyapu kamar luas yang kental dengan sentuhan eropa klasik itu lambat-lambat. Pandangannya membentur sosok Samudera Biru yang terlentang dengan kepala bertumpu pada kedua lengannya.
"Ah, sial! Aku benar-benar berada di rumahnya tapi kenapa bisa sekamar? Apa ia melakukan hal buruk ketika aku tidur?" Rambut-rambut halus di sekujur tubuh Renata berdiri, ia berjingkat, memeriksa apakah ada jejak-jejak nafsu pada kasur. Aman, tak ada apa-apa di sana. Meski begitu ia masih belum puas kalau belum memeriksa setiap inci tubuhnya secara saksama dari atas sampai ke bagian paling sakral di bawah sana.
"Apa kau beharap semalam kita bercinta?"
Tepp! Renata melepas karet celana piyama, menghentikan aksi mengintip area sensitif. Wajahnya semerah kepiting dalam kukusan. Sungguh, ia tak ingin berbalik.
"Kenapa aku di sini? Kenapa kau sekamar denganku?" cicit Renata menutupi rasa malunya dengan bersikap galak. Matanya melempar peperangan pada Samudera Biru yang kini bersila dengan kepala bersandar pada hulu sofa.
"Ini kamarku, kau menumpang di sini," balas Samudera Biru acuh tak acuh.
"Aku tidak memintamu membawaku ke sini. Kau kan bisa mengantarkanku ke toko."
Samudera Biru mendesah, paginya diisi dengan omelan wanita, sempurna.
"Kau pikir aku jasa pengiriman. Kau pingsan seperti mayat, Nona. Jika aku tidak membantumu, kau hanya akan tinggal nama."
Renata terdiam, setelah perisai hijaunya menghilang dadanya memang terasa sakit dan sesak membuat penglihatannya mengabur. Ah, pelindung itu kenapa ada di tubuhnya? Kapan ibunya memberikan itu? Renata mengingat-ngingat masa ketika ibunya meregang nyawa. Tak ada hal dramatis yang dilakukan wanita itu selain tersenyum dan menyentuh pipinya. Apa mungkin memindahkan kesaktian cukup dengan hanya menyentuh dalam tempo singkat. Renata mengerjap, ibunya memang penuh misteri.
"Apa yang kau pikirkan?"
Renata sedikit tergagap, Samudera Biru sudah berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang kokoh membuat Renata tanpa sadar menelusur sampai ke wajah khas bangun tidurnya yang terlihat menawan.
"Tidak ada," jawabnya lalu cepat-cepat memalingkan mata dari pekerjaan cabulnya. "Apa kau seorang pangeran, kenapa desain kamarmu seperti ini?" Gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum lelaki itu memulai ejekannya.
"Aku memang seorang pangeran," jawab Samudera Biru santai lalu kembali meletakan pinggulnya di sofa. Melipat kaki dan tangan dengan gerakan memukau.
Jika tak mengingat mulut kurang ajarnya mungkin Renata akan percaya pada perkataan Samudera Biru. Sejak pertama bertemu dia memang tampak berbeda dari orang kebanyakan. Setiap gerakannya terukur, anggun dan alami seperti memang terlahir dengan semua itu. Belum lagi visual dan kekayaannya yang tampak di atas rata-rata akan membuat semua orang mengamini jika dia adalah seorang pangeran tanpa cela.
"Pangeran bermulut kotor? Hah, lelucon," gumam gadis itu pelan.
"Apa? Kenapa kau bergumam, tak percaya?" tanya Samudera Biru melihat tatapan meremehkan di mata Renata.
"Tidak, aku percaya padamu wahai Pangeran Samudera Biru." Renata menyilangkan sebelah lengannya di dada lalu membungkuk dalam.
Samudera Biru yang melihat itu terkekeh. Dia berdiri dan kembali mendekati Renata.
"Hei, lihat aku baik-baik," perintahnya sambil mengangkat dagu Renata hingga gadis itu terpaksa menatap.
"Wusss ...." angin hangat disertai asap tipis menyelimuti tubuh Samudera Biru lalu menghilang dengan cepat entah ke mana.
Renata mengerjap, mulutnya menganga, terpana pada wujud di hadapannya. Di lihat dari sisi manapun wajah itu memang wajah Samudera Biru tapi penampilannya luar biasa berbeda. Ia mengenakan baju yang mirip dengan baju hanfu berwarna putih keperakan. Ornamen rumit berwarna senada menempel di kedua bahunya yang kokoh. Sebuah mahkota berdesain simpel dengan berlian berwarna biru terang melingkar di batas antara kepala dan dahi, selaras dengan rambut hitam legamnya yang hampir menyentuh pinggang. Satu cincin berbentuk naga berwarna perak melingkar angkuh dijari telunjuknya dan yang paling mencolok dari semua itu adalah semburat cahaya keemasan yang terpancar dari tubuh tegapnya.
Secara keseluruhan ia adalah keindahan.
Renata merasakan tubuhnya seperti tak bertulang, melorot begitu saja ke lantai. Gadis itu menarik napas, mengisi jantung yang terasa kekurangan oksigen akibat lupa bernapas untuk sesaat.
Samudera Biru tertawa terbahak-bahak lalu mengibaskan tangan dan wujudnya seketika kembali pada sosok Samudera Biru yang berpiyama. Ia berjongkok di hadapan Renata. Lagi-lagi mengangkat dagu gadis itu.
"Sepertinya kau sangat terpesona oleh wujud asliku, Nona?"
Renata menghembuskan napas kasar, menepis tangan Samudera Biru dan mengumpulkan kesadarannya yang tercecer. Satu pertanyaan lolos begitu saja dari mulutnya "Kau ini pangeran dedemit dari kerajaan mana?"
"Apa referensi makhluk alam lainmu hanya sebatas dedemit, Nona?" sindir Samudera Biru membalas ejekan Renata waktu itu. "Aku pangeran kerajaan peri samudera," lanjutnya penuh ketegasan.
"Peri? Kau seorang peri?" tanya Renata dengan mata tak percaya.
"Ya," jawab lelaki itu lugas.
"Benarkah, kenapa jauh sekali dari wujud peri yang sering aku lihat di film kartun? Apa kau punya sayap?"
Samudera Biru kembali terbahak, gadis ini sangat menggemaskan. "Tidak, tapi aku bisa membuatnya."
"Boleh aku lihat?" tanya Renata penuh harap, tak peduli lagi pada logikanya yang berteriak-teriak jika ini hanya sebuah tipuan murahan. Renata menyukai sayap sejak kecil, buku gambarnya selalu penuh dengan gambar sayap aneka warna selain aneka wajah dedemit tentu saja. Bahkan sampai sekarang ia masih menyukainya dan menuangkannya dalam bentuk lukisan yang tergantung di dinding kamar. Bukan tanpa alasan, setiap menggambar atau menatap sayap yang terbentang hati Renata akan merasa hangat. Kenangan manis bersama anak lelaki kecil, putra sahabat ibunya terpampang. Hatinya hangat, mengingat dia satu-satunya anak lelaki yang tidak menganggapnya aneh.
"Tidak, kecuali kau beri aku sebuah ciuman."
Wusss!!! Semua kekaguman Renata tersapu angin. Ia berdiri lalu mendelik penuh sewot. "Dalam mimpimu."
Tawa Samudera Biru kembali pecah ia ikut berdiri dan menatap lurus ke wajah yang masih terlihat kesal.
"Jadi, bisa kau jelaskan cahaya hijau milikmu semalam?"
Deg! Jantung Renata seperti akan tanggal. Ia tak ingin siapapun mengetahui siapa dirinya, meski ia sendiri pun tidak benar-benar paham siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya mengingat pesan ibunya untuk tidak membuka identitasnya kepada siapapun. Apalagi kepada pangeran asing yang baru kemarin dikenalnya. Bagaimana jika ia mengincarnya seperti makhluk bermata merah darah itu? Tidak, ia tak akan mengambil resiko.
"Cahaya hijau, cahaya apa?" tanya Renata berpura-pura tidak tahu.
"Kau tidak ingat?"
"Ti ... tidak, aku sama sekali tidak tahu," jawab Renata sedikit gugup, berharap ada keajaiban yang membuat Samudera Biru percaya kebohongannya yang payah.
"Begitu," Samudera Biru mengangguk-angguk, mengulum senyum geli. "Baiklah, pergilah mandi lebih dulu."
"Mandi? Tidak, tidak perlu. Aku akan langsung pulang, selain itu aku tidak punya baju ganti."
"Jangan khawatir, aku akan menyuruh Lucas menyiapkan keperluanmu. Kau pergi setelah sarapan. Aku tidak akan membiarkan tamuku pulang dengan perut kosong."
"Tapi ...."
"Apa lagi? Kau ingin mandi bersamaku?"
Renata mengejang, berlalu dengan kaki menghentak .
Samudera Biru terkekeh, senang karena gadis itu mudah dikontrol bahkan oleh satu gertakan kosong. Puas tertawa ia beranjak keluar kamar, meminta Lucas menyiapkan keperluan Renata. Pria paruh baya itu mengangguk patuh, memanggil pelayan untuk membantunya. sementara Samudera Biru masuk ke dalam ruang kerja yang merangkap ruang baca.
Lelaki itu mengambil sebuah buku tua berwarna coklat dari rak khusus yang tersembunyi di dalam dinding di belakang rak berisi buku-buku lain. Ia membuka halaman demi halaman dan terpukau pada gambar cahaya kehijauan di sana.
"Tak salah lagi," desisnya dengan senyum miring.
***
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan
Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men
Harapan menyala di mata Renata. Bertemu dengan orang, bukan, peri yang mengenal ayahnya adalah sebuah kemajuan besar dalam pencariannya yang terasa mustahil.“A ... anda tahu di mana ayah saya?”“Tidak, kami terakhir bertemu sekitar sembilan belas tahun lalu, di tempat ini.”Nyala itu memudar menjadi muram. Mengusik hati lelaki berparas indah di depannya.“Jangan khawatir, dalam waktu dekat aku akan mencari tahu, hem?”Renata mengangkat wajah, menemukan manik mata Samudera Biru yang setenang telaga. Sesaat ia tenggelam di sana seperti musafir tersesat.“Terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Renata. Ia menunduk, mengundang secuil senyum makhluk di depannya.“Pangeran, apa yang akan Anda lakukan pada iblis Kali Maya?” tanya Panglima Kuning.“Aku akan menghancurkannya.”“Bukankah itu akan sulit karena dia pernah mencuri sedikit darah
“Rena ... Renaa ... Renataa.” Mata gadis cantik itu terbuka perlahan. Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Semakin lama semakin jelas dan ia mengenali sebagai suara Singgih Wirayudha, ayahnya. “Ayah?” gadis itu berdiri, mendatangi sumber suara. “Ya, Rena. Kemarilah, Nak.” Renata berjalan menuju lantai bawah dengan perlahan. “Ayah di mana?” “Ayah di sini. Kemarilah,” suara itu kembali terdengar. Renata membuka pintu dan menggeser rolling door. Selangkah lagi kakinya akan melewati pintu tiba-tiba suara Samudera Biru bergaung di kepalanya. “Jangan pernah keluar, Renata!” Ia tertegun, menarik kakinya kembali. Namun, sosok Singgih Wirayudha menjelma. Ia tersenyum dan melambai. Membuat Renata terpaku oleh ribuan rasa yang berdatangan tanpa diminta, mereka berkomplot mengabaikan suara Samudera Biru. “Aa ... Ayah,” ucapnya terbata, tanpa sadar melewati dinding pelindung. Singgih Wirayudha kembali ter
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan