Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.
Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara.
"Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah hal yang cukup sulit. Kalau sudah begitu maka luka dan kematian tak lagi bisa dihindari.
"Shit!"
Renata menendang selimut, mengambil kartu nama lelaki itu dari laci dan menghubunginya dengan tidak sabar.
Di satu kamar mewah bergaya klasik dengan sedikit sentuhan country. Terlihat Samudera Biru yang baru selesai mandi dan tengah mengenakan piyama hitam satin polos lalu mengambil ponsel yang sejak tadi berdering dari nakas. Keningnya berkerut melihat tujuh panggilan dari nomor asing.
Siapa yang menghubunginya selarut ini? Sepenting apa sampai melakukan panggilan berkali-kali? Karena itu saat panggilan kedelapan masuk Samudera Biru segera menyentuh tombol jawab.
"Kenapa lama sekali mengangkat telepon? Apa kau tahu seberapa seriusnya ini?!"
Samudera Biru menjauhkan ponsel. Omelan panjang wanita di seberang sana membuat telinganya berdengung. Siapa dia? Berani sekali meneriakinya!
"Siapa kau?!" hardik Samudera Biru kesal.
Terdengar desah halus dari ponsel.
"Aku, Renata."
Renata? Mata Samudera Biru membesar. Apakah dia Renata yang seharian ini memenuhi kepalanya. Apakah dia si pemilik bibir sialan itu? Bibir yang membuatnya memikirkan hal kotor tanpa henti.
"Pemilik toko kerajinan?" sambarnya cepat.
"Ya, itu aku."
Senyum Samudera Biru rekah, cahaya berpendaran di matanya. Meski begitu ia tak ingin gadis itu tahu betapa senangnya ia mendapat telepon darinya. Setelah semua tuduhannya tadi siang, kali ini ia harus lebih bersikap keras.
"Ada apa? Kau tidak lihat ini pukul berapa? Apa kau tidak punya sopan santun?"
Terdengar helaan napas kasar Renata. Samudera Biru tertawa tanpa suara.
"Aku tahu. Maaf aku mengganggumu malam-malam. Ini mendesak. Kita harus bicara. Bisa kau kirim alamat rumahmu sekarang?"
Apa? Gadis ini ingin datang ke rumahnya? Wajah Samudera Biru seketika memerah, membayangkan berbagai kemungkinan liar, misal melumat barang sedikit bibirnya.
Pria itu segera merutuki hasratnya yang muncul tanpa permisi.
"Tidak," tolaknya dengan nada sedingin mungkin.
"Ayolah, ini menyangkut hidup dan matimu!" Teriakan Renata terdengar frustrasi membuat alis Samudera Biru bertaut, meyakini jika sesuatu yang serius terjadi.
"Hidup dan matiku? Apa kau tidak waras?"
Suara decakan terdengar.
"Ya, aku tidak waras. Karena itu aku kesulitan berbicara di telepon. Jadi cepat kirim saja alamatmu. Si gila ini tidak punya banyak waktu."
Senyum Samudera Biru kembali rekah. Entah kenapa suara kesal gadis itu terdengar menggemaskan.
"Aku tidak sembarangan memberikan alamat rumahku kepada orang asing, apalagi dia tidak waras. Jadi kita bertemu dekat tokomu, di brave cafe."
"Ok, kumohon cepatlah."
Nyesss ... Samudera Biru merasakan hatinya seperti disiram seember air dingin kutub utara. Otaknya kembali merutuk, kenapa sekerat daging dalam dadanya bereaksi berlebihan pada sebuah permohonan tidak jelas gadis yang baru beberapa jam dikenalnya. Bahkan sekarang ia sudah menyambar jaket dan melangkah lebar menuju garasi.
"Sepuluh menit lagi aku sampai."
"Terima kasih."
Sambungan telepon terputus. Samudera biru memasukan benda pipih itu ke dalam saku jaket. Melewati Lucas, orang kepercayaannya begitu saja.
"Anda akan ke mana?" tanya Lucas mengekor.
"Cafe brave," jawab Samudera Biru datar lalu melesakkan diri ke dalam mobil. "Jangan ada yang mengikutiku." kali ini suaranya mengalun tegas seperti sebuah titah yang mutlak. Membuat Lucas seketika mengangguk dan mundur beberapa langkah.
Lamborghini Aventador hitam berdecit, melesat meninggalkan garasi. Lucas menarik napas, bertanya-tanya hal penting apa yang membuat Samudera Biru terburu-buru dan tak ingin dikawal. Sekilas Lucas melihat binar di matanya. Binar manusia kasmaran.
Lelaki paruh baya itu menatap ke arah mobil tuannya menghilang dengan senyum tersungging.
Brave Cafe
Renata melirik ke arah pintu, berharap Samudera Biru segera datang. Meski belum sepuluh menit rasanya ia sudah menunggu terlalu lama. Dan ketika yang ditunggu datang Renata langsung berdiri, ekspresi lega memenuhi wajahnya. Ia melambaikan tangan pada Samudera Biru yang memandang berkeliling.
"Ini belum satu hari tapi kau sudah menghubungiku, apa kau sebegitu merindukanku, Nona Renata?" cicit Samudera Biru sambil melipat kaki. Punggung lebarnya menyandar sempurna pada sandaran kursi. Meski hanya mengenakan piyama berbalut jaket trucker army berbahan canvas nyatanya lelaki itu terlihat seperti pahatan patung dewa ketampanan.
Renata mengerjap, menolak pesona lelaki itu sekuat tenaga. Berfokus pada kalimatnya yang menyebalkan.
"Memangnya kau mau dirindukan orang tidak waras?" sindir Renata.
Samudera Biru terkekeh, menatap wajah tertekuk di depannya dengan pandangan gemas dan lapar.
"Baiklah, kau bilang ini soal hidup matiku, jadi apa itu?" Samudera Biru melipat tangan di dada.
Renata menarik napas panjang. Membalas tatapan Samudera Biru dengan sangat serius.
"Begini, mungkin ini terdengar gila untukmu. Tapi aku sangat serius. Aku bisa melihat hantu."
Hening. Samudera Biru menatap datar. Renata mendesah, menyadari lelaki itu mulai mempertimbangkan jika ia memang benar-benar tidak waras.
"Lalu?"
"Gedungmu itu, berhantu." Renata menggantung ucapannya, mengamati reaksi di hadapannya. Senyap, ekspresinya masih terlihat datar. "Mereka tidak suka kau memugar gedung dan sebentar lagi akan menyerbu rumahmu, tidak, tepatnya mereka akan mengganggu orang-orang di rumahmu."
"Jadi hanya karena itu?" Desah kecewa terlontar dari mulut Samudera Biru. Renata menatap putus asa. Dugaannya benar, akan sulit membuat lelaki itu percaya.
"Tolong percayalah, aku tidak mengada-ada."
Samudera Biru mengedikkan bahu. Ia melambaikan tangan pada pelayan, memesan secangkir kopi.
"Kau mau aku percaya?" tanyanya dengan senyum miring.
Renata mengangguk.
"Baiklah, aku akan mempercayaimu tapi berkencanlah denganku sekali sebagai imbalannya."
"Apa? Kau ...." Renata menghentikan ucapannya, pelayan datang dengan secangkir kopi membuat Renata mengerutkan kening dengan kecepatan pelayanan mereka yang berbeda ketika melayani pesanannya.
"Ini kopi Anda, selamat menikmati," ucap pelayan wanita itu ramah, matanya mengerling kagum pada Samudera Biru.
"Terima kasih," jawab Samudera Biru tak kalah ramah dan menyesap kopinya dengan gerakan anggun.
Renata melengos. Rasanya ia ingin mendorong cangkir agar mulut kurang ajar itu tersedak.
"Tadi kau ingin berkata apa?"
"Lupakan," desis Renata kesal. "Seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu. Terserah kau mau diapakan oleh demit-demit itu. Biarpun dua penjagamu hebat tetap saja mereka kalah jumlah." Renata berdiri, meraih dompetnya dari atas meja.
"Dua penjaga?" tanya Samudera Biru tampak tertarik.
"Ah, sepertinya kau tidak tahu. Ya, kau punya dua penjaga berpakaian serba putih berwajah dingin. Aku tidak tahu mereka dari jenis apa tapi yang jelas pelipisku memar gara-gara mereka." Renata menyibak sedikit surai, memperlihatkan pelipisnya yang membiru.
Samudera Biru menatap dengan mata berkilat. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.
"Jadi kau benar-benar melihat ada dua penjaga di dekatku."
"Ya."
"Apa sekarang mereka ada?"
"Tidak ada."
Renata mengenakan coat yang sempat ia buka ketika memasuki cafe, melipat sedikit di bagian lengan. Meski sederhana coat itu terlihat begitu manis menempel pada tubuhnya, membuat Samudera Biru menelan saliva.
"Kau mau ke mana?"
"Menurutmu? Tentu saja aku mau pulang," jawab Renata ketus.
"Lalu bagaimana denganku? Bagaimana kalau makhluk-makhluk itu menyakitiku?"
Renata mendesah, menatap lelaki plinplan di depannya.
"Aku bisa apa?" desis Renata masih terlihat kesal.
"Bagaimanapun dua penjagaku tidak akan kalah."
Renata seketika menatap Samudera Biru tajam.
"Kenapa? Aku hanya bicara soal kemungkinan." Samudera Biru kembali menyesap kopi.
"Jadi kau tahu tentang penjagamu? Kau bisa melihat mereka?"
Mata Samudera Biru berkilat. Renata melihat jawaban jelas di sana. Gadis itu mendengus, mengeluarkan selembar uang di meja lalu beranjak. Namun langkahnya terhenti oleh kalimat Samudera Biru.
"Dua penjagaku sangat kuat, aku rasa teman-temanmu mungkin akan sedikit terluka."
Renata berpaling, kesal mendengar penekanan pada kata sedikit lelaki itu.
"Jangan sentuh teman-temanku," Renata kembali ke kursinya, menatap lurus.
"Wow, sepertinya kau sangat peduli dengan mereka."
"Tentu saja, mereka keluargaku. Aku tak akan membiarkan sesuatu hal buruk menimpa mereka."
Samudera Biru tersenyum, mencondongkan badannya hingga separuh meja.
"Jadi kau menerima tawaranku?"
"Berkencan denganmu sekali? Lupakan," desis Renata yang ikut mencondongkan badannya sehingga wajah mereka bertemu di tengah meja dengan jarak cukup dekat.
Samudera Biru menatap lekat bibir cantik di depannya membuat Renata buru-buru menarik diri. Sejujurnya dadanya berdebar. Aroma maskulin dan segar dari tubuh Samudera Biru mulai mengganggu kewarasannya.
"Tidak bisakah kau berbaik hati sedikit pada mereka?" Renata bergumam, menurunkan sedikit ego ketika melihat jam hampir menunjukan angka dua belas.
"Pada dasarnya aku bukan orang jahat, kalau mereka memohon mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk menunda pemugaran," sahut Samudera Biru ikut melunak melihat sikap Renata yang tampak memelas.
"Benarkah? Kalau begitu kita temui mereka sekarang," ucap Renata senang. Ia berdiri dan menarik lengan Samudera Biru untuk mengikutinya.
Seperti kerbau peliharaan Samudera Biru menurut, mengikuti langkah gadis itu. Ia tersenyum karena Renata tak melepaskan lengannya bahkan sampai keluar cafe.
Gadis itu celingak-celinguk, mencari taxi yang biasanya mengetem di sekitar cafe.
"Jam segini sulit mencari taxi." Kali ini giliran Samudera Biru yang menarik lengan Renata menuju mobilnya.
Mata Renata menyipit, menatap tak percaya pada kendaraan yang terparkir mencolok di depannya.
"Apa yang kau lihat, cepat masuk." Samudera Biru mendorong pelan gadis itu untuk segera masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka.
"Ya," jawab Renata sedikit gugup.
Samudera Biru menutup pintu dan segera menempati tempatnya di samping Renata. Mobil melaju cepat di atas aspal. Sementara Renata hanya diam membisu.
"Ada apa?" tanya Samudera Biru melihat gadis itu tampak begitu canggung.
"Tidak apa-apa. Ini kali pertamaku naik mobil bagus," ucap Renata mencoba bersikap santai.
"Begitu. Kalau kau berkencan denganku, aku akan membelikanmu satu."
"Bisakah kau berhenti menyebut kata kencan?" Renata menggerutu membuat Samudera Biru terkekeh.
"Kenapa? Biasanya wanita menyukai sesuatu yang mahal dan mewah."
"Referensi jenis wanitamu sepertinya terbatas Tuan Samudera Biru," Renata mendesis.
Samudera Biru kembali terkekeh, melirik bibir Renata yang terlihat sensual dari samping.
Sesampainya di gedung, Renata segera berlari menaiki tangga. Samudera Biru mengikuti dengan santai. Sayangnya para demit sudah tak ada, bahkan Panglima Kuning tak terlihat jejaknya sama sekali.
"Bagaimana ini, mereka sudah pergi?" tanya Renata cemas.
"Ya sudah, ke rumahku," Samudera Biru menjawab enteng lalu turun mendahului Renata.
"Bisakah lebih cepat lagi?" tanya Renata pada Samudera Biru ketika mereka sudah di dalam mobil.
"Sesuai permintaanmu, Nona."
Samudera Biru menekan pedal gas, membuat mobil melaju dua kali lebih cepat. Beruntung jalanan lengang karena sudah larut malam, jika tidak mungkin mereka akan mendapat masalah besar.
Samudera Biru menghentikan mobil di halaman sebuah mansion bergaya klasik. Di saat normal mungkin Renata akan ternganga melihat keindahannya namun fokus Renata sekarang hanya tertuju pada perkelahian di sekitarnya.
Gadis itu keluar dari mobil dengan jantung berdegup cepat. Matanya nanar melihat kondisi dedemit gedung tergelatak seperti ikan cue yang belum disusun di keranjang bambu. Hanya Leon dan shiny yang masih bertahan. Mereka terlihat berusaha mati-matian menghindari serangan penjaga Samudera Biru yang datang seperti air bah.
Renata memekik khawatir, takut Shiny dan Leon ikut terluka. Hatinya semakin cemas ketika derap kaki terdengar dari arah mansion. Puluhan makhluk berbaju putih dengan wajah dingin seperti dua penjaga Samudera Biru yang sedang berkelahi muncul.
Renata memalingkan wajah, menatap Samudera Biru yang sedang menyender santai di mobilnya.
"Siapa kau sebenarnya?" bhatin Renata penasaran sekaligus kesal karena lelaki itu tidak melakukan apapun, hanya menonton tanpa terlihat akan menengahi.
"Arrgghhh!!!" jerit Leon mengudara. Tubuhnya terlempar ke atas lalu menukik ke tanah dengan keras. Di depannya seorang penjaga lain sudah bersiap dengan pukulan berwarna keemasan. Shiny yang sedang dibuat repot oleh serangan lawan menjerit, menghadang dengan pukulannya yang berwarna keunguan.
"Bumm ... bummm!!!" Satu ledakan tercipta, Shiny terduduk di tanah, mulutnya berlumuran darah sementara penjaga tadi berdiri ajeg tanpa luka sedikit pun.
Makhluk berbaju putih itu kembali mengangkat tangan, menyiapkan pukulan susulan. Wajah tampannya tak lagi memikat, tertutup ekspresi dingin mematikan. Wajah Renata memucat, kalau dibiarkan Shiny bisa mati.
Tanpa pikir panjang gadis itu berlari ke depan Shiny. Kedua lengannya mencengkram bagian samping coat sementara kepalanya menyamping dengan mata terpejam.
Samudera Biru yang melihat seketika menegakkan badan dan melesat. Namun tiba-tiba kakinya terhenti, terpana pada cahaya kehijauan yang keluar dari tubuh Renata. Cahaya itu membesar dengan cepat dan membentuk kubah, melindungi gadis itu dari pukulan penjaga Samudera Biru.
"Bummmm!!!" Ledakkan besar terjadi. Beberapa penjaga terpental termasuk yang melepaskan pukulan. Ia terkapar di tanah dengan darah meleleh dari mulut, hidung dan telinganya.
Renata yang tak merasakan adanya pukulan yang menyentuh kulitnya membuka mata. Ia terkesiap melihat cahaya kehijauan milik ibunya kini berpendar dari tubuhnya. Meski tak mengerti gadis itu berpikir cepat, berteriak pada Shiny dan Leon.
"Cepat pergi, bawa mereka semua!"
Shiny yang terkesima tergagap. Ia membantu Leon berdiri. Lalu memandang Renata, memintanya untuk ikut pergi. Renata menggeleng.
"Pergilah lebih dulu, aku akan menyusul," perintah Renata.
"Tapi Kak ...."
"Aku akan baik-baik saja."
Shiny tampak enggan namun Leon menarik lengannya untuk segera pergi. Tanpa daya gadis dedemit itu berkelebat, menghilang di pekatnya malam bersama dengan para dedemit lain yang masih sadar.
Beberapa penjaga Samudera Biru yang lain mengepung Renata, tangan mereka terlihat berkilauan, siap untuk melumat tubuhnya yang masih diselimuti cahaya kehijauan. Gadis itu pasrah seandainya ia menjadi bubur. Mati demi menolong teman sepertinya tidak terlalu buruk. Lagi pula ia merindukan ibunya.
"Ibu ...." desis Renata lalu kembali memejamkan mata, siap menerima takdirnya.
"Hentikan!" Satu suara menggelegar seperti guntur musim penghujan. Renata mengenali, itu milik Samudera Biru.
Ia membuka mata, menoleh ke arah lelaki yang berjalan mendekatinya dengan anggun dan berkilau.
"Ah, dia memang seksi," desis Renata lalu ambruk ke tanah dengan pandangan gelap.
***
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan
Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men
Harapan menyala di mata Renata. Bertemu dengan orang, bukan, peri yang mengenal ayahnya adalah sebuah kemajuan besar dalam pencariannya yang terasa mustahil.“A ... anda tahu di mana ayah saya?”“Tidak, kami terakhir bertemu sekitar sembilan belas tahun lalu, di tempat ini.”Nyala itu memudar menjadi muram. Mengusik hati lelaki berparas indah di depannya.“Jangan khawatir, dalam waktu dekat aku akan mencari tahu, hem?”Renata mengangkat wajah, menemukan manik mata Samudera Biru yang setenang telaga. Sesaat ia tenggelam di sana seperti musafir tersesat.“Terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Renata. Ia menunduk, mengundang secuil senyum makhluk di depannya.“Pangeran, apa yang akan Anda lakukan pada iblis Kali Maya?” tanya Panglima Kuning.“Aku akan menghancurkannya.”“Bukankah itu akan sulit karena dia pernah mencuri sedikit darah
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan