Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria.
Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus.
Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan.Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas.
"Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata.
"Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau.
"Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti ditusuk ribuan jarum karena air yang sedingin es. Ia tak peduli. Matanya nanar mencari sosok wanita itu. Beruntung gaun putih yang dikenakannya terlihat mencolok di air danau yang hijau.
Renata menghentakan kaki dan lengan, melawan arus bawah air yang semakin kuat karena gelombang angin. Renata menangkap tubuh ibunya yang melayang dengan mata tertutup karena kehabisan oksigen.
Gadis itu panik, sebelah tangannya menyibak air, mencoba berenang ke atas. Saat itulah ia merasa lengan ibunya bergerak, mencekal tangan dan pinggangnya.
"Ibu," desis Renata. Gelembung keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Wanita itu tersenyum, matanya perlahan terbuka. Renata terhenyak, mata itu berwarna merah darah, bukan cokelat seperti mata milik ibunya.
"Tidakkk!!!"
Renata terbangun. Peluh menetes dari setiap pori. Napas gadis itu mendengus-dengus.
Ia mengusap wajah, melirik jam di atas nakas. Pukul 18.30. Sebuah novel tergeletak di dekatnya. Ah, rupanya ia tertidur saat membaca.
Renata tercenung, mengingat mimpinya yang terasa begitu nyata. Mata merah darah itu akhir-akhir ini sering muncul di mimpinya.
Firasat Renata tidak enak. Apa makhluk itu masih mengejarnya? Tapi ini sudah sepuluh tahun. Rasanya mustahil. Ia tak seberharga itu.
Renata berjingkat, mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguk hampir separuh isinya.
"Tring ... tring ... tringgg!!!"
Lonceng angin di jendela berdenting. Renata menoleh, menemukan Shiny tersenyum lebar.
"Kakak baru bangun tidur?" Mata gadis dedemit itu menyelidik penampilan kusut Renata.
"Hemm," jawab Renata lalu kembali menenggelamkan diri ke atas kasur.
"Jangan tidur lagi, kita mau rapat, Kak." Shiny mengguncang bahu Renata.
"Aku absen."
"Ngga boleh, Pokoknya Kakak harus ikut."
"Hei, Shiny?" Renata tiba-tiba mengubah posisi, bersila. Manik matanya menatap wajah cantik Shiny.
"Apa?" Gadis itu sedikit bingung dengan perubahan ekstrem ekspresi Renata.
"Kalau aku dijahati, apa kau akan melindungiku?"
"Pasti."
"Sampai titik darah penghabisan?"
Kening Shiny berkerut.
"Lupakan." Renata mengibaskan tangan. Menyesali pertanyaan konyolnya. Bagaimana bisa ia mengharap perlindungan dari demit muda yang kekuatannya belum seberapa.
"Kakak aneh," desis Shiny. "Apa ada yang mencoba menjahati Kakak? Siapa? Si tampan itu?"
"Tidak ada," jawab Renata lugas. Ia mengikat rambut dan beranjak menuju kamar mandi. Shiny mengekor sampai pintu.
"Kak, mandinya jangan lama-lama, yang lain udah pada kumpul!"
"Iya, bawel!"
Shiny tertawa lalu berkelebat melewati lonceng angin, membuat benda logam itu kembali berdenting.
Renata mengeringkan rambut dengan hair dryer setelah itu menyambar piyama warna burgundy dari lemari. Ia melirik jam, hampir jam tujuh. Artinya ia masih punya cukup waktu untuk membuat kopi. Gadis itu melenggang menuju pantry dengan konsep mini bar yang lucu.
Wangi aroma kopi memenuhi ruangan, gadis itu mencicip sedikit. Setelah yakin rasanya tidak terlalu buruk Renata menaruh ketel dan beberapa cup ke atas nampan, sementara ia kembali ke kamar kecilnya --entahlah apa itu pantas disebut kamar-- karena sebenarnya itu adalah ruangan yang diberi partisi kayu model jepang lengkap dengan pintu gesernya.
Sebelum turun Renata menyambar long coat berbahan semi wol di capstok lalu mengunci pintu kamar.
"Mau kopi?" tanya Renata pada Ken yang masih berjaga di toko.
Ken mengangguk, menerima secangkir kecil kopi hitam dengan aroma menggoda.
"Mbak mau keluar?"
"Ya, ada urusan di atap."
Renata membawa nampannya keluar. Berjalan memutar ke samping di mana tangga besi untuk menuju atap ada di sana.
Gadis itu meniti anak tangga dengan hati-hati. Shiny berlari menyambut, saat mencium aroma kopi wajahnya tampak senang.
Mata Renata berkeliling, bibirnya menyunggingkan senyum tipis pada beberapa makhluk penghuni gedung yang datang.
"Kak, aku mau kopinya," rengek Shiny yang dari tadi tak henti mencolek ketel kopi.
"Iya," jawab Renata singkat lalu menuangkan kopi ke beberapa cangkir kecil.
Shiny bersorak, langsung menghirup jatahnya.
"Mm ... enakkk," desisnya dengan mata setengah terpejam. "Kalian tidak mau?" tanya gadis demit itu pada teman-temannya yang melihat dengan liur hampir menetes.
Dan tak sampai sedetik mereka sudah terlibat kekacauan, saling berebut.
"Cih, memalukan." Satu suara seketika menghentikan keriuhan. Semua mata menatap pada sosok gagah yang sedang duduk bersila menatap pemandangan, memunggungi mereka.
Sosok itu berdiri dan membalikan badan. Seketika hawa panas menyebar, membuat beberapa makhluk yang lain tampak ketakutan.
"Kak Leon mau juga?" Shiny menghampiri makhluk yang terlihat tampan itu, mengangsurkan cangkir.
"Aku tidak mau," desis Makhluk yang dipanggil Leon. Ia menatap miring pada Renata. " Kenapa gadis manusia ini ikut?" tanyanya tampak tidak suka.
Renata menarik napas, tak asing dengan sikap makhluk satu itu yang hampir tak pernah bersikap ramah terhadapnya.
"Sebenarnya saya juga tidak mau ikut, tapi Shiny memaksa." jelas Renata datar.
"Iya, aku mau Kak Rena ikut. Kenapa, ada masalah?" Cicit Shiny sambil berkacak pinggang.
"Dia hanya akan menjadi beban," balas Leon dengan intonasi meninggi.
"Dia hanya akan mendengarkan, tidak ikut berperang," kekeuh Shiny.
"Dasar anak kecil keras kepala," Leon kembali mendesis membuat beberapa makhluk semakin mengkeret.
"Hentikan!" Suara berat seorang lelaki menggelegar.
Dari atas melayang turun sosok tinggi besar. Wajahnya tampan dan tegas. Sweater turtleneck hitam, celana cargo cream dan sepatu tactical tampak sempurna di tubuhnya.
Semua makhluk yang hadir tampak menunduk hormat termasuk Shiny. Renata menatap makhluk itu, ini pertemuan ketiga mereka dan makhluk itu tetap saja terlihat mempesona.
"Selamat datang, Panglima Kuning," ucap Leon dengan suara rendah.
Sosok itu mengangguk lalu menatap Renata.
"Apa kabar, Nona Renata?" sapanya dengan artikulasi mengagumkan.
"Saya baik," jawab Renata sambil menganggukkan kepala.
Panglima Kuning bisa dibilang pemimpin di gedung itu. Semua makhluk di sana tunduk padanya. Selain karena usianya yang sudah mencapai seribu tahun juga karena dulu dia adalah seorang panglima besar di salah satu kerajaan gaib.
Entah kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai terusir dari kerajaannya dan memilih menetap di gedung ini.
Sikapnya tenang, ramah dan tidak terlalu suka bersinggungan dengan urusan manusia. Tak heran selama tinggal di sana Renata sangat jarang bertemu dengannya.
Jika sekarang ia mengikuti rapat maka perlu sedikit dicurigai, ada masalah lebih besar dari sekedar masalah pemugaran gedung. Meski begitu Renata memilih menyimpan rasa penasarannya seorang diri.
"Jadi apa kalian sudah memutuskan?" Panglima Kuning memandang berkeliling.
Shiny mengangkat wajah. "Sudah Panglima, kita semua sepakat untuk menggagalkan rencana pemilik gedung."
"Bagaimana dengan Anda, Nona Renata?"
Renata berdehem, tak menyangka ia ikut ditanyai.
"Sejujurnya saya tidak setuju, karena bagaimana pun itu hak dari pemilik gedung ini. Meski begitu saya menghargai jika teman-teman semua memiliki pendapat yang lain," jawab Renata sesopan mungkin.
"Tentu saja dia tak akan setuju, karena itu bangsanya sendiri," ucap Leon sinis.
Untuk kedua kalinya Renata menarik napas. Andai ia punya kekuatan untuk membungkam mulut pedas makhluk itu.
"Kau sangat kasar," Shiny mendengus, matanya seperti ingin menerjang Leon.
Renata menyentuh lengan Shiny, menenangkan.
Panglima Kuning mengelus cambang tipisnya, tampak berpikir.
"Bagaimana cara kalian menggagalkan rencana itu?"
Leon maju, ekspresinya meyakinkan.
"Langkah pertama kami akan memberi peringatan kepada pemilik gedung."
"Kudengar dia bukan orang biasa, penjaganya juga kuat. Kalian siap dengan konsekuensinya?"
"Kami akan berusaha," ucap Leon yang diaminkan makhluk lainnya.
Renata hanya diam mendengarkan, sama sekali tidak setuju.
"Jika itu keinginan kalian, maka lakukanlah dan berhati-hati. Aku hanya akan melihat dari sini."
Seketika suasana menjadi riuh.
"Kenapa Anda tidak ikut?" tanya salah satu makhluk dengan telinga lancip dan berhidung sedikit bengkok.
"Haruskah aku turun tangan hanya untuk sebuah peringatan?" tanya Panglima Kuning datar tapi efeknya membuat makhluk tadi menunduk dalam. "Jadi kapan kalian akan pergi?"
"Pukul dua belas Panglima," jawab Leon.
"Baiklah, berhati-hatilah kalian semua."
Panglima Kuning menatap Renata, memberi isyarat agar ia mengikutinya. Tanpa banyak bicara gadis itu mengikuti. Mereka duduk di sudut, menatap ribuan lampu kota yang berkelip indah.
"Nona Renata kecewa dengan keputusan mereka?" tanya Panglima Kuning tanpa menatap.
"Tidak, seperti yang saya katakan, saya menghormati keputusan mereka. Hanya saja saya sedikit khawatir.
"Apa yang Anda khawatirkan?"
"Dua penjaga gedung ini, mereka tidak biasa, kemampuan mereka mungkin setara dengan Anda."
"Dari mana Nona tahu?"
"Entahlah, saya hanya merasa begitu," jawab Renata dengan sedikit tersenyum.
"Sebenarnya saya pun tidak setuju dengan mereka. Tapi saya ingin melihat sejauh mana mereka bertindak. Apakah mereka bertambah bijaksana atau hanya bermain di tempat."
Renata tersenyum, sedikit kagum dengan usaha Panglima Kuning membuat anak buahnya yang mayoritas berasal dari tingkat rendah menjadi lebih beradab.
Tak lama gadis itu berpamitan karena gerimis mulai turun dan jam kerja Ken akan segera berakhir.
Panglima Kuning menatap kepergian Renata dengan mata takjub. Tadi saat mereka berbicara sebenarnya ia sengaja mengeluarkan energi untuk mengetes ketahanan tubuhnya terhadap benturan energi mereka.
Anehnya gadis itu terlihat sama sekali tak terpengaruh. Bahkan energinya mampu meredam energi Panglima Kuning dengan baik.
"Kau mirip seseorang," desis Panglima Kuning.
***
Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan
Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan