RAHASIA TIGA HATI - Malu Sendiri Alan tidak bisa mencegah Livia yang mendahului turun dari mobil. Padahal ia sangat khawatir kalau sampai Bu Rika menyerang secara mental pada istrinya. Padahal Livia baru kembali ceria. Alan cemas dengan psikis sang istri yang tengah hamil muda.Bu Rika pun kaget saat melihat Alan dan Livia turun dari kendaraan. Begitu juga dengan Ella yang berdiri di teras kantor papanya. Tidak mengira kalau Alan akan mengajak istrinya. Biasa Alan ke mana-mana sendirian. Tugas Livia hanya duduk di belakang meja kerja untuk mengurus masalah keuangan.Livia mengangguk sebagai sapaan pada mantan mertuanya. Alan juga tersenyum sekilas. Wanita yang melangkah ke arah kantor itu belum tentu mau disalami. Masih terlihat jelas rona kebencian tampak di wajahnya ketika menatap Livia. Tidak ada senyuman untuk membalas sapaan mantan menantu.Tangan Livia di gandeng Alan saat mereka melangkah ke teras kantor. "Selamat pagi, Mbak Ella," sapa Livia ramah. "Pagi, Livia. Nggak nyan
"Saya nggak merendahkan Bu Rika. Dunia yang kita geluti berbeda. Wajar saja kalau saya mesti berhati-hati, seperti Anda yang meragukan kemampuan saya tadi. Kredibilitas meliputi kualitas, kapabilitas, layak dipercaya atau tidak. Kalau kita saling meragukan, tidak perlu bekerjasama. Saya tidak apa-apa kalau kerjasama ini harus batal, Pak Robert."Bu Rika bungkam. Wajahnya merona merah antara malu dan marah. Ella makin cemas kalau Alan membuat keputusan untuk membatalkan rencana kemarin. Padahal semua sudah dibicarakan secara matang.Pak Robert menghela napas dalam-dalam. Jelas saja dia tidak ingin kehilangan partner kerja seperti Alan. Lelaki yang diidamkan menjadi menantunya. Pria potensial dalam dunia usaha. Walaupun masih muda, tapi memiliki banyak kemampuan dan pengalaman.Sementara Livia tidak gentar sedikitpun saat menyaksikan perdebatan itu. Ia percaya pada suaminya. Alan tidak akan bicara dan mengambil keputusan seenaknya tanpa berpikir secara rasional. Alan tidak segan menguru
RAHASIA TIGA HATI - Rahasia Bre mengabaikan Agatha yang tersenyum. Dilewatinya sang istri lantas meraih bajunya di atas tempat tidur. Kemudian mengambil rokok dari dalam laci. "Nggak usah menggodaku seperti itu? Kamu yang akan rugi sendiri. Kamu sudah tahu pernikahan kita seperti apa," ucap Bre tanpa memandang Agatha."Aku nggak bisa melakukannya denganmu," tambahnya lagi.Apa yang terjadi jika seorang suami berkata seperti itu, sedangkan dirinya nyaris tel*njang dihadapannya?Agatha terpaku. Malu, kecewa, tersinggung, marah, ingin menangis juga. Sampai tubuhnya terasa panas dingin mendengar ucapan suaminya. Manusia seperti apa Bre ini. Sudah totalitas ia mempersiapkan diri, tapi tidak dipedulikan. Apa sedikit saja ia tidak tergoda. Tanpa cinta pun lelaki bisa melakukannya bukan? Seperti laki-laki yang suka memesan perempuan panggilan. Apa mereka melakukannya atas dasar cinta? Tidak. Mereka hanya ingin melampiaskan na*sunya saja.Tapi Bre ini, ada yang halal pun ia enggan menyentuh
Melihat Agatha diam, Bu Rika khawatir. Bagaimana jika Agatha menyerah? Tentu perceraian Bre kali kedua dengan Agatha, pasti akan menjejaskan nama baiknya."Mama mau nyamperin Bre dulu." Bu Rika meletakkan sendok kemudian bangkit dari duduknya dan menaiki tangga. Lama-lama ia ingin mengamuk pada putranya.Pintu langsung dibuka dan mengagetkan Bre yang tengah mengancingkan kemeja. "Bre, mama ingin bicara." Bu Rika berkacak pinggang, berdiri tidak jauh dari Bre."Kamu ini nggak bisa berubah, ya. Apa sih maumu. Ini hidupmu yang sekarang, tinggalkan yang sudah lewat. Kasihan Agatha kamu perlakuan seperti ini. Dia juga punya hati, punya perasaan. Dia juga punya rasa lelah.""Sama, Ma. Aku juga punya rasa lelah. Capek dengan semua aturan mama selama ini. Aku sudah menuruti apa yang mama mau. Aku nggak boleh punya anak dengan Livia, karena mama nggak ingin punya keturunan yang dilahirkan Livia. Nggak ingin punya keturunan dari orang gila. Tapi siapa yang gila sebenarnya, Ma. Aku yang bakalan
RAHASIA TIGA HATI - Masa Lalu "Sedikit banyak Tante Yulia pasti tahu tentang kisah mereka," kejar Bre setelah tantenya selesai menelpon.Wanita anggun itu tersenyum tenang seraya meraih gelas minumnya. Selesai minum ia memandang Bre. "Tante menikah sama Om Rinto setelah kakakmu umur empat tahun, Bre. Mana tante tahu kisah papa dan mamamu."Rinto memang adik bungsu Bu Rika. Mereka tiga bersaudara dan anak nomer dua tinggal di luar pulau. Ke Surabaya setahun sekali di waktu lebaran atau tahun baru."Tapi aku yakin, Tante Yulia pasti pernah mendengar kisah mereka meski hanya sekilas." Bre tidak percaya atas pengakuan Bu Yulia. Mana mungkin tidak tahu sama sekali."Mungkin Mbak Ita yang tahu, Bre."Ita ini kakaknya Rinto. Usianya dengan Bu Rika hanya selisih tiga tahunan.Bre menghela napas panjang. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya. Bu Yulia prihatin. Dia tahu kalau sang keponakan sedang tertekan. Namun dirinya tidak bisa membantu. Bu Yulia sudah sangat paham Bu Rik
"Papa merestui kamu sama Livia. Dia gadis yang baik. Papa suka sama dia. Sopan dan nggak banyak tingkah." Ini ucapan papanya ketika Bre berbincang tentang kekasihnya. Waktu itu sudah beberapa kali Livia diajak Bre bertemu Pak Hutama."Tapi mama nggak suka, Pa.""Lambat laun mamamu pasti luluh. Sabar. Seorang ibu memang begitu. Khawatir putranya tidak mendapatkan pendamping yang tepat. Lagian mamamu sudah terlanjur dekat dengan Agatha." Ucapan sang papa untuk menenangkannya."Perjuangkan kalau kamu memang mencintainya. Jadi lelaki harus tangguh, Bre. Toh, pilihanmu gadis baik-baik. Yakinkan mama, bahwa Livia satu-satunya yang ingin kamu nikahi. Jangan lemah jika kamu tidak ingin menyesal kehilangan perempuan yang kamu inginkan."Bre menunduk dalam-dalam saat ingat ucapan papanya itu. Netranya memerah menahan sebak dalam dada. Bre baru menyadari bahwa kalimat-kalimat papanya memiliki makna yang begitu dalam. Dulu Bre mengira, itu nasehat wajar seorang ayah pada putranya yang sedang jatu
RAHASIA TIGA HATI - Pria Perhatian Agatha menyambut ramah kedatangan Bre. Senyumnya terbit sambil menggandeng sang suami masuk ke dalam rumah. "Sudah ditunggu papa dan mama di dalam, Mas."Bre mengikuti istrinya tanpa menjawab apa-apa. Sikap Agatha tidak sesuai dengan dugaannya. Dipikir Agatha cemberut, judes, dan mengadukan permasalahan mereka pada kedua orang tuanya. Namun melihat sambutan hangat sang mertua, sepertinya Agatha tidak melakukan hal itu.Dengan sikap santun, Bre menyalami kedua mertuanya. Mereka mempersilakan untuk duduk. Sambil makan yang dibahas tentang bisnis. Tentang usaha lain yang tengah dirintis oleh Pak Wawan. Namun Bre tidak serius menanggapi. Jika ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang termasuk menjegal bisnis Pak Rosyam, Bre jadi tidak respek. Kenapa tidak dari dulu ia menyadari hal ini. Kenapa ia menutup mata dengan kenyataan yang ada. Kenapa juga tidak mencari tahu dan percaya begitu saja dengan kata-kata sang mama. Sampai semuanya ini harus dibaya
Bu Ana tidak pernah tahu kasus penculikan Livia yang dilakukan oleh Bre. Alan menutup rapat kejadian itu. Bahkan Pak Rosyam pun tidak diberitahu. Sebab Adi juga tidak pernah cerita apa-apa jika bertemu Pak Rosyam di kantor. Adi juga sangat bisa dipercaya."Kalau kamu pengen apa-apa segera beli. Apalagi sekarang serba mudah. Bisa delivery order. Nggak usah takut gemuk. Pengen makan apapun makan saja, asal jangan berlebihan. Nanti kalau sudah melahirkan, badanmu akan kembali langsing."Livia tertawa mendengar ucapan mertuanya. Wanita itu tahu juga kalau ia sempat resah karena kenaikan berat tubuhnya yang membuat makin berisi."Maaf, mama belum bisa ke Surabaya. Masih nungguin budhe yang sakit. Kasihan kalau mama tinggal. Mantunya lagi hamil tua juga, jadi nggak bisa jagain. Tapi mama tetap akan bikin acara empat bulanan kehamilanmu di sini.""Iya, Ma. Mas Alan bilang kami akan pulang ke Sarangan bersama ayah juga.""Nggak usah pulang kalau kondisimu nggak memungkinkan. Mama khawatir kal
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K