Bu Ana tidak pernah tahu kasus penculikan Livia yang dilakukan oleh Bre. Alan menutup rapat kejadian itu. Bahkan Pak Rosyam pun tidak diberitahu. Sebab Adi juga tidak pernah cerita apa-apa jika bertemu Pak Rosyam di kantor. Adi juga sangat bisa dipercaya."Kalau kamu pengen apa-apa segera beli. Apalagi sekarang serba mudah. Bisa delivery order. Nggak usah takut gemuk. Pengen makan apapun makan saja, asal jangan berlebihan. Nanti kalau sudah melahirkan, badanmu akan kembali langsing."Livia tertawa mendengar ucapan mertuanya. Wanita itu tahu juga kalau ia sempat resah karena kenaikan berat tubuhnya yang membuat makin berisi."Maaf, mama belum bisa ke Surabaya. Masih nungguin budhe yang sakit. Kasihan kalau mama tinggal. Mantunya lagi hamil tua juga, jadi nggak bisa jagain. Tapi mama tetap akan bikin acara empat bulanan kehamilanmu di sini.""Iya, Ma. Mas Alan bilang kami akan pulang ke Sarangan bersama ayah juga.""Nggak usah pulang kalau kondisimu nggak memungkinkan. Mama khawatir kal
Hampir setahun belakangan ini, akhir pekan bagi Bre menjadi hari yang sangat menyebalkan. Bertemu mamanya dua hari dua malam dengan segala omelannya membuat Bre jengah. Pembahasan yang membosankan baginya. Terutama tentang rumah tangganya.Bre menghela nafas panjang sambil nyetir di tengah kemacetan kota Surabaya sehabis Maghrib itu. Rasanya malas sekali untuk pulang."Aku akan mengakhiri hidupku jika kita bercerai," ancam Agatha dua minggu yang lalu. Pada saat Bre mengajaknya membahas tentang rumah tangga mereka. Sungguh pernyataan di luar dugaan. Apa yang membuat Agatha mengancam seperti itu. Padahal jelas, dirinya bukan suami yang baik. Peluang Agatha mendapatkan pria baik-baik terbuka lebar setelah berpisah nanti."Aku nggak akan bisa membuatmu bahagia.""Bahagia atau enggak, itu urusanku," jawab Agatha. "Nggak apa-apa kita jalani hidup seperti ini saja sampai kita menua dan mati. Toh sebenarnya kita sudah sama-sama hancur, bukan. Kamu hancur karena Livia, aku hancur karena kamu,
RAHASIA TIGA HATI - RomansaTidak sabar. Tentu saja. Alan sudah merencanakan momen ini jauh-jauh hari. Setelah menikah mereka belum sempat berbulan madu, karena sibuknya pekerjaan. Ketika masih dalam suasana menikmati manisnya pengantin baru, terus Livia mengandung. Kemudian ada permasalahan dengan Bre, dan Alan pun harus menahan diri, karena tidak ingin terjadi sesuatu pada calon anaknya.Livia diturunkan di ranjang king size. Alan melepaskan jaketnya dan menyisakan kaus putih di dalamnya. Ia menahan tangan Livia yang hendak menarik selimut."Kita tidak akan tidur, Livi.""Kata mama harus hati-hati. Tiga puluh menit saja, kan?" Livia mengejek suaminya dengan sebuah senyuman."Mama bukan dokter, abaikan itu. Mama hanya khawatir. Btw, tiga puluh menit terlalu singkat, Sayang." Alan menatap lekat manik mata Livia. Tangannya menarik tali kimono warna soft pink yang dipakai istrinya.Ah, Livia hanya menggoda Alan. Padahal dia juga rindu pada suaminya. Ingat kan, betapa ia gelisah dan ur
Alan mengecup kening istrinya. Sebenarnya dia lebih dulu mengenal Livia daripada Selvia. Gadis yang datang seminggu dua sampai tiga kali ke tempat latihan Muay Thai setelah pulang dari kampus."Bro, Livia sebulan ke depan ikut latihan kamu ya. Selama kutinggal pulang ke Depok. Jadwalnya datang ke sini sama seperti jadwalmu nglatih." Heru yang bicara padanya sore itu. "Oke," jawab Alan sambil menoleh sekilas pada gadis yang sebenarnya sudah beberapa kali ia lihat di tempat latihan. "Hai, Coach. Namaku Livia." Dengan ramahnya Livia mengulurkan tangan."Alan." Alan menyebutkan namanya."Coach Alan." Livia tersenyum.Sebulan itu Alan melatih Livia sambil menunggu Heru kembali. Livia gadis yang ceria dan cerdas, membuat mereka cepat sekali akrab. Walaupun pada akhirnya Livia kembali dilatih oleh Heru. Namun tidak jarang latihan bersamanya jika masih ada waktu."Mas, melamun." Teguran Livia sambil menyentuh hidungnya membuat Alan memandang sang istri."Kamu belum tidur?" Padahal tadi Livi
Begini saja sudah membuatnya bahagia. Tidak perlu megah dan mewah. Tidak ada alasan untuk tidak mensyukurinya. Memiliki Alan saja sudah keberuntungan dari Tuhan. Benar kata Pak Ustadz, Allah tidak akan memberikan ujian tanpa kelulusan. Mungkin sebenarnya dia belum lulus karena perjalanan ke depan masih panjang. Tapi setidaknya ia telah terlepas dari keluarga yang sama sekali tidak menghargainya. Dari lelaki yang tidak pernah bisa membela dan memperjuangkannya.Alan lelaki yang sangat bertanggungjawab dan telah selesai dengan masa lalunya. Walaupun terkadang ada rasa penasaran dari Livia, ingin tahu sekelumit kisah tentang Alan dan kakaknya dari cerita Alan. Kalau dari Selvia, jelas saja ia tahu meski sekilas. Bagi Livia itu hal yang wajar. Karena tiba-tiba saja Alan melamarnya tanpa mengajaknya pendekatan lebih dulu.Livia menyibakkan rambut Alan yang menerpa wajahnya. "Rambut Mas makin panjang, nggak ingin dipangkas dikit saja.""Mas akan potong rambut setelah kamu melahirkan nanti.
RAHASIA TIGA HATI - Luka"Sayang, mau ngapain?" tanya Alan saat Livia menariknya supaya bersembunyi di balik tembok yang dekat dengan lift, sedangkan Livia mengeluarkan ponsel dan siap untuk mengambil gambar Ferry dan Irma yang sedang bicara dengan resepsionis."Mas, sembunyi. Nanti mereka melihatmu.""Mereka sudah terbiasa ngelihat mas, Livi."Sejenak Livia bengong memandang Alan yang tenang berdiri tegak dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Livia fokus lagi pada ponsel dan targetnya sebelum mereka keburu pergi."Kenapa mereka pergi lagi, Mas?" Livia heran saat melihat Ferry dan Irma meninggalkan hotel dan masuk kembali ke mobilnya."Hotel ini sudah full booked sejak beberapa hari yang lalu. Sudah, ayo kita kembali ke kamar." Alan meraih lengan istrinya untuk di ajak masuk lift. Kamarnya berada di lantai empat dan hotel itu hanya ada empat lantai.Jadi mereka pergi tadi karena tidak mendapatkan kamar? Masih lolos kali ini. Tapi lihatlah, kebusukan itu akan terbongkar dan
"Mas, hendak ke mana?""Sebentar saja." Alan tersenyum kemudian mengambil dompet lantas keluar kamar.Livia yang heran hanya diam mematung. Sepertinya sang suami banyak tahu tentang keluarga Hutama. Entah tahu secara kebetulan, atau sengaja mencari tahu setelah banyak peristiwa dalam keluarganya yang ada kaitannya dengan keluarga mantan mertuanya itu. Akan tetapi ia menghargai larangan suaminya. Apalagi kejadian waktu ia dibawa kabur Bre, tentu saja amat menyakitkan bagi Alan. Suaminya pasti mati-matian berdamai dengan prasangkanya sendiri. Hingga memilih mempercayai kalau Livia aman dari jama*an Bre.Livia merebahkan diri karena capek. Nyaris semalaman begadang, kemudian pagi tadi keliling di perkebunan anggrek. Sangat puas melihat ratusan jenis bunga kesayangan ibunya. Selang hampir satu jam, Alan baru kembali masuk kamar tapi tidak membawa apapun. Tambah membuat Livia heran."Mas, turun ngapain sih?" protesnya karena lama menunggu. Hendak menelpon, tapi ponselnya Alan tidak dibaw
Kenny tersenyum mendengar penuturan Lena. Putrinya sudah pintar membalikkan kata-kata yang pernah dinasehatkan Kenny pada kedua anaknya."Sini, hapenya di taruh saja, Ma." Lena mengambil ponsel dari genggaman sang mama dan menaruhnya di meja rias. Kenny tersenyum melihat tingkah si bungsu. Terhibur di tengah luka yang menganga."Kak Leo mana?" "Tidur, Ma.""Kalau gitu Lena juga harus tidur.""Nggak mau. Lena mau nunggu papa pulang.""Papa nggak pasti pulang jam berapa?""Ke mana sih papa, Ma?""Mama nggak tahu.""Di telepon saja, Ma." Lena kembali mengambil ponsel mamanya. Memberikan benda itu pada Kenny.Setelah tahu menerima video tadi, Kenny rasanya malas hendak menghubungi daripada sakit hati karena dibohongi. Ferry tidak mungkin jujur sekarang ada di mana. Parahnya lagi, bagaimana jika suaminya itu sedang berz*na dengan Irma."Ayo, Ma. Telepon papa." Kenny menggoyang tangannya. "Ayolah, sebentar saja," rengek Lena.Terpaksa Kenny menelpon. Cukup lama panggilan tidak dijawab. Pik