RAHASIA TIGA HATI - Masa Lalu "Sedikit banyak Tante Yulia pasti tahu tentang kisah mereka," kejar Bre setelah tantenya selesai menelpon.Wanita anggun itu tersenyum tenang seraya meraih gelas minumnya. Selesai minum ia memandang Bre. "Tante menikah sama Om Rinto setelah kakakmu umur empat tahun, Bre. Mana tante tahu kisah papa dan mamamu."Rinto memang adik bungsu Bu Rika. Mereka tiga bersaudara dan anak nomer dua tinggal di luar pulau. Ke Surabaya setahun sekali di waktu lebaran atau tahun baru."Tapi aku yakin, Tante Yulia pasti pernah mendengar kisah mereka meski hanya sekilas." Bre tidak percaya atas pengakuan Bu Yulia. Mana mungkin tidak tahu sama sekali."Mungkin Mbak Ita yang tahu, Bre."Ita ini kakaknya Rinto. Usianya dengan Bu Rika hanya selisih tiga tahunan.Bre menghela napas panjang. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya. Bu Yulia prihatin. Dia tahu kalau sang keponakan sedang tertekan. Namun dirinya tidak bisa membantu. Bu Yulia sudah sangat paham Bu Rik
"Papa merestui kamu sama Livia. Dia gadis yang baik. Papa suka sama dia. Sopan dan nggak banyak tingkah." Ini ucapan papanya ketika Bre berbincang tentang kekasihnya. Waktu itu sudah beberapa kali Livia diajak Bre bertemu Pak Hutama."Tapi mama nggak suka, Pa.""Lambat laun mamamu pasti luluh. Sabar. Seorang ibu memang begitu. Khawatir putranya tidak mendapatkan pendamping yang tepat. Lagian mamamu sudah terlanjur dekat dengan Agatha." Ucapan sang papa untuk menenangkannya."Perjuangkan kalau kamu memang mencintainya. Jadi lelaki harus tangguh, Bre. Toh, pilihanmu gadis baik-baik. Yakinkan mama, bahwa Livia satu-satunya yang ingin kamu nikahi. Jangan lemah jika kamu tidak ingin menyesal kehilangan perempuan yang kamu inginkan."Bre menunduk dalam-dalam saat ingat ucapan papanya itu. Netranya memerah menahan sebak dalam dada. Bre baru menyadari bahwa kalimat-kalimat papanya memiliki makna yang begitu dalam. Dulu Bre mengira, itu nasehat wajar seorang ayah pada putranya yang sedang jatu
RAHASIA TIGA HATI - Pria Perhatian Agatha menyambut ramah kedatangan Bre. Senyumnya terbit sambil menggandeng sang suami masuk ke dalam rumah. "Sudah ditunggu papa dan mama di dalam, Mas."Bre mengikuti istrinya tanpa menjawab apa-apa. Sikap Agatha tidak sesuai dengan dugaannya. Dipikir Agatha cemberut, judes, dan mengadukan permasalahan mereka pada kedua orang tuanya. Namun melihat sambutan hangat sang mertua, sepertinya Agatha tidak melakukan hal itu.Dengan sikap santun, Bre menyalami kedua mertuanya. Mereka mempersilakan untuk duduk. Sambil makan yang dibahas tentang bisnis. Tentang usaha lain yang tengah dirintis oleh Pak Wawan. Namun Bre tidak serius menanggapi. Jika ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang termasuk menjegal bisnis Pak Rosyam, Bre jadi tidak respek. Kenapa tidak dari dulu ia menyadari hal ini. Kenapa ia menutup mata dengan kenyataan yang ada. Kenapa juga tidak mencari tahu dan percaya begitu saja dengan kata-kata sang mama. Sampai semuanya ini harus dibaya
Bu Ana tidak pernah tahu kasus penculikan Livia yang dilakukan oleh Bre. Alan menutup rapat kejadian itu. Bahkan Pak Rosyam pun tidak diberitahu. Sebab Adi juga tidak pernah cerita apa-apa jika bertemu Pak Rosyam di kantor. Adi juga sangat bisa dipercaya."Kalau kamu pengen apa-apa segera beli. Apalagi sekarang serba mudah. Bisa delivery order. Nggak usah takut gemuk. Pengen makan apapun makan saja, asal jangan berlebihan. Nanti kalau sudah melahirkan, badanmu akan kembali langsing."Livia tertawa mendengar ucapan mertuanya. Wanita itu tahu juga kalau ia sempat resah karena kenaikan berat tubuhnya yang membuat makin berisi."Maaf, mama belum bisa ke Surabaya. Masih nungguin budhe yang sakit. Kasihan kalau mama tinggal. Mantunya lagi hamil tua juga, jadi nggak bisa jagain. Tapi mama tetap akan bikin acara empat bulanan kehamilanmu di sini.""Iya, Ma. Mas Alan bilang kami akan pulang ke Sarangan bersama ayah juga.""Nggak usah pulang kalau kondisimu nggak memungkinkan. Mama khawatir kal
Hampir setahun belakangan ini, akhir pekan bagi Bre menjadi hari yang sangat menyebalkan. Bertemu mamanya dua hari dua malam dengan segala omelannya membuat Bre jengah. Pembahasan yang membosankan baginya. Terutama tentang rumah tangganya.Bre menghela nafas panjang sambil nyetir di tengah kemacetan kota Surabaya sehabis Maghrib itu. Rasanya malas sekali untuk pulang."Aku akan mengakhiri hidupku jika kita bercerai," ancam Agatha dua minggu yang lalu. Pada saat Bre mengajaknya membahas tentang rumah tangga mereka. Sungguh pernyataan di luar dugaan. Apa yang membuat Agatha mengancam seperti itu. Padahal jelas, dirinya bukan suami yang baik. Peluang Agatha mendapatkan pria baik-baik terbuka lebar setelah berpisah nanti."Aku nggak akan bisa membuatmu bahagia.""Bahagia atau enggak, itu urusanku," jawab Agatha. "Nggak apa-apa kita jalani hidup seperti ini saja sampai kita menua dan mati. Toh sebenarnya kita sudah sama-sama hancur, bukan. Kamu hancur karena Livia, aku hancur karena kamu,
RAHASIA TIGA HATI - RomansaTidak sabar. Tentu saja. Alan sudah merencanakan momen ini jauh-jauh hari. Setelah menikah mereka belum sempat berbulan madu, karena sibuknya pekerjaan. Ketika masih dalam suasana menikmati manisnya pengantin baru, terus Livia mengandung. Kemudian ada permasalahan dengan Bre, dan Alan pun harus menahan diri, karena tidak ingin terjadi sesuatu pada calon anaknya.Livia diturunkan di ranjang king size. Alan melepaskan jaketnya dan menyisakan kaus putih di dalamnya. Ia menahan tangan Livia yang hendak menarik selimut."Kita tidak akan tidur, Livi.""Kata mama harus hati-hati. Tiga puluh menit saja, kan?" Livia mengejek suaminya dengan sebuah senyuman."Mama bukan dokter, abaikan itu. Mama hanya khawatir. Btw, tiga puluh menit terlalu singkat, Sayang." Alan menatap lekat manik mata Livia. Tangannya menarik tali kimono warna soft pink yang dipakai istrinya.Ah, Livia hanya menggoda Alan. Padahal dia juga rindu pada suaminya. Ingat kan, betapa ia gelisah dan ur
Alan mengecup kening istrinya. Sebenarnya dia lebih dulu mengenal Livia daripada Selvia. Gadis yang datang seminggu dua sampai tiga kali ke tempat latihan Muay Thai setelah pulang dari kampus."Bro, Livia sebulan ke depan ikut latihan kamu ya. Selama kutinggal pulang ke Depok. Jadwalnya datang ke sini sama seperti jadwalmu nglatih." Heru yang bicara padanya sore itu. "Oke," jawab Alan sambil menoleh sekilas pada gadis yang sebenarnya sudah beberapa kali ia lihat di tempat latihan. "Hai, Coach. Namaku Livia." Dengan ramahnya Livia mengulurkan tangan."Alan." Alan menyebutkan namanya."Coach Alan." Livia tersenyum.Sebulan itu Alan melatih Livia sambil menunggu Heru kembali. Livia gadis yang ceria dan cerdas, membuat mereka cepat sekali akrab. Walaupun pada akhirnya Livia kembali dilatih oleh Heru. Namun tidak jarang latihan bersamanya jika masih ada waktu."Mas, melamun." Teguran Livia sambil menyentuh hidungnya membuat Alan memandang sang istri."Kamu belum tidur?" Padahal tadi Livi
Begini saja sudah membuatnya bahagia. Tidak perlu megah dan mewah. Tidak ada alasan untuk tidak mensyukurinya. Memiliki Alan saja sudah keberuntungan dari Tuhan. Benar kata Pak Ustadz, Allah tidak akan memberikan ujian tanpa kelulusan. Mungkin sebenarnya dia belum lulus karena perjalanan ke depan masih panjang. Tapi setidaknya ia telah terlepas dari keluarga yang sama sekali tidak menghargainya. Dari lelaki yang tidak pernah bisa membela dan memperjuangkannya.Alan lelaki yang sangat bertanggungjawab dan telah selesai dengan masa lalunya. Walaupun terkadang ada rasa penasaran dari Livia, ingin tahu sekelumit kisah tentang Alan dan kakaknya dari cerita Alan. Kalau dari Selvia, jelas saja ia tahu meski sekilas. Bagi Livia itu hal yang wajar. Karena tiba-tiba saja Alan melamarnya tanpa mengajaknya pendekatan lebih dulu.Livia menyibakkan rambut Alan yang menerpa wajahnya. "Rambut Mas makin panjang, nggak ingin dipangkas dikit saja.""Mas akan potong rambut setelah kamu melahirkan nanti.