"Mommy!" seorang bocah laki-laki menghampiri Disya yang sedang duduk menikmati es krim bersama dengan ketiga sahabatnya di salah satu caffe. Disya tentu saja membelalakkan matanya, yang benar saja bocah laki-laki di depannya memanggil Disya dengan sebutan 'Mommy' padahal Disya masih duduk di bangku kuliah semester tujuh, dan lagipula Disya belum menikah, bagaimana mungkin dia sudah mempunyai anak? Kailash, nama bocah laki-laki itu. Rupanya dia salah mengira Disya Mommynya. Hingga akhirnya seorang lelaki menghampiri meja mereka. Disya sampai membelalakkan matanya, mulutnya menganga ketika melihat lelaki tampan itu. Devan, lelaki yang dipanggil 'Daddy' oleh Kai. Baru pertama kali bertemu saja, rasanya Disya langsung jatuh cinta. Memejamkan kedua matanya, sedikit membenarkan posisi duduknya, lalu menengadahkan kedua tangannya di depan dada. "Ya Tuhan... jodohkanlah hamba dengan Pak Devan, kalo Pak Devan masih ada istri, ambil saja istrinya!" "Astaga, Disya omogan kamu ih!" pekik ketiga sahabatnya berbarengan. Mereka tentu saja syok mendengar ucapan sembarangan yang diucapkan Disya beberapa detik yang lalu. "Sejak kapan kamu suka sama om-om hah?!" "Sejak hari ini!" Berbeda dengan Disya yang langsung terpikat, Devan malah melihat Disya dengan tatapan tidak suka. Namun, Disya akan tetap bertekad, dia harus mendapatkan hati Devan. Setelah menjadi detektif dadakan untuk mengamati Devan. Sebuah fakta yang berhasil membuat Disya merasa sangat senang. Devan hanya tinggal berdua dengan Kai, yang artinya Devan adalah seorang duda bukan? Benar! Tentunya itu adalah kesempatan besar untuk Disya mendapatkan hati Devan. Tidak perlu mengambil hati Kai—bocah itu sudah menyukai Disya sejak pertemuan pertamanya. Tugas Disya hanya mencari cara untuk mengambil hati Devan. Akankah Disya berhasil? "Otw jadi Mommy Kai." — Nadisya Queensa Fatyavia. "Ck! Gadis kecil!" — Devano Zayn Ganendra. ***
Lihat lebih banyak"Mommy!"
Seorang bocah laki-laki tiba-tiba saja sudah menarik-narik celana kulot yang dipakai oleh seorang gadis yang sedang sibuk memakan es krim miliknya.Gadis yang masih berusia 20 tahun, dan duduk di bangku kuliah semester tujuh itu membelalakkan matanya menatap bocah itu, sedangkan tiga sahabatnya saling menatap lalu tertawa karena gadis tiba-tiba saja dipanngil 'Mommy' oleh bocah laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya."Hey, aku bukan Mommy kamu.""Mommy, es krim!" ucapnya memandang berbinar ke arah tangan gadis itu yang sedang memegang es krim."Hn? Anak siapa nih?!" Gadis cantik yang memiliki tubuh kecil, netra berwarna coklat, bibir juga hidung mungil, serta kulit putih itu terlihat gelagapan. Karena tiba-tiba ada bocah laki-laki yang menghampirinya, bahkan memanggilnya 'Mommy'"Anak kamu lah! Wayo Sya, anak sama siapa?""Astaga! Emang aku keliatan udah ibu-ibu apa?""Mommy!”Rengekannya kembali terdengar, kali ini mata bocah itu sudah berkaca-kaca, menampilkan puppy eyesnya."Sstt, eum iya ini—" Disya memangku bocah kecil itu, lalu dia memberikan es krim yang sedang dipegangnya. Disya merasa kasihan ketika bocah itu merengek—dan wajah lucunya—ah mana mungkin Disya setega itu untuk tidak memberikan es krim miliknya?"Makasih Mom," ucapnya mencium pipi kanan Disya. Gadis itu langsung membelalakkan matanya, begitu juga dengan ketiga sahabatnya."Astaga! Beneran anak kamu Sya?" pekik Alya, salah satu sahabat Disya yang sedang duduk di sampingnya.Disya menggeleng cepat. Sahabatnya dan ia celingukan menatap sekeliling caffe. Namun, sepertinya tidak ada yang kehilangan anaknya, semuanya terlihat biasa. Ada yang mengobrol, fokus dengan laptop, atau ponselnya. Di antara mereka tidak ada yang berekspresi seperti kehilangan anaknya."Kai, Daddy mencarimu kemana-mana. Daddy sudah bilang 'kan tunggu Daddy," seorang lelaki menghampiri meja mereka dengan gurat khawatir tampak jelas di wajahnya menatap bocah laki-laki yang ada dipangkuan Disya.Disya yang melihat lelaki di depannya langsung menatapnya tanpa berkedip, saking Disya terpesona dengan lelaki itu, mulutnya sampai sedikit menganga. Lelaki di depannya sangat tampan, hidung mancung, halis tebal, bola mata berwarna hazel, rahang tegas, juga kulit putihnya.Semuanya terlihat sempurna!"Sya, mulut kamu!" bisik Alya, menyikut lengan Disya untuk kembali menyadarkan gadis disampingnya.Disya menggeleng pelan, mengatupkan bibirnya segera, lalu berdehem kecil untuk kembali bersikap normal."Dan kenapa kamu memakan es krim? Daddy melarangnya bukan?" Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Disya, lalu menatapnya dengan tatapan tajam."Kamu yang kasih?" ketusnya."Hah?" Disya cengo.Yang benar saja? Bocah laki-laki ini yang tiba-tiba datang dan memanggil Disya dengan sebutan 'Mommy' dan dia juga yang meminta es krimnya, Disya tidak bisa menolaknya bukan? Bisa saja dia menangis nanti, lalu apa kata orang-orang? Bukankan orang-orang akan menatapnya sinis karena membuat seorang bocah menangis yang bisa saja tangisannya akan membuat para pengunjung merasa terganggu?Kenapa juga lelaki itu seperti memarahi Disya?Mengambil es krim yang sedang dipegang bocah laki-laki yang di ketahui bernama Kai, lalu menyimpannya kembali di atas meja. "Ayo kita pulang!" ajak lelaki jangkung yang masih berdiri di dekat meja Disya.Kai memanyunkan bibirnya lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dia malah melingkarkan lengannya di leher Disya, memeluknya erat."Ayo Kai!" Lelaki itu masih mencoba membujuk Kai."Mommy," rengek Kai menelusupkan wajahnya di dada Disya. Tangan Disya dengan refleks mengusap kepala bocah laki-laki itu lembut."Tidak Kai, dia bukan Mommy." Lelaki tampan itu mencoba memangku Kai dari pangkuan Disya, namun Kai tetap tidak mau melepaskan pelukannya.Semua pengunjung caffe kini menatap ke arah meja mereka, seolah ingin tau apa yang sedang terjadi. Jelas saja beberapa pengunjung yang rasa ingin tahunya tinggi itu memperhatikan mereka. Tidak ada yang bisa ketiga sahabat Disya lakukan selain ikut menonton memperhatikan."Dadd—eum... maksudnya Pak, biarin aja Kai di sini sama saya, ngga papa kok.""Tidak! kami harus pulang!""Ayo!" Disya menganguk semangat, lalu dia berdiri dari duduknya. Lagi-lagi ketiga sahabatnya melongo melihat tingkah Disya, begitu juga dengan lelaki itu. "Saya sama Kai, bukan saya, Kai, sama kamu!" ketusnya dengan nada tidak bersahabat sama sekali, tatapan tajam yang sedari tadi tertuju pada Disya bahkan tidak luntur juga sampai detik ini. Seolah lelaki itu memang tidak suka dengan Disya."Devan!"Lelaki tampan itu menoleh, seoarang perempuan paruh baya berjalan dengan langkah cepat menghampiri meja mereka."Oma!""Mommy." Kai memeluk leher Disya erat, seolah ia memberi tahu kepada perempuan paruh baya yang sudah berdiri di samping lelaki jangkung itu, bahwa Disya adalah Mommynya."Hah?" Maya—nama perempuan paruh baya itu terlihat melebarkan matanya mendengar ucapan Kai. Menatap Disya lalu menggeleng pelan. "Tidak, Kai. Ini bukan Mommy," lanjutnya kembali menatap Kai.Maya akhirnya membujuk Kai untuk turun dari gendongan Disya, ia juga meminta maaf kepada Disya karena ulah Kai yang mengira ia Mommynya. Setelah sekian lama dibujuk, akhirnya Kai mau melepaskan diri dari Disya. Walaupun harus dibohongi jika nanti mereka akan bertemu lagi.Disya berjinjit mendekatkan wajahnya ke telinga Devan. "Daddy," bisik Disya lalu menampilkan senyumnya."Ck! Gadis kecil!" cibirnya menatap Disya tajam, lalu dia berjalan menyusul Maya juga Kai yang sudah keluar dari caffe.Disya langsung terduduk kembali di kursinya lalu dia memegang dadanya."Ganteng banget!" pekik Disya heboh."Aku siap jadi Mommy kamu Kai," ucap Disya lagi."Fix! Aku harus ketemu lagi sama Kai, kalo perlu aku culik dia. Biar Daddynya jadi suami aku!""Setres! Kalo dia udah punya istri gimana?" tanya Fani yang membuat Disya langsung terdiam untuk sesaat. Sedikit menyadarkan Disya juga tentang ucapan dan niatnya yang akan menjadikan Devan suaminya.Disya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu memejamkan kedua matanya, sedikit membenarkan posisi duduknya, lalu menengadahkan kedua tangannya di depan dada. "Ya Tuhan! Jodohkanlah hamba dengan Pak Devan, kalo Pak Devan masih ada istri, bunuh saja istrinya!""Astaga, Disya omongan kamu ih!" pekik ketiga sahabatnya berbarengan. Mereka tentu saja syok mendengar ucapan sembarangan yang diucapkan Disya beberapa detik yang lalu."Sejak kapan kamu jadi suka sama om-om hah?!" tanya Yumna, mengernyitkan keningnya melirik Disya. Tidak salah 'kan ucapannya yang mengatakan lelaki bernama Devan yang baru beberapa menit yang lalu meninggalkan caffe itu disebut om-om? Usianya jelas pasti sangat jauh dengan mereka."Sejak hari ini!"~✧✧✧~Hai teman-teman pembaca novel Om Duda! Waw! Akhirnya aku bisa menyelesaikan novel ini. Makasih buat teman-teman yang udah selalu baca novel ini dari chapter awal sampe akhir, aku juga selalu buat kalian nunggu beberapa hari untuk update. Maaf ya, aku belum bisa konsisten buat nulis. Terutama permintaan maaf dan makasih buat teman-teman yang udah ngikutin novel ini dari awal, novel yang pertama kali aku update di bulan Juni, dan selesai di bulan Maret—8 bulan, waktu yang cukup lama. Makasih loh kalian udah setia dan enggak kabur karena aku jarang update, hehehe .... Lagi-lagi ucapan makasih buat teman-teman yang udah ngasih review, trus komentar di setiap babnya, dan makasih sudah ngasih vote yaa ... walaupun aku jarang balas komentar kalian, tapi aku tetep baca kok, baca komentar kalian itu seruu! Kalau suka sama novel ini, ayo bantu kasih review-nya. Dari chapter satu sampai chapter akhir, kalian lebih suka chapter berapa? Kalian boleh kasih pendapat tentang
Katanya tidak perlu khawatir tentang jodoh. Sejauh apapun ia berada, pasti akan mencari jalannya sendiri untuk bertemu.Walaupun awalnya memang Devan tidak baik-baik saja karena perceraiannya dengan Disya, tapi Mamahnya selalu menasihatinya."Biarkan Disya pergi dulu, ia perlu menyembuhkan lukanya. Kalaupun kalian memang ditakdirkan berjodoh, Disya akan kembali, Tuhan akan mempersatukan kalian kembali."Devan seperti menemukan kembali harapannya.Terkadang memang ada kisah yang harus usai, meski rasa belum juga selesai. Devan sudah melukai hati Disya, lelaki itu akan membiarkan Disya pergi untuk menyembuhkan lukanya, jika memang Tuhan mentakdirkan mereka berjodoh, Devan yakin Disya akan kembali, sesuai apa yang dikatakan oleh Mamahnya.Dear Queen ....Saat saya pertama melihat kamu, saya cukup terkejut melihat wajah kamu seperti Ibu kandung Kai, netra berwarna coklat, bibir juga hidung mungil, serta kulit putih—semua bagian wajahnya te
"Gimana hotel di Lombok?" tanya Devan mencoba bangun dari baringannya dengan susah payah."Oke, tidak ada problem," jawab Diky membantu Devan untuk duduk bersender di kasurnya.Devan mengangguk pelan, terdengar hembusan napas dari lelaki itu, kedua matanya sengaja dia pejamkan, menahan sakit di semua bagian tubuhnya."Ayo, saya antar ke rumah sakit," kata Diky untuk yang kesekian kalinya mengajak Devan untuk pergi ke rumah sakit."Tidak perlu, ini hanya sakit biasa.""Saya akan panggilkan dokter kalau begitu.""Tidak usah! Ini saya kurang istirahat saja," kata Devan. "Kai, ada?" tanya Devan. Sudah tiga hari ini, Devan tidak bertemu dengan putranya."Masih di rumah Disya, katanya hari ini akan di antar pulang ke sini."Devan mengangguk sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar di kepala ranjang.Diky menatap wajah Devan dengan seksama. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemas. Sudah tiga hari ini De
Disya menghela napasnya pelan, ia sudah berada di depan pintu ruang HCU. Naisya yang berada di samping Disya mengulurkan tangannya kepada Disya. Disya menatap tangan Naisya lalu menatap wajah perempuan itu."Ayo!" kata Naisya tersenyum.Disya tersenyum kecil lalu membalas uluran tangan Naisya. Keduanya melangkah memasuki ruangan HCU.Samudra yang ada di dalam ruangan langsung menatap ke arah keduanya. Semulanya wajahnya terkejut melihat kedatangan mereka. Namun, saat matanya melirik tangan keduanya yang saling bergandengan membuat senyum merekah di bibir Samudra."Kalian?"Disya menatap Samudra lalu mengulas senyum kecil di bibirnya, begitu juga dengan Naisya."Pah, lihat siapa yang datang," kata Samudra excited."Queen ...," sapa Doni dengan suara lirihnya.Naisya menatap Disya, lalu mengangguk pelan, menyuruh Disya untuk menemui Doni.Tautan tangan Disya dan Naisya terlepas. Kaki Disya melangkah perlahan menghampiri br
Disya menatap lekat-lekat wajah Devan. Tangannya terulur untuk mengelus pipi suaminya lembut. Memang benar apa kata Bundanya, penampilan Devan berubah, tubuhnya kurusan, rambutnya gondrong, tumbuh berewok di sekitaran dagunya."Pak Devan enggak pernah cukuran ya?" tanya Disya lirih.Devan masih tertidur pulas, itu kenapa Disya berani menyentuh wajah Devan. Bohong jika Disya mengatakan ia tidak merindukan Devan—Disya sangat merindukan suaminya."Pak Devan kelihatan aneh kalau berewokan. Kalau Pak Devan brewokan kelihatan kaya om-om beneran," kata Disya masih tetap menyentuh pipi Devan. "Disya lebih suka Pak Devan yang klimis, ganteng banget tahu ...."Disya kembali memperhatikan wajah Devan, hidung bangirnya, alis tebal, juga bulu matanya yang panjang—Disya merindukannya."Pak Devan kok kurusan? Memang di rumah kekurangan makanan, huh?""Penampilan Pak Devan benar-benar beda dari biasanya. Aneh, waktu Disya pertama kali lihat Pak
Disya sedang bergelung dipelukan Bundanya. Gadis itu sudah menceritakan semuanya tentang kejadian tadi siang.Devan, lelaki itu sedang mengobrol dengan Kakek dan Nenek Disya di teras. Satu jam yang lalu mereka baru saja selesai makan malam bersama.Kakek, Nenek, dan Dina menyambut hangat kedatangan Devan. Bersikap seolah tidak terjadi apapun. Bukan tidak marah kepada Devan, tapi mereka sudah memaafkan lelaki itu. Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tidak bisa diubah. Mereka menyerahkan semuanya kepada Disya. Walaupun nanti akhirnya mereka berpisah, tapi silaturahmi tetap harus dijaga bukan?"Disya harus gimana Bunda?" tanya Disya lirih."Kamu masih mencintai Devan?" tanya Dina mengelus sayang rambut putrinya. Disya memanyunkan bibirnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu Disya jawab pun, Bundanya sudah mengetahui kalau Disya masih mencintai Devan."Bunda tidak perlu mendikte apa yang harus kamu lakukan, kamu sudah dewasa sekarang, kamu bisa meni
Disya beneran enggak suka duduk di kantin kampus. Pak Devan tahu karena apa? Mahasiswi di sana selalu aja ngomongin Pak Devan, muji-muji Pak Devan, bahkan ada yang ngaku-ngaku kalau dia istri Pak Devan katanya. Ih, nyebelin kan?!Terus juga kenapa sekretaris Pak Devan harus punya bodi kaya gitar spanyol? Kenapa enggak nyari sekretaris yang laki-laki aja? Pak Devan tahu, Disya beneran enggak suka lihat Pak Devan sama Bu Sasya. Disya minder, Bu Sasya kelihatan lebih cocok kalau jalan beriringan sama Pak Devan dibanding sama Disya. Kenapa sih orang-orang selalu ngira kalau Disya itu adik Pak Devan? Karena Disya pendek, gitu? Tinggi Disya juga enggak sampai pundak Pak Devan. Ah! Enggak pokonya ini salah Pak Devan, karena Pak Devan yang ketinggian!Terus Pak Devan kenapa sih ganteng banget, huh? Bisa enggak sih gantengnya cuman bisa dilihat sama Disya aja, trus kalau Pak Devan ketemu orang-orang mukanya di jelek-jelekin aja gitu, biar yang naksir Pak Devan cuman Disya doang
Pak Devan tahu enggak sih, Disya tuh rasanya pengen banget nanyain sama Mamah Maya, bener enggak sih Pak Devan anak kandung Mamah Maya sama Papah Husein? Pak Devan tuh enggak humoris kaya Mamah, Papah sama Naya. Jangan-jangan Pak Devan anak pungut lagi! Pak Devan tuh jutek, dingin, trus kalau bicara irit banget. Bicara panjang lebar kalo lagi marahin Disya aja, trus Pak Devan selalu aja pakai istilah-istilah dan kata-kata yang kadang Disya harus loading dulu buat paham. Huh! Nyebelin.Pak Devan juga selalu ngelarang Disya sama Kai buat makan cokelat, es krim, ciki-cikian, junk food, pokonya semua makanan enak deh. Pak Devan tuh manusia ter-aneh yang pernah Disya temuin tahu! Mana ada manusia yang enggak suka makanan enak banget kaya gitu ... Aish, aneh!Devan menyunggingkan senyumnya setelah selesai membaca tulisan tangan Disya yang ada di kertas berwarna merah muda itu. "Apa saya perlu tes DNA untuk membuktikan saya anak kandung Mamah dan Papah? Dan, makanan seperti i
Tepat pukul satu siang Disya terbangun. Dina yang selalu berada di samping Disya, menemani putrinya. Saat siuman, Disya langsung khawatir tentang keberangkatannya ke Yogyakarta yang harus dibatalkan karena Disya berada di rumah sakit sekarang."Hari ini kita harus pergi, Bunda ...," kata Disya lagi.Dina menggeleng. "Kamu harus pulih dulu, sayang," jawab Dina sembari mengelus pucuk kepala Disya lembut."Disya baik-baik aja kok! Disya cuman kecapean aja, enggak perlu dirawat juga," kata Disya.Sebenarnya itu tidak benar. Disya merasakan keram di bagian perutnya. Namun, dia harus berbohong karena gadis itu benar-benar ingin cepat pergi dari kota itu."Kamu harus tetap di sini, sayang."Disya memanyunkan bibirnya."Ayo makan dulu," ucap Dina. Mengambil makanan yang sudah disediakan. Disya menerima suapan yang disodorkan oleh Bundanya. Dina terus memperhatikan gerak-gerik Disya yang selalu menatap pintu yang tertutup rapat, wajah pu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen