RAHASIA TIGA HATI - Pertemuan Tidak Sengaja"Mas." Livia balas menyapa Bre yang berdiri beberapa langkah di sampingnya. Kaget karena bertemu mantan suaminya di sana.Lelaki itu tersenyum. "Alan mana?""Mas Alan lagi terima telepon di luar. Mas Bre, mau nyari kado juga?" Livia bertanya dengan sikap sebiasa mungkin. Meski raganya gemetar dan dadanya berdebar. Bagaimanapun juga mereka pernah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Setelah bercerai baru kali ini mereka bertemu lagi hanya berdua saja, setelah kejadian di kamar waktu Bre membawanya kabur."Iya. Aku nganterin mama." Bre menoleh pada Bu Rika yang sedang sibuk memilih kado di ujung sana. "Bentar, Mas. Aku lihat-lihat dulu yang di sebelah sana." Buru-buru Livia melangkah pergi. Ia tidak ingin Alan melihatnya bersama Bre meski itu pertemuan tidak sengaja dan di tempat umum pula. Bre memperhatikan langkah Livia menjauhinya. Yang tersisa di dada masih tetap sama untuk wanita itu. Tidak pernah ada yang berubah.Ia melihat wajah
"Bu Rika." Alan menghampiri dan mengulurkan tangan. "Oh, Alan. Apa kabar?" Bu Rika canggung."Alhamdulillah. Kabar baik. Ibu, sendirian?""Bersama Bre dan Leo. Mereka menunggu di luar."Alan mengangguk, kemudian menghampiri Livia. "Bingung mau ngasih apa, Mas. Pasti perlengkapan bayi semua sudah ada. Cari yang unik, tapi apa?" Livia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Alan mendampingi di sebelahnya. Bu Rika memperhatikan, kemudian menunduk."Kita kasih sepatu, gendongan, sama soft toys saja gimana?" Livia memandang suaminya."Boleh juga."Alan memilihkan warna supaya mereka lebih cepat pergi dari sana. Sebab mereka masih harus menjemput Alvian untuk mengajaknya ke rumah dokter Pasha."Nak Alan, Livia, ibu pergi dulu, ya." Bu Rika menghampiri sambil menenteng paper bag. Setelah Alan dan Livia menyalami, wanita itu keluar dari baby shop. Mengedarkan pandangan hingga menemukan sang anak dan cucunya yang sedang ngobrol di bangku.Mereka langsung menuju ke rumah dokter Pasha. Bre y
Jujur saja, Livia masih bisa membaca isi hati lelaki itu dari tatapan matanya. Rasa itu masih ada untuknya. Pasti Alan juga mengetahui . Tapi dia memang sangat dewasa dalam menyikapi dan membawa diri. Terbayang jelas bagaimana Bre tadi memeluk Alvian. Hati Livia teriris-iris. "Menikahlah, Bre. Biar aku juga tenang. Kamu juga akan mendapatkan kebahagiaanmu. Aku sudah bahagia dengan Mas Alan dan anak kami."Sesampainya di rumah, Alvian disambut Mak Ramlah. Masuk kamar untuk ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, dan minum susu. Sementara Livia pun langsung membersihkan diri, berganti baju. Ia memakai ling*rie s*ksi yang ditutupi di balik kimono warna putih tulang yang dipakainya.Ia menggelar dua sajadah sambil menunggu Alan keluar dari kamar mandi. Wajahnya sangat ceria kendati batinnya sedih melihat Bre."Besok aku bisa ngantor, Mas," kata Livia usai salat dan meletakkan mukena di rak sudut kamar. Kemudian menyusul sang suami dan memeluknya di atas ranjang."Sayang, kamu WFH saja sudah
RAHASIA TIGA HATI - AlanJika Bre masih duduk merenung sambil menikmati rokok demi rokoknya di balkon kamar, Alan pun masih terjaga di samping Livia yang telah terlelap usai permainan manis mereka.Alan memandangi wajah ayu yang meringkuk di bawah selimut. Biasanya dia yang terlelap duluan sehabis bercinta. Tapi kali ini Livia yang tertidur lebih dulu. Disibakkan pelan rambut yang menempel di kening Livia. Kemudian mengambil posisi terlentang, menatap langit-langit kamar.Ada rasa bersalah yang coba ditebus Livia terhadapnya. Alan bisa merasakan hal itu. Mungkin ini tentang Bre. Waktu di baby shop tadi, ia sempat melihat Bre keluar dari toko. Bisa jadi mereka bertemu di dalam sana. Hanya saja Livia tidak mau cerita untuk menjaga perasaannya. Alan pun tidak ingin bertanya demi menjaga perselisihan di antara mereka. Ia mempercayai kesetiaan istrinya.Namun jujur saja, ada nyeri yang terasa menusuk hati. Terlebih ia masih bisa melihat ada cinta di mata Bre untuk Livia. Sebab Alan pernah
"Kamu nggak pengen sesuatu?" tanya Alan. Livia belum meminta apapun sebagai ngidamnya semenjak hamil kedua ini. "Bilang saja, nanti mas carikan.""Apa ya? Aku hanya pengen makan mie instan, Mas. Rasa soto ayam. Enak kayaknya dimakan sepagi ini. Sesekali makan kan nggak apa-apa.""Oke. Mas masakin ya.""Memangnya mas bisa?""Apa susahnya kalau hanya sekedar masak mie instan." Alan bangkit dari duduknya lalu keluar kamar. Dia sudah terbiasa masak mie sejuta umat itu sewaktu belum menikah dan tinggal sendirian. Kalau malas keluar, ia akan masak mie instan."Mau masak mie, Mas? Sini biar saya yang masakin," ujar Mak Ram yang tengah mencuci botol susu."Nggak usah, Mak. Saya bisa." Sesuai petunjuk, Alan menakar air dan melihat jarum jam untuk memastikan berapa lama ia harus merebus mie. Alan sedisiplin itu.Lima menit kemudian dua mangkuk mie rasa soto dibawa Alan ke kamar. "Hmm, Mas pengen juga rupanya.""Apa untuk kehamilan kali ini, kamu nggak mengharuskan mas membersamimu gendut bare
Dua pria bersaudara itu saling pandang. Ferry yang lebih dulu mengalihkan perhatian karena merasa bersalah. Bu Rika diam dengan dada berdebar-debar."Ini juga salahku. Harusnya sejak menikah aku membawanya pergi dari Surabaya. Sekarang semua sudah terlambat, nggak seharusnya aku terus terjebak masa lalu. Harusnya aku bangkit seperti keinginan kalian. Tapi aku nggak bisa. Mungkin Mas Ferry dan Mama nggak percaya. Kalian mengira aku nggak berusaha. Jujur aku sendiri lelah dengan perasaan ini. Sangat lelah. Tapi hanya dia yang kucintai sejak dulu, yang tidak bisa kubuang dari hatiku." Bre berhenti bicara karena terbatuk-batuk. Ferry mengambilkan air minum."Aku ingin tiduran sebentar." Bre merebahkan diri setelah minum air.Bu Rika dan Ferry keluar kamar. "Ma, bagaimana kalau aku yang mengambil alih projek kerjasama dengan Alan. Kalau kita terus membiarkan Bre berhubungan secara langsung dengan mereka, makin membuatnya terpuruk." Ferry bicara pada sang mama ketika mereka sudah duduk di
RAHASIA TIGA HATI - Serba Salah "Kemarin pakdemu sama anaknya datang ke rumah," kata Pak Rosyam beberapa saat setelah mobil meninggalkan kantor. Dia sendiri yang mengantarkan Livia pulang sore itu. Sedangkan Pak Tamin akan pulang bareng salah seorang karyawan di sana."Ngapain datang lagi, Yah?""Mau nyambung silaturahmi katanya.""Nggak mungkin cuman itu. Biarkan saja nggak usah dipedulikan. Ke mana mereka ketika kita terpuruk." Setiap mengingat waktu itu, Livia kembali kecewa. Dia pernah menemui pakdenya suatu hari. Hanya meminta lelaki itu agar mau menjenguk ayahnya yang tengah berada di puncak depresi. Namun ketidakpedulian mereka hanya membuat sakit hati."Jangan menyimpan dendam, Livia. Nggak baik.""Bukan dendam, Yah. Kalau mau dendam, mungkin aku akan dendam pada keluarga Bu Rika yang sudah menghancurkan keluarga kita. Tidak hanya bisnis yang tumbang, tapi kita kehilangan ibu dan Mbak Silvi. Menghancurkan rumah tangga anaknya sendiri. Tapi aku berdamai dengan semua itu. Aku
"Sekarang dari pihak Hutama yang pegang kerjasama kan Mas Ferry setelah Bre mundur. Apa kamu nggak dikasih tahu sama Mas Alan?""Dikasih tahu," jawab Livia bohong. Padahal Alan tidak pernah cerita padanya kenapa ada perubahan seperti itu dari pihak mereka. Kenapa Bre mundur? Bukankah dia yang sekarang sebagai pimpinan di Hutama. Ada apa sebenarnya dengan Bre? Perasaan penasaran sekaligus cemburu pada Ella berbaur jadi satu."Liv, aku pergi dulu ya. Mau langsung ke kantor ayah," pamit Ella.Livia mengangguk. Ia memandangi gadis itu hingga keluar restoran setelah menyalami Pak Rosyam. Dadanya bergemuruh dipenuhi perasaan cemburu. Pasti dia akan bertemu dengan Alan di sana. Livia sendiri tidak nyaman jika timbul perasaan itu. Sangat sensitif terlebih disaat hamil begini. Tapi bagaimanapun dia menepis, rasa itu spontan saja memenuhi dada."Ayo, Yah." Livia menghampiri sang ayah sambil menenteng pesanannya. Pak Rosyam berdiri dan melangkah bersama ke luar restoran."Kenapa kamu cemberut be