Pak Rosyam mendengarkan cerita Ferry dengan perasaan sedih. Hati seorang ayah sangat tersentuh. Dulu dia juga menyukai Bre yang perhatian dan sangat sayang pada Livia. Berani memperjuangkan Livia supaya mendapatkan restu dari mamanya. Meski seiring berjalan waktu segalanya telah berubah."Saya tidak tahu bagaimana bisa membuatnya bangkit lagi. Cara apa yang bisa membuat move on dari Livia. Makanya saya sudah membahas hal ini dengan mama dan Om saya. Mereka setuju kalau saya yang menggantikan posisi Bre.""Iya, Nak Ferry. Saya paham kekhawatiran kamu. Besok saya akan membahasnya dengan Alan. Sekarang bagaimana keadaan Bre?""Sudah tiga hari ini dia istirahat di rumah. Dia menolak perawatan intensif di rumah sakit. Kami berusaha menyembuhkannya dari kec4nduan rokok. Dan sekarang kami masih terus membujuknya untuk konseling ke psikolog.""Alasan apa yang akan saya katakan pada Alan. Tidak mungkin saya ceritakan alasan sebenarnya. Saya juga harus menjaga perasaan menantu saya. Menjaga hub
RAHASIA TIGA HATI - Dua Pria Satu Cinta Dibiarkannya benda pipih di samping tempat duduknya berdering hingga Alan berhenti di pinggir jalan. Saat dilihat, ternyata Bre yang menelepon. Setelah hampir empat bulan lamanya Bre menghilang , kini baru menghubunginya. Alan menelepon balik."Halo." Suara Bre di seberang. Namun terdengar agak serak."Maaf, aku tadi lagi nyetir. Ada apa, Bre.""Kamu masih di jalan?""Iya.""Maaf kalau aku mengganggu waktumu, Lan. Setelah sekian lama aku juga baru menghubungimu. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu denganmu sekarang. Tapi kalau kamu belum sempat, bisa besok atau lusa pas longgar saja. Lagian sekarang sudah malam."Alan melihat ke arah jam digital yang menempel di dashboard mobilnya. Hampir jam setengah sembilan malam. Harusnya ia pulang saja. Livia dan Alvian pasti sedang menunggunya. Namun bertemu dengan Bre juga penting. Mungkin ada sesuatu yang bisa mereka bicarakan. "Aku tahu kamu habis meeting. Kalau begitu lain waktu saja kita bertemu."
Waktu itu Ferry bilang kalau Bre mundur karena sedang mengerjakan projek bersama omnya dan hanya cerita sekilas tentang sakitnya Bre. Sekarang Bre yang bilang sendiri kalau dia memang sakit dan butuh penanganan serius."Mas Ferry nggak bikin masalah kan, Lan?""Nggak. Pekerjaan juga berjalan sesuai dengan schedule."Bre manggut-manggut."Kapan kamu kembali join dengan kami?" tanya Alan.Bre diam beberapa saat, kemudian menatap pria dihadapannya. "Biar Mas Ferry saja yang melanjutkan kerjasama denganmu, jika kamu nggak keberatan. Aku ada pekerjaan di luar kota.""Di mana?""Masih di Jawa Timur juga." Bre tidak menyebutkan nama kotanya. Makin membuat Alan yakin kalau Bre memang sedang menghindarinya. Bahwa sebenarnya pun Bre tidak baik-baik saja selama ini. Alan bisa merasakan bagaimana Bre tersiksa oleh perasaan cintanya pada Livia. Walaupun dia tidak menceritakannya."Pekerjaan itu masih di bawah naungan Hutama Jaya?"Bre mengangguk padahal itu bohong. Hutama Jaya belum bisa melebarka
Alan yang menyadari istrinya sedang cemburu, meraih jemari wanitanya. Namun Livia menghindarkan tangannya dari sentuhan sang suami. "Ella tadi datang untuk mengantarkan makanan. Mungkin hanya setengah jam dia ikut nimbrung meeting dengan papanya."Hati Livia memanas. Padahal dia benci sekali perasaan itu. Dia tidak ingin cemburu dan mencurigai suaminya. Namun rasa itu hadir begitu saja. Mengganjal membuat resah.Alan merapat lantas merengkuh tubuh Livia. "Nggak ada yang mampu bersaing denganmu dihati suamimu. Tidak dengan Ella atau perempuan mana pun."Livia melunak. Ucapan dan perlakuan Alan meredam gelombang cemburu dalam dadanya. Lelaki itu mengecup puncak kepala istrinya berulang kali."Mas ketemuan sama relasi dari Gresik.""Pak Imam?" tebak Livia."Iya, Sayang." Terpaksa Alan harus berbohong. Dia tidak bisa menceritakan pertemuannya dengan Bre tadi. Sebab di antara mereka sebenarnya belum bisa dikatakan baik-baik saja. Andai Bre tidak seperti ini, mungkin hubungan mereka lebih
RAHASIA TIGA HATI - Tempat Baru"Mama, nggak usah sedih. Toh kita masih bisa bertemu dua minggu sekali atau sebulan sekali. Kalau tiap akhir pekan aku harus pulang ke Surabaya jelas nggak bisa, Ma. Mama, tahu aku belum bisa nyetir jarak jauh jika belum benar-benar pulih." Bre bicara pada Bu Rika yang menungguinya mengemas pakaian malam itu."Biar mama yang mengunjungimu bersama Leo.""Jangan ngrepotin Mas Ferry. Belum tentu dia bisa nganterin mama. Mas Ferry sibuk sekarang ini. Kalau akhir pekan pasti ingin quality time bersama istrinya. Apalagi mereka sedang program hamil.""Mama bisa di antar sopir," keukeh Bu Rika.Bre mengunci travel bag-nya, kemudian duduk di depan sang mama. "Aku bukannya pergi jauh. Kita bisa telepon dan video call.""Mama tetap sedih, Bre. Sejak kecil kamu dan Ferry nggak pernah jauh dari mama. Kamu sekarang ingin pergi juga karena mama. Maafkan mama telah membuatmu menderita.""Penderitaanku mungkin tidak seberapa dibandingkan penderitaan keluarga Livia. Mer
Livia mondar-mandir di dalam ruangannya menjelang sore. Kalau capek duduk, ia akan berjalan-jalan sebentar, baru kembali menghadap laptop. Begitu terus sepanjang hari selama di kantor. Kadang kalau pinggang terasa pegal, ia akan rebahan di sofa yang ada di sana.Wanita itu berdiri di dekat jendela. Tangannya mengusap permukaan perut yang terasa gatal. Hamil bayi kembar ternyata keluhannya juga dobel. Perutnya sekarang tak alang kepalang besarnya. Sampai susah dibawa berbaring.Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. Setelah ia menjawab, masuk Rasty yang membawa map. "Mbak Liv, ini berkas yang sudah selesai saya cek.""Makasih, Ras. Hmm, tamunya tadi siapa?" tanya Livia kembali duduk di kursinya."Pak Ferry, Mbak. Tapi barusan pulang.""Oke."Rasty pamitan keluar. Sambil meneliti berkas, Livia ingat Bre yang tidak ia ketahui kabarnya. Di mana dia sekarang. Sebab kakaknya yang meng-handle semua pekerjaan. Ayah dan suaminya tidak mungkin memberitahunya. Para karyawan juga tidak ada ya
Usia salat, Livia keluar. Di serambi suaminya sudah duduk menunggu. Alan memakaikan sepatu ke kaki Livia. Dan sang istri berpegangan pada pundaknya. Beberapa jamaah di sana senang melihat mereka. Gestur yang menunjukkan betapa perhatiannya seorang laki-laki pada wanitanya yang tengah hamil besar."Tadi aku ketemu Mbak Tiara istrinya Mas Ferry, Mas." Livia memberitahu ketika mereka kembali melangkah ke tempat praktek dokter Nita."Kenapa dia ada di sini?""Mau program hamil ke dokter Nita. Tadi dapat antrian nomer dua." Livia tidak menceritakan apa yang diketahuinya tentang Bre. Mungkin suaminya pun sudah tahu.Sampai di sana, Livia sudah tidak melihat Cyntiara di bangku tunggu. Namun wanita itu keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit kemudian dan menghampirinya. "Mbak Livia, Mas Alan, saya pulang duluan, ya.""Iya, Mbak. Hati-hati." Livia yang menjawab. "Makasih." Cyntiara pergi, Livia dan Alan masih duduk menunggu hingga nama mereka dipanggil oleh perawat di sana.Pemeriksaan d
RAHASIA TIGA HATI - Sebuah Pilihan "Kalau begini, bermakna kamu belum bisa move on, Bre. Belum bisa berdamai dengan hatimu sendiri sekalipun kamu pindah tempat.""Move on dan berdamai tidak harus melupakan kan, Mbak?"Mereka berpandangan."Aku jauh lebih baik dan tenang di sini. Bertemu orang-orang di lingkungan dan pekerjaan baru. Aku sudah bisa lepas dari rokok. Hidup kujalani dengan sehat. Nyaris aku nggak pernah begadang juga kecuali ada pekerjaan yang mengharuskanku lembur."Kalau untuk lupa jelas nggak akan bisa kecuali aku amnesia permanen. Jujur saja aku kangen sama Alvian yang selalu memanggilku Om Ble. Lucu sekali anak itu." Bre tersenyum sambil tengadah menatap langit malam yang bertabur bintang. Seolah bocah kecil dengan deretan giginya yang rapi itu tampak di sana.Kenny memandang anak-anaknya yang asyik dengan papanya melihat kembang api. Dipikir ketemu Bre setelah dua bulan mereka tidak pernah berjumpa, Kenny bisa melihatnya tanpa bayang-bayang Livia. Tapi ternyata sa