Usia salat, Livia keluar. Di serambi suaminya sudah duduk menunggu. Alan memakaikan sepatu ke kaki Livia. Dan sang istri berpegangan pada pundaknya. Beberapa jamaah di sana senang melihat mereka. Gestur yang menunjukkan betapa perhatiannya seorang laki-laki pada wanitanya yang tengah hamil besar."Tadi aku ketemu Mbak Tiara istrinya Mas Ferry, Mas." Livia memberitahu ketika mereka kembali melangkah ke tempat praktek dokter Nita."Kenapa dia ada di sini?""Mau program hamil ke dokter Nita. Tadi dapat antrian nomer dua." Livia tidak menceritakan apa yang diketahuinya tentang Bre. Mungkin suaminya pun sudah tahu.Sampai di sana, Livia sudah tidak melihat Cyntiara di bangku tunggu. Namun wanita itu keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit kemudian dan menghampirinya. "Mbak Livia, Mas Alan, saya pulang duluan, ya.""Iya, Mbak. Hati-hati." Livia yang menjawab. "Makasih." Cyntiara pergi, Livia dan Alan masih duduk menunggu hingga nama mereka dipanggil oleh perawat di sana.Pemeriksaan d
RAHASIA TIGA HATI - Sebuah Pilihan "Kalau begini, bermakna kamu belum bisa move on, Bre. Belum bisa berdamai dengan hatimu sendiri sekalipun kamu pindah tempat.""Move on dan berdamai tidak harus melupakan kan, Mbak?"Mereka berpandangan."Aku jauh lebih baik dan tenang di sini. Bertemu orang-orang di lingkungan dan pekerjaan baru. Aku sudah bisa lepas dari rokok. Hidup kujalani dengan sehat. Nyaris aku nggak pernah begadang juga kecuali ada pekerjaan yang mengharuskanku lembur."Kalau untuk lupa jelas nggak akan bisa kecuali aku amnesia permanen. Jujur saja aku kangen sama Alvian yang selalu memanggilku Om Ble. Lucu sekali anak itu." Bre tersenyum sambil tengadah menatap langit malam yang bertabur bintang. Seolah bocah kecil dengan deretan giginya yang rapi itu tampak di sana.Kenny memandang anak-anaknya yang asyik dengan papanya melihat kembang api. Dipikir ketemu Bre setelah dua bulan mereka tidak pernah berjumpa, Kenny bisa melihatnya tanpa bayang-bayang Livia. Tapi ternyata sa
"Dikala aku dan keluargaku tidak bisa menjadi penopang dan justru menyakiti Livia dan ayahnya, tapi Alan selalu ada untuk mereka. Sebagai sesama lelaki, jujur aku mengakui kalau Alan adalah pria yang luar biasa. Livia tepat bersamanya. Alan tetap baik, walaupun tunangannya sudah dicelakai oleh mama."Aku sudah melewati fase-fase di mana aku marah, benci, dan ingin mengamuk pada Alan, karena dia telah menikahi wanita yang sangat aku cintai. Semua itu sudah kusadari sekarang ini. Livia berada di tangan lelaki yang tepat. Aku memang pernah khilaf telah membawa kabur Livia. Menyekapnya dalam satu ruangan dan hanya ada kami berdua saja. "Namun aku tak ingin merusak hubungan mereka dengan men0dai Livia. Sudah kubilang, aku mencintainya dengan perasaan yang berbeda. Tidak hanya sekedar tentang kenikm4tan jasmani saja. Meski aku sempat meng4ncam Livia dan berb0hong pada Alan, tapi kenyataannya aku hanya memeluknya."Kalau aku ingat bagaimana perlakuan mamaku pada Livia, ingat betapa kejamnya
Alan membantu Livia bangun dan turun. Namun hanya berdiri saja karena sudah tidak sanggup berjalan. Alan mengusap-usap permukaan perut Livia yang menyandarkan kepala di dadanya.Jika ada kata lain di atas rasa cemas, itulah perasaan Alan sekarang. Perutnya ikut mulas dan kekhawatiran memenuhi dada.Livia menggigit bibirnya. Sakit kali ini rasanya dua kali lipat dari kesakitan saat melahirkan Alvian dulu. Seorang bidan masuk untuk memeriksa. Livia kembali berbaring. Ternyata sudah bukaan enam. Livia di awasi. Suasana kian tegang. Tubuh Livia dan Alan sudah basah berkeringat. Pembukaan terus bertambah secara signifikan dalam waktu yang cepat. Dokter Nita masuk bersama perawat saat Livia sudah bukaan delapan.Selang oksigen sudah dipasang. Cairan infus hilir mudik di selang yang menancap di lengan kiri Livia.Bukaan lengkap. Dokter Nita memberikan aba-aba untuk mengejan. Tepat jam satu malam menggema suara tangis bayi pertama. Bu Ana menangis bahagia dan Alan pun lega. Livia kembali m
RAHASIA TIGA HATI - Hadiah"MasyaAllah gemesin, Mbak." Bre memperhatikan dua bayi yang dibedong dan berbaring di baby crip."Sama persis wajahnya. Gimana bisa bedain ini." Bre menatap dengan pandang kekaguman."Kamu juga bisa mendapatkan baby yang gemesin. Menikahlah, punya anak dan kamu akan sembuh dari lukamu."Bre tersenyum. Jawaban yang menjadi teka-teki. Dulu Bre selalu bilang tidak akan mencari pengganti Livia jika ditanya. Namun sekarang sebuah senyuman sudah cukup menjadi sebuah jawaban."Alva dan Alvin." Tulisan yang tertera di bawah gambar dua bayi. "Nama yang indah," ujarnya. Tentu nama yang dipilih tidak jauh-jauh dari gabungan nama Alan-Livia.Kenny memperhatikan Bre yang bicara sambil menatap layar ponselnya. Raut wajahnya susah terbaca."Aku nggak bisa bayangin jaga tiga balita sekaligus. Satu toddler dan dua new born. Mana cowok semua. Tapi Alvian bukan toddler lagi lah. Usianya sudah empat tahun sekarang. Mulai masuk PAUD dan merupakan masa golden age. Mereka memang
"Nama mereka untuk mengabadikan nama kami, Ma. Simple sebenarnya," jawab Alan seraya memandang sang istri yang terbaring di brankar."Tapi mama nggak bisa bedain.""Alva ada tahi lalat di dengkulnya.""Oh. Kapan sepupunya Mak Ramlah datang?" "Besok, Ma.""Syukurlah. Bisa datang lebih cepat." Bu Ana memang tidak mengizinkan Alan mengambil baby sitter dari yayasan. Terlebih jika orang itu masih muda. Lebih baik mengambil baby sitter orang yang sudah berumur. Tentu juga yang sudah berpengalaman.Bu Ana tidak ingin dalam rumah tangga putranya diganggu oleh orang ketiga. Banyak kasus majikan selingkuh dengan ART-nya. Ia yakin Alan tidak akan berbuat sehina itu, tapi bagaimana jika perempuannya nekat untuk menggoda, lebih-lebih lagi memfitnah.Suasana di ruang perawatan Livia sangat semarak siang itu. Hanya keluarga inti saja yang hadir di sana. Sebab seperti dulu, Alan melarang para karyawan dan kenalan menjenguk di rumah sakit. Supaya Livia dan bayi mereka bisa beristirahat. Apalagi kond
Enam bulan kemudian ...."Mama, adek ini loh!" teriak Alvian dari ruang keluarga.Livia yang sedang berada di dapur meletakkan piring yang akan di isi puding demi untuk menghampiri anak-anaknya."Alva, jangan gangguin Abang, dong." Livia mengangkat Alva yang sedang mengacaukan buku gambar dan pensil warna Alvian. Di dudukkannya bocah yang sudah pandai merangkak itu di baby walker dan memberinya mainan. Namun si bayi berontak minta turun lagi sambil merengek.Sedangkan si kembar satunya asyik makan biskuit sambil menonton kartun di televisi. Walaupun anteng, mulut Alvin belepotan dan di bawah kakinya remahan biskuit betebaran.Hari Minggu pagi itu Mak Ramlah dan Mbak Sarti sedang menghadiri acara pernikahan kerabat mereka. Livia memberikan libur sejak Sabtu kemarin dan mereka akan kembali malam nanti.Makanya dua hari ini dia dan Alan yang sibuk mengurusi tiga jagoannya. Ada pekerja paruh waktu, tapi dia khusus untuk mengurus rumah. Kebetulan Bu Ana sambang ke Sarangan baru seminggu in
RAHASIA TIGA HATI Part 80 Malam di Kota Malang Rasanya baru saja terlelap saat lengkingan tangis Alva membangunkan Livia dan Alan. Pria itu bangkit lebih dulu dan langsung menggendong si kecil supaya tidak mengganggu adik kembarnya."Bawa sini, Mas. Biar aku kasih ASI."Alan memberikan Alva pada Livia dan bayi itu langsung diam dan kembali memejam mendapatkan ASI-nya. "Dia haus, Mas. Biasanya sebelum bobok kan minum susu dulu." Livia berkata lirih pada sang suami yang duduk tepat di sebelahnya sambil menepuk-nepuk lembut paha menggemaskan si bayi. Sementara kembarannya masih tidur pulas memeluk guling. Keduanya memang tidur di baby crip masing-masing. Kalau dijadikan satu, khawatir saling mengganggu.Alva kembali terlelap. "Mas pindahkan ke box-nya lagi, ya," ujar Alan. "Pelan-pelan, Mas."Ketika sudah dalam gendongannya, Alva menggeliat. Alan menimang-nimangnya sejenak hingga bayinya kembali tenang. Kemudian menaruh dengan sangat pelan ke baby crip. Bayi itu kembali tidur miring
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K