Alan membantu Livia bangun dan turun. Namun hanya berdiri saja karena sudah tidak sanggup berjalan. Alan mengusap-usap permukaan perut Livia yang menyandarkan kepala di dadanya.Jika ada kata lain di atas rasa cemas, itulah perasaan Alan sekarang. Perutnya ikut mulas dan kekhawatiran memenuhi dada.Livia menggigit bibirnya. Sakit kali ini rasanya dua kali lipat dari kesakitan saat melahirkan Alvian dulu. Seorang bidan masuk untuk memeriksa. Livia kembali berbaring. Ternyata sudah bukaan enam. Livia di awasi. Suasana kian tegang. Tubuh Livia dan Alan sudah basah berkeringat. Pembukaan terus bertambah secara signifikan dalam waktu yang cepat. Dokter Nita masuk bersama perawat saat Livia sudah bukaan delapan.Selang oksigen sudah dipasang. Cairan infus hilir mudik di selang yang menancap di lengan kiri Livia.Bukaan lengkap. Dokter Nita memberikan aba-aba untuk mengejan. Tepat jam satu malam menggema suara tangis bayi pertama. Bu Ana menangis bahagia dan Alan pun lega. Livia kembali m
RAHASIA TIGA HATI - Hadiah"MasyaAllah gemesin, Mbak." Bre memperhatikan dua bayi yang dibedong dan berbaring di baby crip."Sama persis wajahnya. Gimana bisa bedain ini." Bre menatap dengan pandang kekaguman."Kamu juga bisa mendapatkan baby yang gemesin. Menikahlah, punya anak dan kamu akan sembuh dari lukamu."Bre tersenyum. Jawaban yang menjadi teka-teki. Dulu Bre selalu bilang tidak akan mencari pengganti Livia jika ditanya. Namun sekarang sebuah senyuman sudah cukup menjadi sebuah jawaban."Alva dan Alvin." Tulisan yang tertera di bawah gambar dua bayi. "Nama yang indah," ujarnya. Tentu nama yang dipilih tidak jauh-jauh dari gabungan nama Alan-Livia.Kenny memperhatikan Bre yang bicara sambil menatap layar ponselnya. Raut wajahnya susah terbaca."Aku nggak bisa bayangin jaga tiga balita sekaligus. Satu toddler dan dua new born. Mana cowok semua. Tapi Alvian bukan toddler lagi lah. Usianya sudah empat tahun sekarang. Mulai masuk PAUD dan merupakan masa golden age. Mereka memang
"Nama mereka untuk mengabadikan nama kami, Ma. Simple sebenarnya," jawab Alan seraya memandang sang istri yang terbaring di brankar."Tapi mama nggak bisa bedain.""Alva ada tahi lalat di dengkulnya.""Oh. Kapan sepupunya Mak Ramlah datang?" "Besok, Ma.""Syukurlah. Bisa datang lebih cepat." Bu Ana memang tidak mengizinkan Alan mengambil baby sitter dari yayasan. Terlebih jika orang itu masih muda. Lebih baik mengambil baby sitter orang yang sudah berumur. Tentu juga yang sudah berpengalaman.Bu Ana tidak ingin dalam rumah tangga putranya diganggu oleh orang ketiga. Banyak kasus majikan selingkuh dengan ART-nya. Ia yakin Alan tidak akan berbuat sehina itu, tapi bagaimana jika perempuannya nekat untuk menggoda, lebih-lebih lagi memfitnah.Suasana di ruang perawatan Livia sangat semarak siang itu. Hanya keluarga inti saja yang hadir di sana. Sebab seperti dulu, Alan melarang para karyawan dan kenalan menjenguk di rumah sakit. Supaya Livia dan bayi mereka bisa beristirahat. Apalagi kond
Enam bulan kemudian ...."Mama, adek ini loh!" teriak Alvian dari ruang keluarga.Livia yang sedang berada di dapur meletakkan piring yang akan di isi puding demi untuk menghampiri anak-anaknya."Alva, jangan gangguin Abang, dong." Livia mengangkat Alva yang sedang mengacaukan buku gambar dan pensil warna Alvian. Di dudukkannya bocah yang sudah pandai merangkak itu di baby walker dan memberinya mainan. Namun si bayi berontak minta turun lagi sambil merengek.Sedangkan si kembar satunya asyik makan biskuit sambil menonton kartun di televisi. Walaupun anteng, mulut Alvin belepotan dan di bawah kakinya remahan biskuit betebaran.Hari Minggu pagi itu Mak Ramlah dan Mbak Sarti sedang menghadiri acara pernikahan kerabat mereka. Livia memberikan libur sejak Sabtu kemarin dan mereka akan kembali malam nanti.Makanya dua hari ini dia dan Alan yang sibuk mengurusi tiga jagoannya. Ada pekerja paruh waktu, tapi dia khusus untuk mengurus rumah. Kebetulan Bu Ana sambang ke Sarangan baru seminggu in
RAHASIA TIGA HATI Part 80 Malam di Kota Malang Rasanya baru saja terlelap saat lengkingan tangis Alva membangunkan Livia dan Alan. Pria itu bangkit lebih dulu dan langsung menggendong si kecil supaya tidak mengganggu adik kembarnya."Bawa sini, Mas. Biar aku kasih ASI."Alan memberikan Alva pada Livia dan bayi itu langsung diam dan kembali memejam mendapatkan ASI-nya. "Dia haus, Mas. Biasanya sebelum bobok kan minum susu dulu." Livia berkata lirih pada sang suami yang duduk tepat di sebelahnya sambil menepuk-nepuk lembut paha menggemaskan si bayi. Sementara kembarannya masih tidur pulas memeluk guling. Keduanya memang tidur di baby crip masing-masing. Kalau dijadikan satu, khawatir saling mengganggu.Alva kembali terlelap. "Mas pindahkan ke box-nya lagi, ya," ujar Alan. "Pelan-pelan, Mas."Ketika sudah dalam gendongannya, Alva menggeliat. Alan menimang-nimangnya sejenak hingga bayinya kembali tenang. Kemudian menaruh dengan sangat pelan ke baby crip. Bayi itu kembali tidur miring
Alan menggendong Alva, Livia menggendong Alvin dan Alvian berlari lebih dulu ke kamar mandi sambil membawa mainan. Mereka mandi wajib ada toys di bak. Biar anteng kalau di sabuni atau keramas.Suara kecipak air di bak mandi, jeritan, tawa, dan celotehan terdengar dari dalam kamar mandi. Alan dan Livia ikutan basah kuyup oleh ulah ketiga jagoannya. Kewibawaan sebagai pimpinan perusahaan kalau di rumah seperti ini kalah oleh ulah anak-anak. Mereka tetap seperti orang tua pada umumnya. Alan ternyata lebih sabar dalam menghadapi anak-anaknya daripada Livia.Alvian yang tubuhnya sudah terbelit handuk, keluar lebih dulu. Diikuti oleh Alan yang menggendong Alva. Kemudian Alvin yang menangis karena tidak mau berhenti mandi di gendong oleh Livia."Sayang, kamu mandi saja dulu. Biar mas yang jagain mereka," kata Alan setelah anak-anak berpakaian dan wangi."Aku buatin susu dulu, Mas." Livia bergegas ke dapur. Tidak lama kemudian kembali membawa dua botol dan segelas susu untuk Alvian. Setelah
"Kenapa menangis?" tegur sang ayah yang duduk di hadapannya."Aku hanya sedih setelah tahu kabar Bre yang sebenarnya. Ternyata dia sakit dan memutuskan pindah karena ....""Liv," potong Pak Rosyam. "Ayah tahu dan semua itu sudah berlalu beberapa bulan yang lalu. Sekarang Bre sudah baik-baik saja. Apa yang diputuskan Bre, itu adalah pilihannya. Kamu tahu apa yang harus kamu jaga sekarang?""Iya," jawab Livia."Apa yang akan dipikirkan Alan jika mengetahui kamu menangisi mantanmu. Jangan menimbulkan salah paham, Livia. Cukup ayah saja yang tahu. Doakan saja, semoga Bre menemukan wanita yang bisa membuatnya lepas dari masa lalu.""Iya. Maaf, Yah. Tadinya aku pikir antara Mas Alan dan Bre terlibat perselisihan yang membuat kerjasama dialihkan pada Mas Ferry. Ternyata ada kenyataan lain.""Kamu dan Alan berangkat ke Malang jam berapa?" Pak Rosyam mengalihkan pertanyaan.Livia melihat jam tangannya. "Setengah jam lagi aku dan Mas Alan pulang dan bersiap-siap.""Hati-hati. Ingat pesan ayah.
RAHASIA TIGA HATI - Mari Kita Bicara "Apa pernikahan menjadi solusi untuk mencari kebahagiaan?" Pertanyaan yang membuat Livia terdiam."Apa ukuran kebahagiaan itu dengan pernikahan? Jangan mengukur kebahagiaan kita dengan kebahagiaan orang lain. Jika mereka bahagia hidup berdua, mungkin aku tidak. Nggak selamanya sendiri itu sepi, Livia. Dan nggak selamanya sepi itu identik dengan sedih. Aku sudah menjalani ini beberapa tahun. Sendiri yang pada akhirnya kunikmati. Aku nggak ingin ada Rika kedua dalam keluarga kami. Tahu kan apa maksudnya?" lanjut Bre."Aku tahu semua alasan kenapa kamu pergi meninggalkan kerjasama dengan Mas Alan? Meninggalkan perusahaan yang kamu pulihkan lantas menepi ke Malang. Aku juga tahu kalau kamu sakit hampir dua bulan. Please, Mas. Itu pelajaran dan perjalanan berharga dalam hidupmu. Cobalah untuk ....""Jangan ajari aku caranya untuk menyembuhkan luka." Bre tersenyum. Kemudian memperhatikan para undangan dinner. Lantas menatap Livia lagi. "Caramu dan cara