"Sekarang dari pihak Hutama yang pegang kerjasama kan Mas Ferry setelah Bre mundur. Apa kamu nggak dikasih tahu sama Mas Alan?""Dikasih tahu," jawab Livia bohong. Padahal Alan tidak pernah cerita padanya kenapa ada perubahan seperti itu dari pihak mereka. Kenapa Bre mundur? Bukankah dia yang sekarang sebagai pimpinan di Hutama. Ada apa sebenarnya dengan Bre? Perasaan penasaran sekaligus cemburu pada Ella berbaur jadi satu."Liv, aku pergi dulu ya. Mau langsung ke kantor ayah," pamit Ella.Livia mengangguk. Ia memandangi gadis itu hingga keluar restoran setelah menyalami Pak Rosyam. Dadanya bergemuruh dipenuhi perasaan cemburu. Pasti dia akan bertemu dengan Alan di sana. Livia sendiri tidak nyaman jika timbul perasaan itu. Sangat sensitif terlebih disaat hamil begini. Tapi bagaimanapun dia menepis, rasa itu spontan saja memenuhi dada."Ayo, Yah." Livia menghampiri sang ayah sambil menenteng pesanannya. Pak Rosyam berdiri dan melangkah bersama ke luar restoran."Kenapa kamu cemberut be
Pak Rosyam mendengarkan cerita Ferry dengan perasaan sedih. Hati seorang ayah sangat tersentuh. Dulu dia juga menyukai Bre yang perhatian dan sangat sayang pada Livia. Berani memperjuangkan Livia supaya mendapatkan restu dari mamanya. Meski seiring berjalan waktu segalanya telah berubah."Saya tidak tahu bagaimana bisa membuatnya bangkit lagi. Cara apa yang bisa membuat move on dari Livia. Makanya saya sudah membahas hal ini dengan mama dan Om saya. Mereka setuju kalau saya yang menggantikan posisi Bre.""Iya, Nak Ferry. Saya paham kekhawatiran kamu. Besok saya akan membahasnya dengan Alan. Sekarang bagaimana keadaan Bre?""Sudah tiga hari ini dia istirahat di rumah. Dia menolak perawatan intensif di rumah sakit. Kami berusaha menyembuhkannya dari kec4nduan rokok. Dan sekarang kami masih terus membujuknya untuk konseling ke psikolog.""Alasan apa yang akan saya katakan pada Alan. Tidak mungkin saya ceritakan alasan sebenarnya. Saya juga harus menjaga perasaan menantu saya. Menjaga hub
RAHASIA TIGA HATI - Dua Pria Satu Cinta Dibiarkannya benda pipih di samping tempat duduknya berdering hingga Alan berhenti di pinggir jalan. Saat dilihat, ternyata Bre yang menelepon. Setelah hampir empat bulan lamanya Bre menghilang , kini baru menghubunginya. Alan menelepon balik."Halo." Suara Bre di seberang. Namun terdengar agak serak."Maaf, aku tadi lagi nyetir. Ada apa, Bre.""Kamu masih di jalan?""Iya.""Maaf kalau aku mengganggu waktumu, Lan. Setelah sekian lama aku juga baru menghubungimu. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu denganmu sekarang. Tapi kalau kamu belum sempat, bisa besok atau lusa pas longgar saja. Lagian sekarang sudah malam."Alan melihat ke arah jam digital yang menempel di dashboard mobilnya. Hampir jam setengah sembilan malam. Harusnya ia pulang saja. Livia dan Alvian pasti sedang menunggunya. Namun bertemu dengan Bre juga penting. Mungkin ada sesuatu yang bisa mereka bicarakan. "Aku tahu kamu habis meeting. Kalau begitu lain waktu saja kita bertemu."
Waktu itu Ferry bilang kalau Bre mundur karena sedang mengerjakan projek bersama omnya dan hanya cerita sekilas tentang sakitnya Bre. Sekarang Bre yang bilang sendiri kalau dia memang sakit dan butuh penanganan serius."Mas Ferry nggak bikin masalah kan, Lan?""Nggak. Pekerjaan juga berjalan sesuai dengan schedule."Bre manggut-manggut."Kapan kamu kembali join dengan kami?" tanya Alan.Bre diam beberapa saat, kemudian menatap pria dihadapannya. "Biar Mas Ferry saja yang melanjutkan kerjasama denganmu, jika kamu nggak keberatan. Aku ada pekerjaan di luar kota.""Di mana?""Masih di Jawa Timur juga." Bre tidak menyebutkan nama kotanya. Makin membuat Alan yakin kalau Bre memang sedang menghindarinya. Bahwa sebenarnya pun Bre tidak baik-baik saja selama ini. Alan bisa merasakan bagaimana Bre tersiksa oleh perasaan cintanya pada Livia. Walaupun dia tidak menceritakannya."Pekerjaan itu masih di bawah naungan Hutama Jaya?"Bre mengangguk padahal itu bohong. Hutama Jaya belum bisa melebarka
Alan yang menyadari istrinya sedang cemburu, meraih jemari wanitanya. Namun Livia menghindarkan tangannya dari sentuhan sang suami. "Ella tadi datang untuk mengantarkan makanan. Mungkin hanya setengah jam dia ikut nimbrung meeting dengan papanya."Hati Livia memanas. Padahal dia benci sekali perasaan itu. Dia tidak ingin cemburu dan mencurigai suaminya. Namun rasa itu hadir begitu saja. Mengganjal membuat resah.Alan merapat lantas merengkuh tubuh Livia. "Nggak ada yang mampu bersaing denganmu dihati suamimu. Tidak dengan Ella atau perempuan mana pun."Livia melunak. Ucapan dan perlakuan Alan meredam gelombang cemburu dalam dadanya. Lelaki itu mengecup puncak kepala istrinya berulang kali."Mas ketemuan sama relasi dari Gresik.""Pak Imam?" tebak Livia."Iya, Sayang." Terpaksa Alan harus berbohong. Dia tidak bisa menceritakan pertemuannya dengan Bre tadi. Sebab di antara mereka sebenarnya belum bisa dikatakan baik-baik saja. Andai Bre tidak seperti ini, mungkin hubungan mereka lebih
RAHASIA TIGA HATI - Tempat Baru"Mama, nggak usah sedih. Toh kita masih bisa bertemu dua minggu sekali atau sebulan sekali. Kalau tiap akhir pekan aku harus pulang ke Surabaya jelas nggak bisa, Ma. Mama, tahu aku belum bisa nyetir jarak jauh jika belum benar-benar pulih." Bre bicara pada Bu Rika yang menungguinya mengemas pakaian malam itu."Biar mama yang mengunjungimu bersama Leo.""Jangan ngrepotin Mas Ferry. Belum tentu dia bisa nganterin mama. Mas Ferry sibuk sekarang ini. Kalau akhir pekan pasti ingin quality time bersama istrinya. Apalagi mereka sedang program hamil.""Mama bisa di antar sopir," keukeh Bu Rika.Bre mengunci travel bag-nya, kemudian duduk di depan sang mama. "Aku bukannya pergi jauh. Kita bisa telepon dan video call.""Mama tetap sedih, Bre. Sejak kecil kamu dan Ferry nggak pernah jauh dari mama. Kamu sekarang ingin pergi juga karena mama. Maafkan mama telah membuatmu menderita.""Penderitaanku mungkin tidak seberapa dibandingkan penderitaan keluarga Livia. Mer
Livia mondar-mandir di dalam ruangannya menjelang sore. Kalau capek duduk, ia akan berjalan-jalan sebentar, baru kembali menghadap laptop. Begitu terus sepanjang hari selama di kantor. Kadang kalau pinggang terasa pegal, ia akan rebahan di sofa yang ada di sana.Wanita itu berdiri di dekat jendela. Tangannya mengusap permukaan perut yang terasa gatal. Hamil bayi kembar ternyata keluhannya juga dobel. Perutnya sekarang tak alang kepalang besarnya. Sampai susah dibawa berbaring.Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. Setelah ia menjawab, masuk Rasty yang membawa map. "Mbak Liv, ini berkas yang sudah selesai saya cek.""Makasih, Ras. Hmm, tamunya tadi siapa?" tanya Livia kembali duduk di kursinya."Pak Ferry, Mbak. Tapi barusan pulang.""Oke."Rasty pamitan keluar. Sambil meneliti berkas, Livia ingat Bre yang tidak ia ketahui kabarnya. Di mana dia sekarang. Sebab kakaknya yang meng-handle semua pekerjaan. Ayah dan suaminya tidak mungkin memberitahunya. Para karyawan juga tidak ada ya
Usia salat, Livia keluar. Di serambi suaminya sudah duduk menunggu. Alan memakaikan sepatu ke kaki Livia. Dan sang istri berpegangan pada pundaknya. Beberapa jamaah di sana senang melihat mereka. Gestur yang menunjukkan betapa perhatiannya seorang laki-laki pada wanitanya yang tengah hamil besar."Tadi aku ketemu Mbak Tiara istrinya Mas Ferry, Mas." Livia memberitahu ketika mereka kembali melangkah ke tempat praktek dokter Nita."Kenapa dia ada di sini?""Mau program hamil ke dokter Nita. Tadi dapat antrian nomer dua." Livia tidak menceritakan apa yang diketahuinya tentang Bre. Mungkin suaminya pun sudah tahu.Sampai di sana, Livia sudah tidak melihat Cyntiara di bangku tunggu. Namun wanita itu keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit kemudian dan menghampirinya. "Mbak Livia, Mas Alan, saya pulang duluan, ya.""Iya, Mbak. Hati-hati." Livia yang menjawab. "Makasih." Cyntiara pergi, Livia dan Alan masih duduk menunggu hingga nama mereka dipanggil oleh perawat di sana.Pemeriksaan d
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K