RAHASIA TIGA HATI - Tempat Baru"Mama, nggak usah sedih. Toh kita masih bisa bertemu dua minggu sekali atau sebulan sekali. Kalau tiap akhir pekan aku harus pulang ke Surabaya jelas nggak bisa, Ma. Mama, tahu aku belum bisa nyetir jarak jauh jika belum benar-benar pulih." Bre bicara pada Bu Rika yang menungguinya mengemas pakaian malam itu."Biar mama yang mengunjungimu bersama Leo.""Jangan ngrepotin Mas Ferry. Belum tentu dia bisa nganterin mama. Mas Ferry sibuk sekarang ini. Kalau akhir pekan pasti ingin quality time bersama istrinya. Apalagi mereka sedang program hamil.""Mama bisa di antar sopir," keukeh Bu Rika.Bre mengunci travel bag-nya, kemudian duduk di depan sang mama. "Aku bukannya pergi jauh. Kita bisa telepon dan video call.""Mama tetap sedih, Bre. Sejak kecil kamu dan Ferry nggak pernah jauh dari mama. Kamu sekarang ingin pergi juga karena mama. Maafkan mama telah membuatmu menderita.""Penderitaanku mungkin tidak seberapa dibandingkan penderitaan keluarga Livia. Mer
Livia mondar-mandir di dalam ruangannya menjelang sore. Kalau capek duduk, ia akan berjalan-jalan sebentar, baru kembali menghadap laptop. Begitu terus sepanjang hari selama di kantor. Kadang kalau pinggang terasa pegal, ia akan rebahan di sofa yang ada di sana.Wanita itu berdiri di dekat jendela. Tangannya mengusap permukaan perut yang terasa gatal. Hamil bayi kembar ternyata keluhannya juga dobel. Perutnya sekarang tak alang kepalang besarnya. Sampai susah dibawa berbaring.Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. Setelah ia menjawab, masuk Rasty yang membawa map. "Mbak Liv, ini berkas yang sudah selesai saya cek.""Makasih, Ras. Hmm, tamunya tadi siapa?" tanya Livia kembali duduk di kursinya."Pak Ferry, Mbak. Tapi barusan pulang.""Oke."Rasty pamitan keluar. Sambil meneliti berkas, Livia ingat Bre yang tidak ia ketahui kabarnya. Di mana dia sekarang. Sebab kakaknya yang meng-handle semua pekerjaan. Ayah dan suaminya tidak mungkin memberitahunya. Para karyawan juga tidak ada ya
Usia salat, Livia keluar. Di serambi suaminya sudah duduk menunggu. Alan memakaikan sepatu ke kaki Livia. Dan sang istri berpegangan pada pundaknya. Beberapa jamaah di sana senang melihat mereka. Gestur yang menunjukkan betapa perhatiannya seorang laki-laki pada wanitanya yang tengah hamil besar."Tadi aku ketemu Mbak Tiara istrinya Mas Ferry, Mas." Livia memberitahu ketika mereka kembali melangkah ke tempat praktek dokter Nita."Kenapa dia ada di sini?""Mau program hamil ke dokter Nita. Tadi dapat antrian nomer dua." Livia tidak menceritakan apa yang diketahuinya tentang Bre. Mungkin suaminya pun sudah tahu.Sampai di sana, Livia sudah tidak melihat Cyntiara di bangku tunggu. Namun wanita itu keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit kemudian dan menghampirinya. "Mbak Livia, Mas Alan, saya pulang duluan, ya.""Iya, Mbak. Hati-hati." Livia yang menjawab. "Makasih." Cyntiara pergi, Livia dan Alan masih duduk menunggu hingga nama mereka dipanggil oleh perawat di sana.Pemeriksaan d
RAHASIA TIGA HATI - Sebuah Pilihan "Kalau begini, bermakna kamu belum bisa move on, Bre. Belum bisa berdamai dengan hatimu sendiri sekalipun kamu pindah tempat.""Move on dan berdamai tidak harus melupakan kan, Mbak?"Mereka berpandangan."Aku jauh lebih baik dan tenang di sini. Bertemu orang-orang di lingkungan dan pekerjaan baru. Aku sudah bisa lepas dari rokok. Hidup kujalani dengan sehat. Nyaris aku nggak pernah begadang juga kecuali ada pekerjaan yang mengharuskanku lembur."Kalau untuk lupa jelas nggak akan bisa kecuali aku amnesia permanen. Jujur saja aku kangen sama Alvian yang selalu memanggilku Om Ble. Lucu sekali anak itu." Bre tersenyum sambil tengadah menatap langit malam yang bertabur bintang. Seolah bocah kecil dengan deretan giginya yang rapi itu tampak di sana.Kenny memandang anak-anaknya yang asyik dengan papanya melihat kembang api. Dipikir ketemu Bre setelah dua bulan mereka tidak pernah berjumpa, Kenny bisa melihatnya tanpa bayang-bayang Livia. Tapi ternyata sa
"Dikala aku dan keluargaku tidak bisa menjadi penopang dan justru menyakiti Livia dan ayahnya, tapi Alan selalu ada untuk mereka. Sebagai sesama lelaki, jujur aku mengakui kalau Alan adalah pria yang luar biasa. Livia tepat bersamanya. Alan tetap baik, walaupun tunangannya sudah dicelakai oleh mama."Aku sudah melewati fase-fase di mana aku marah, benci, dan ingin mengamuk pada Alan, karena dia telah menikahi wanita yang sangat aku cintai. Semua itu sudah kusadari sekarang ini. Livia berada di tangan lelaki yang tepat. Aku memang pernah khilaf telah membawa kabur Livia. Menyekapnya dalam satu ruangan dan hanya ada kami berdua saja. "Namun aku tak ingin merusak hubungan mereka dengan men0dai Livia. Sudah kubilang, aku mencintainya dengan perasaan yang berbeda. Tidak hanya sekedar tentang kenikm4tan jasmani saja. Meski aku sempat meng4ncam Livia dan berb0hong pada Alan, tapi kenyataannya aku hanya memeluknya."Kalau aku ingat bagaimana perlakuan mamaku pada Livia, ingat betapa kejamnya
Alan membantu Livia bangun dan turun. Namun hanya berdiri saja karena sudah tidak sanggup berjalan. Alan mengusap-usap permukaan perut Livia yang menyandarkan kepala di dadanya.Jika ada kata lain di atas rasa cemas, itulah perasaan Alan sekarang. Perutnya ikut mulas dan kekhawatiran memenuhi dada.Livia menggigit bibirnya. Sakit kali ini rasanya dua kali lipat dari kesakitan saat melahirkan Alvian dulu. Seorang bidan masuk untuk memeriksa. Livia kembali berbaring. Ternyata sudah bukaan enam. Livia di awasi. Suasana kian tegang. Tubuh Livia dan Alan sudah basah berkeringat. Pembukaan terus bertambah secara signifikan dalam waktu yang cepat. Dokter Nita masuk bersama perawat saat Livia sudah bukaan delapan.Selang oksigen sudah dipasang. Cairan infus hilir mudik di selang yang menancap di lengan kiri Livia.Bukaan lengkap. Dokter Nita memberikan aba-aba untuk mengejan. Tepat jam satu malam menggema suara tangis bayi pertama. Bu Ana menangis bahagia dan Alan pun lega. Livia kembali m
RAHASIA TIGA HATI - Hadiah"MasyaAllah gemesin, Mbak." Bre memperhatikan dua bayi yang dibedong dan berbaring di baby crip."Sama persis wajahnya. Gimana bisa bedain ini." Bre menatap dengan pandang kekaguman."Kamu juga bisa mendapatkan baby yang gemesin. Menikahlah, punya anak dan kamu akan sembuh dari lukamu."Bre tersenyum. Jawaban yang menjadi teka-teki. Dulu Bre selalu bilang tidak akan mencari pengganti Livia jika ditanya. Namun sekarang sebuah senyuman sudah cukup menjadi sebuah jawaban."Alva dan Alvin." Tulisan yang tertera di bawah gambar dua bayi. "Nama yang indah," ujarnya. Tentu nama yang dipilih tidak jauh-jauh dari gabungan nama Alan-Livia.Kenny memperhatikan Bre yang bicara sambil menatap layar ponselnya. Raut wajahnya susah terbaca."Aku nggak bisa bayangin jaga tiga balita sekaligus. Satu toddler dan dua new born. Mana cowok semua. Tapi Alvian bukan toddler lagi lah. Usianya sudah empat tahun sekarang. Mulai masuk PAUD dan merupakan masa golden age. Mereka memang
"Nama mereka untuk mengabadikan nama kami, Ma. Simple sebenarnya," jawab Alan seraya memandang sang istri yang terbaring di brankar."Tapi mama nggak bisa bedain.""Alva ada tahi lalat di dengkulnya.""Oh. Kapan sepupunya Mak Ramlah datang?" "Besok, Ma.""Syukurlah. Bisa datang lebih cepat." Bu Ana memang tidak mengizinkan Alan mengambil baby sitter dari yayasan. Terlebih jika orang itu masih muda. Lebih baik mengambil baby sitter orang yang sudah berumur. Tentu juga yang sudah berpengalaman.Bu Ana tidak ingin dalam rumah tangga putranya diganggu oleh orang ketiga. Banyak kasus majikan selingkuh dengan ART-nya. Ia yakin Alan tidak akan berbuat sehina itu, tapi bagaimana jika perempuannya nekat untuk menggoda, lebih-lebih lagi memfitnah.Suasana di ruang perawatan Livia sangat semarak siang itu. Hanya keluarga inti saja yang hadir di sana. Sebab seperti dulu, Alan melarang para karyawan dan kenalan menjenguk di rumah sakit. Supaya Livia dan bayi mereka bisa beristirahat. Apalagi kond