RAHASIA TIGA HATI - AlanJika Bre masih duduk merenung sambil menikmati rokok demi rokoknya di balkon kamar, Alan pun masih terjaga di samping Livia yang telah terlelap usai permainan manis mereka.Alan memandangi wajah ayu yang meringkuk di bawah selimut. Biasanya dia yang terlelap duluan sehabis bercinta. Tapi kali ini Livia yang tertidur lebih dulu. Disibakkan pelan rambut yang menempel di kening Livia. Kemudian mengambil posisi terlentang, menatap langit-langit kamar.Ada rasa bersalah yang coba ditebus Livia terhadapnya. Alan bisa merasakan hal itu. Mungkin ini tentang Bre. Waktu di baby shop tadi, ia sempat melihat Bre keluar dari toko. Bisa jadi mereka bertemu di dalam sana. Hanya saja Livia tidak mau cerita untuk menjaga perasaannya. Alan pun tidak ingin bertanya demi menjaga perselisihan di antara mereka. Ia mempercayai kesetiaan istrinya.Namun jujur saja, ada nyeri yang terasa menusuk hati. Terlebih ia masih bisa melihat ada cinta di mata Bre untuk Livia. Sebab Alan pernah
"Kamu nggak pengen sesuatu?" tanya Alan. Livia belum meminta apapun sebagai ngidamnya semenjak hamil kedua ini. "Bilang saja, nanti mas carikan.""Apa ya? Aku hanya pengen makan mie instan, Mas. Rasa soto ayam. Enak kayaknya dimakan sepagi ini. Sesekali makan kan nggak apa-apa.""Oke. Mas masakin ya.""Memangnya mas bisa?""Apa susahnya kalau hanya sekedar masak mie instan." Alan bangkit dari duduknya lalu keluar kamar. Dia sudah terbiasa masak mie sejuta umat itu sewaktu belum menikah dan tinggal sendirian. Kalau malas keluar, ia akan masak mie instan."Mau masak mie, Mas? Sini biar saya yang masakin," ujar Mak Ram yang tengah mencuci botol susu."Nggak usah, Mak. Saya bisa." Sesuai petunjuk, Alan menakar air dan melihat jarum jam untuk memastikan berapa lama ia harus merebus mie. Alan sedisiplin itu.Lima menit kemudian dua mangkuk mie rasa soto dibawa Alan ke kamar. "Hmm, Mas pengen juga rupanya.""Apa untuk kehamilan kali ini, kamu nggak mengharuskan mas membersamimu gendut bare
Dua pria bersaudara itu saling pandang. Ferry yang lebih dulu mengalihkan perhatian karena merasa bersalah. Bu Rika diam dengan dada berdebar-debar."Ini juga salahku. Harusnya sejak menikah aku membawanya pergi dari Surabaya. Sekarang semua sudah terlambat, nggak seharusnya aku terus terjebak masa lalu. Harusnya aku bangkit seperti keinginan kalian. Tapi aku nggak bisa. Mungkin Mas Ferry dan Mama nggak percaya. Kalian mengira aku nggak berusaha. Jujur aku sendiri lelah dengan perasaan ini. Sangat lelah. Tapi hanya dia yang kucintai sejak dulu, yang tidak bisa kubuang dari hatiku." Bre berhenti bicara karena terbatuk-batuk. Ferry mengambilkan air minum."Aku ingin tiduran sebentar." Bre merebahkan diri setelah minum air.Bu Rika dan Ferry keluar kamar. "Ma, bagaimana kalau aku yang mengambil alih projek kerjasama dengan Alan. Kalau kita terus membiarkan Bre berhubungan secara langsung dengan mereka, makin membuatnya terpuruk." Ferry bicara pada sang mama ketika mereka sudah duduk di
RAHASIA TIGA HATI - Serba Salah "Kemarin pakdemu sama anaknya datang ke rumah," kata Pak Rosyam beberapa saat setelah mobil meninggalkan kantor. Dia sendiri yang mengantarkan Livia pulang sore itu. Sedangkan Pak Tamin akan pulang bareng salah seorang karyawan di sana."Ngapain datang lagi, Yah?""Mau nyambung silaturahmi katanya.""Nggak mungkin cuman itu. Biarkan saja nggak usah dipedulikan. Ke mana mereka ketika kita terpuruk." Setiap mengingat waktu itu, Livia kembali kecewa. Dia pernah menemui pakdenya suatu hari. Hanya meminta lelaki itu agar mau menjenguk ayahnya yang tengah berada di puncak depresi. Namun ketidakpedulian mereka hanya membuat sakit hati."Jangan menyimpan dendam, Livia. Nggak baik.""Bukan dendam, Yah. Kalau mau dendam, mungkin aku akan dendam pada keluarga Bu Rika yang sudah menghancurkan keluarga kita. Tidak hanya bisnis yang tumbang, tapi kita kehilangan ibu dan Mbak Silvi. Menghancurkan rumah tangga anaknya sendiri. Tapi aku berdamai dengan semua itu. Aku
"Sekarang dari pihak Hutama yang pegang kerjasama kan Mas Ferry setelah Bre mundur. Apa kamu nggak dikasih tahu sama Mas Alan?""Dikasih tahu," jawab Livia bohong. Padahal Alan tidak pernah cerita padanya kenapa ada perubahan seperti itu dari pihak mereka. Kenapa Bre mundur? Bukankah dia yang sekarang sebagai pimpinan di Hutama. Ada apa sebenarnya dengan Bre? Perasaan penasaran sekaligus cemburu pada Ella berbaur jadi satu."Liv, aku pergi dulu ya. Mau langsung ke kantor ayah," pamit Ella.Livia mengangguk. Ia memandangi gadis itu hingga keluar restoran setelah menyalami Pak Rosyam. Dadanya bergemuruh dipenuhi perasaan cemburu. Pasti dia akan bertemu dengan Alan di sana. Livia sendiri tidak nyaman jika timbul perasaan itu. Sangat sensitif terlebih disaat hamil begini. Tapi bagaimanapun dia menepis, rasa itu spontan saja memenuhi dada."Ayo, Yah." Livia menghampiri sang ayah sambil menenteng pesanannya. Pak Rosyam berdiri dan melangkah bersama ke luar restoran."Kenapa kamu cemberut be
Pak Rosyam mendengarkan cerita Ferry dengan perasaan sedih. Hati seorang ayah sangat tersentuh. Dulu dia juga menyukai Bre yang perhatian dan sangat sayang pada Livia. Berani memperjuangkan Livia supaya mendapatkan restu dari mamanya. Meski seiring berjalan waktu segalanya telah berubah."Saya tidak tahu bagaimana bisa membuatnya bangkit lagi. Cara apa yang bisa membuat move on dari Livia. Makanya saya sudah membahas hal ini dengan mama dan Om saya. Mereka setuju kalau saya yang menggantikan posisi Bre.""Iya, Nak Ferry. Saya paham kekhawatiran kamu. Besok saya akan membahasnya dengan Alan. Sekarang bagaimana keadaan Bre?""Sudah tiga hari ini dia istirahat di rumah. Dia menolak perawatan intensif di rumah sakit. Kami berusaha menyembuhkannya dari kec4nduan rokok. Dan sekarang kami masih terus membujuknya untuk konseling ke psikolog.""Alasan apa yang akan saya katakan pada Alan. Tidak mungkin saya ceritakan alasan sebenarnya. Saya juga harus menjaga perasaan menantu saya. Menjaga hub
RAHASIA TIGA HATI - Dua Pria Satu Cinta Dibiarkannya benda pipih di samping tempat duduknya berdering hingga Alan berhenti di pinggir jalan. Saat dilihat, ternyata Bre yang menelepon. Setelah hampir empat bulan lamanya Bre menghilang , kini baru menghubunginya. Alan menelepon balik."Halo." Suara Bre di seberang. Namun terdengar agak serak."Maaf, aku tadi lagi nyetir. Ada apa, Bre.""Kamu masih di jalan?""Iya.""Maaf kalau aku mengganggu waktumu, Lan. Setelah sekian lama aku juga baru menghubungimu. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu denganmu sekarang. Tapi kalau kamu belum sempat, bisa besok atau lusa pas longgar saja. Lagian sekarang sudah malam."Alan melihat ke arah jam digital yang menempel di dashboard mobilnya. Hampir jam setengah sembilan malam. Harusnya ia pulang saja. Livia dan Alvian pasti sedang menunggunya. Namun bertemu dengan Bre juga penting. Mungkin ada sesuatu yang bisa mereka bicarakan. "Aku tahu kamu habis meeting. Kalau begitu lain waktu saja kita bertemu."
Waktu itu Ferry bilang kalau Bre mundur karena sedang mengerjakan projek bersama omnya dan hanya cerita sekilas tentang sakitnya Bre. Sekarang Bre yang bilang sendiri kalau dia memang sakit dan butuh penanganan serius."Mas Ferry nggak bikin masalah kan, Lan?""Nggak. Pekerjaan juga berjalan sesuai dengan schedule."Bre manggut-manggut."Kapan kamu kembali join dengan kami?" tanya Alan.Bre diam beberapa saat, kemudian menatap pria dihadapannya. "Biar Mas Ferry saja yang melanjutkan kerjasama denganmu, jika kamu nggak keberatan. Aku ada pekerjaan di luar kota.""Di mana?""Masih di Jawa Timur juga." Bre tidak menyebutkan nama kotanya. Makin membuat Alan yakin kalau Bre memang sedang menghindarinya. Bahwa sebenarnya pun Bre tidak baik-baik saja selama ini. Alan bisa merasakan bagaimana Bre tersiksa oleh perasaan cintanya pada Livia. Walaupun dia tidak menceritakannya."Pekerjaan itu masih di bawah naungan Hutama Jaya?"Bre mengangguk padahal itu bohong. Hutama Jaya belum bisa melebarka