Home / Historical / Pribumi Pemberontak / Bab 5 : Aliansi Batavia

Share

Bab 5 : Aliansi Batavia

Author: ffunaway
last update Last Updated: 2021-09-06 10:51:14

Ardhiman

Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya.

Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka.

Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah.

Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil ia pernah berteman dengan bocah Eropa yang tinggal di dekat rumahnya. Namanya Josee, dia mengajarkan Ardhiman bahasa Belanda, bahkan meminjamkan banyak buku kepadanya. Tapi sayang, karena tiba-tiba dia harus kembali ke negeri asalnya, Belanda. Dan hingga saat ini mereka tidak pernah bertemu lagi, mungkin sudah 11 tahunan.

Sore hari saat pulang bekerja, Ardhiman menyempatkan pergi ke pasar Tenabang untuk membeli bacang ketan Nyonya Ling, karena ia baru saja menerima gaji hari ini. Dan mungkin ia juga akan membeli beberapa alat tulis, agar tidak perlu lagi meminjam diam-diam di kantor.

Saat sedang santai melewati lorong-lorong pasar yang tidak terlalu ramai, tiba-tiba segerombolan anak-anak berlarian dan menabraknya, hingga tasnya tertarik dan jatuh karena talinya terputus. "Dasar bocah edan!!!" amuk Ardhiman saat melihat barang-barangnya jadi berserakan, tidak terkecuali kertas-kertas hasil tulisannya.

Ia buru-buru memunguti semua kertasnya itu agar tidak dibaca oleh orang-orang, itupun jika orang-orang itu bisa membaca huruf Belanda. Tapi sayang, salah satu kertasnya diambil oleh seorang pemuda, dan dibaca tidak hanya oleh pemuda itu tapi juga dibaca oleh temannya. Dan dari pakaian yang dikenakan, mereka terlihat seperti pribumi bangsawan pesuruh Belanda (mungkin). Ardhiman menutup matanya pasrah jika ia harus ditangkap karena tulisannya itu.

Dua pemuda itu bergantian melihat Ardhiman, dan kemudian mengembalikan kertasnya. "Hati-hati." ucap pemuda itu dengan tatapan datar dan mengancam.

Ardhiman buru-buru mengambil kertasnya itu dan juga sesegera mungkin membereskan barang-barangnya yang masih berserakan di tanah. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera pulang, lupakan bacang ketan dan alat tulis baru, keselamatannya adalah nomor satu.

Ardhiman langsung berbalik dan berjalan cepat meninggalkan dua pemuda tadi, tapi tiba-tiba salah satu pemuda mengejar dan merangkul Ardhiman, "Bung Ardhiii-man?" ucap pemuda itu.

"Ahh tamat sudah, kenapa aku harus menulis perihal kemerdekaan hari ini!!" rutuknya dalam hati.

"Kau pulang ke arah mana?" tanya pemuda itu lagi dengan nada mengintimidasi.

Ardhiman tidak sanggup menjawab, jantungnya berdegup kencang. Ia pasrah.

"Sudahlah Rumi, jangan menakutinya!" ujar pemuda satunya yang berdiri di belakang.

Lalu pemuda yang adalah Rumi itu tertawa, tidak berhenti karena hal itu sangat lucu baginya.

"Kampret!!" maki Ardhiman dalam hati, kini jantungnya berdegup kencang bukan lagi karena gugup, tapi karena emosi. Tapi ia masih menahannya sampai pemuda itu berhenti tertawa.

"Maaf Bung, maaf, maaf. Aku tidak bisa menahan karena lucunya ekspresimu." ucap Rumi masih dengan tawanya. "Lagian kau berani sekali menulis kata-kata seperti itu."

Ardhiman masih diam, lalu pemuda satu lagi yang merupakan Dehjan bersuara, "Melihat tulisanmu yang berbahasa Belanda, sepertinya kau orang terpelajar. Tapi kenapa penampilanmu tidak meyakinkan?" 

"Itu bukan milik saya, itu ditulis oleh tuan saya." jawab Ardhiman, tapi itu adalah jawaban bodoh karena mana mungkin dua pemuda itu percaya, Ardhiman kembali merutuki dirinya.

"Sudahlah, tidak usah berbohong. Kau tenang saja, Bung. Kami tidak di pihak Belanda, kami masih anak negeri." kini Rumi yang sudah berhenti tertawa kembali merangkul Ardhiman. "Kau hebat dan berani, cocok menjadi bagian dari kami."

Ardhiman tidak mengerti, dan tiba-tiba ia diajak dua pemuda itu pergi setelah kedatangan satu orang pemuda lagi, Tapa. Mereka akan pergi ke suatu tempat yang mungkin bisa mengubah hidup Ardhiman.

__

Di sebuah rumah di kawasan elit Koningsplein, Rumi dan kawan-kawan berkumpul. Membicarakan rencana mereka tentang perlawanan.

"Kelompok kita ini bersifat rahasia, pastinya agar kita tidak tertangkap. Rencana yang akan kita jalankan adalah rencana besar, kalau tertangkap mungkin kita akan dihukum mati." jelas Rumi kepada teman-temannya.

"Jadi apa yang akan kita lakukan?" tanya Tapa, pemuda yang sebelumnya merasa ragu dengan kelompok itu memutuskan untuk tetap ikut

Tapi sebelum Rumi menjawabnya, tiba-tiba Ardhiman menyela. "Tunggu dulu, Bung! Aku ingin bertanya, ini sebenarnya perkumpulan apa? Kalian membawaku ke sini tanpa menjelaskan apapun!"

"Aliansi Batavia!" seru Dehjan. "Itu nama perkumpulan ini." Dehjan menjelaskan apa maksud dari kelompok mereka ini. Sampai akhirnya Ardhiman paham dan mencoba mengikuti diskusi kali ini.

"Jadi kapan kita membantai Londo-Londo itu?" tanya Suras.

"Tidak Bung! Kita tidak akan membunuh untuk sekarang. Kita harus mengumpulkan modal dan anggota." jelas Rumi. "Jadi aku berencana untuk kita berlatih dulu, karena aku tidak yakin kalian semua bisa menggunakan senapan."

"Kau meremehkanku?!" gertak Suras.

"Bukan! Maksudnya untuk yang lain. Jadi kau harus mengajarkan kami." pinta Rumi.

"Jadi kapan kita akan berlatih?" tanya Tapa.

"Kita tidak bisa membuat jadwal khusus kapan untuk berlatih, dan kita tidak bisa menjadikan rumah Dehjan ini sebagai markas utama, karena akan mudah dicurigai. Oleh karena itu kita butuh penulis untuk menjadi media penyampaian." ucap Rumi sambil melihat Ardhiman.

"Kenapa kau melihatku?!" sebenarnya Ardhiman sudah mengerti maksud Rumi, "Aku tidak bisa!" tandasnya.

"Kau bisa! Aku akan mengabarimu dimana dan kapan kita berkumpul, lalu nanti kau buatlah tulisan dengan kode tertentu yang menjelaskan tempat dan hari."

Ardhiman masih tidak percaya, ia masuk ke dalam perkumpulan ini. Tapi entah kenapa ia betah dan merasa ini memang tempatnya. Dan akhirnya lelaki itu menyanggupi, mungkin ini adalah cara yang akan dilakukannya untuk menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya perihal kemerdekaan. Apakah negeri ini bisa merdeka? jawabannya Bisa! Jika pemuda-pemuda seperti orang-orang di hadapannya ini berjuang untuk melawan, termasuk dirinya. Ia jadi teringat dengan salah satu tulisan radikal yang masuk ke kantor, "Masa depan negeri ada di tangan pemuda!"

"Lalu bagaimana dengan senjata? Dari mana kita mendapatkannya? Untuk berlatih menembak kita perlu senapan. Sedangkan aku hanya punya dua pucuk." tanya Suras.

"Karena kita belum punya uang yang cukup, maka kita akan merampok gudang senjata KNIL." jawab Rumi yakin.

"Kau gila?!" Tapa, Danar, dan Ardhiman tidak percaya dengan apa yang dikatakan orang yang mereka anggap pemimpin itu.

"Kalian tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana untuk perampokan ini. Dan lagi pun hanya aku, Dehjan, dan Suras yang akan beraksi."

Rumi sudah sangat mantap dengan organisasinya ini, sebuah permulaan yang cukup baik karena mendapatkan anggota yang lumayan meyakinkan. Walaupun Danar, Tapa, dan Ardhiman harus dilatih lagi.

Mereka menutup diskusi dengan berkenalan lebih dalam satu sama lain, saling memahami keadaan dan latar belakang kehidupan mereka masing-masing.

"Apa yang akan kalian lakukan jika negeri kita merdeka?" tanya Danar tiba-tiba, dari tadi ia hanya banyak mendengarkan. Tapi belum juga dijawab oleh yang lain, ia sudah bersuara, "Kalau aku, ingin sekali bermain sepak bola." jawabnya penuh antusias.

"Kau bisa bermain sepak bola sekarang, tidak harus menunggu merdeka, sepak bola tidak dilarang untuk pribumi." sanggah Suras.

"Tapi aku ingin bermain di tanah negeri ini, Indonesia. Bukan di tanah terjajah, Hindia Belanda ini." 

Mendengar jawaban Danar membuat pemuda lainnya tersenyum. Lalu dilanjutkan oleh Ardhiman, "Aku akan menjadi bos di penerbitanku sendiri"

"Wahh, kalau begitu aku akan membuka toko buku yang besar di Noordwijk." Tapa tidak kalah dengan harapannya.

"Aku akan pulang ke Borneo." jawab Suras singkat tanpa ekspresi.

Tidak ada balasan dari yang lain sampai akhirnya Dehjan melanjutkan, "Kalau begitu aku akan pulang ke Soerabaja, aku akan mengatakan pada ayahku bahwa aku tidak perlu lagi mencari tempat di mata Belanda." 

Sempat hening sesaat karena belum ada jawaban dari Rumi.

"Bagaimana dengan Bung Rumi?" tanya Danar.

Rumi masih diam, ia belum tahu pasti apa yang akan ia lakukan saat negeri ini sudah merdeka. Tapi yang terlintas di kepalanya adalah, "Aku akan tetap bertahan hidup sampai negeri ini mencium kebebasan!" tegas Rumi.

Related chapters

  • Pribumi Pemberontak   Bab 6 : Gudang Senjata

    SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap

    Last Updated : 2021-09-07
  • Pribumi Pemberontak   Bab 7 : Kiriman

    Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal

    Last Updated : 2021-09-08
  • Pribumi Pemberontak   Bab 8 : Jatuh Untuk Bangkit

    RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"

    Last Updated : 2021-11-02
  • Pribumi Pemberontak   Bab 9 : Pembunuhan

    SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi

    Last Updated : 2021-11-09
  • Pribumi Pemberontak   Bab 10 : Padepokan

    Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe

    Last Updated : 2021-11-16
  • Pribumi Pemberontak   Bab 1 : Anak Lelaki Kesayangan

    Soerabaja, 1935 Rumi Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti. Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia. Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kece

    Last Updated : 2021-09-02
  • Pribumi Pemberontak   Bab 2 : Berita

    Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma

    Last Updated : 2021-09-03
  • Pribumi Pemberontak   Bab 3 : Curiga

    Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G

    Last Updated : 2021-09-04

Latest chapter

  • Pribumi Pemberontak   Bab 10 : Padepokan

    Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe

  • Pribumi Pemberontak   Bab 9 : Pembunuhan

    SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi

  • Pribumi Pemberontak   Bab 8 : Jatuh Untuk Bangkit

    RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"

  • Pribumi Pemberontak   Bab 7 : Kiriman

    Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal

  • Pribumi Pemberontak   Bab 6 : Gudang Senjata

    SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap

  • Pribumi Pemberontak   Bab 5 : Aliansi Batavia

    Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i

  • Pribumi Pemberontak   Bab 4 : Teman Baru

    Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat

  • Pribumi Pemberontak   Bab 3 : Curiga

    Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G

  • Pribumi Pemberontak   Bab 2 : Berita

    Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma

DMCA.com Protection Status