Soerabaja, 1935
Rumi
Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti.
Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia.
Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kecewa.
Kerata Benz keluar dari gerbang, dan mesih bisa Rumi lihat Tiyas melambai dengan begitu semangat, membuatnya kembali mengingat bahwa sebentar lagi adik kecilnya itu akan memulai masa pingitannya.
Sebelum benar-benar menuju pelabuhan, Rumi singgah ke alun-alun Contong, ia telah berjanji untuk bertemu dengan Dehjan(dibaca: Dehian) sebelum berangkat. Tapi saat tiba di sana, Rumi belum melihat batang hidung sahabatnya itu.
Setelah menunngu cukup lama, dari kejauhan terlihat seorang lelaki yang sangat Rumi kenali, dengan setelan kemeja putih serta jas dan celana beludru abu-abu, tidak lupa pula dengan topi flat cap berwarna selaras berlari ke arahnya. Sambil melambai-lambai lelaki itu menerobos lalu lalang pejalan kaki yang melintas, bahkan ia hampir saja menabrak seorang sinyo kecil yang baru saja turun dari kereta bapak Belanda-nya.
“Kenapa lama sekali, Bung?! Aku bisa ketinggalan kapal karena menunggu kau yang terlalu lama!!” marah Rumi saat Dehjan baru tiba di hadapannya dengan napas yang tersengal-sengal.
Rumi tahu benar, bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk bertemu. Setelah Rumi ke Batavia, Dehjan pun akan pergi ke tempat yang jauh. Jadi ia tidak ingin pergi tanpa pamit dengan sahabat karibnya itu.
Setelah Dehjan bisa mengatur napas, tiba-tiba lelaki itu langsung memeluk Rumi. “Tenang, Bung! Jangan marah-marah! Aku akan menyusulmu!”ucap Dehjan dan itu membuat Rumi seketika melepas pelukannya.
“Maksudnya? Kau tidak jadi ke Belanda?” tanya Rumi.
Untuk menjawab pertanyaan Rumi, Dehjan mengeluarkan amplop coklat dari saku dalam jasnya, lalu diberikannya kepada Rumi. “Kenapa harus pergi jauh ke negeri penjajah, kalau aku bisa belajar di negeri sendiri.”
Setelah mendengar jawaban Dehjan dan membaca surat dalam amplop coklat itu, kini Rumi yang membalas pelukan Dehjan. “Aku tunggu kau di Batavia, Bung!”
Biyung Arjani
“Biyung kenapa tidak melihat Raka Rumi pergi?” tanya Tiyas kepada Biyung yang tengah memilah-milah belanjaan di dapur.
Biyung berhenti dengan pekerjaannya lalu melihat Tiyas sembari merapikan sanggul gadis kecil itu. “Tadi Biyung sibuk dengan belanjaan yang baru datang.” alasan Biyung.
Karena ia tahu bahwa tidak sepantasnya seorang selir mengantar kepergian Rumi, atau lebih tepatnya Ndoro Mas Rumi, meski sekalipun Rumi adalah anak kandungnya sendiri.
“Tapi kenapa tidak disempatkan? Raka Rumi akan pergi jauh.”
Biyung tersenyum menanggapi ndoro kecilnya itu, “Rumah Ndoro Mas Rumi disini, suatu saat dia pasti akan kembali lagi ke sini.”
“Apa Raka Rumi akan kembali sebelum ning jadi Raden Ayu?” tanya Tiyas, mengingat dirinya akan memulai masa pingitan.
“Doakan saja dia kembali, lagipula Ndoro Mas Rumi pergi belajar untuk menjadi dokter. Jadi Ndoro Ajeng jangan khawatir.”
Sebenarnya setelah mendengar jawaban Biyung, Tiyas masih ingin bertanya lagi. Tapi diurungkannya karena melihat Ibu Agung yang berdiri di pintu dapur. Lalu gadis kecil itu memilih untuk meninggalkan dapur setelah mengucapkan salam kepada Ndoro Ayu besar rumah itu.
“Suruh Simbok bersihkan kamar bekas Minara, besok Tiyas mulai dipingit.” perintah Ibu Agung Garwita.
“Baik, Ndoro.” Jawab Biyung tanpa melihat Ibu Agung.
Bisa dikatakan bahwa Ibu Agung Garwita telah menggeser posisi Biyung sebagai ibu utama. Setelah Raden Laksono diangkat menjadi patih, lalu menikai Raden Ajeng Garwita yang tidak lain adalah keluarga bupati, membuatnya menjadi Ibu Agung di kediaman pejabat Soerabaja ini.
Bisa dikatakan lagi bahwa Biyung tidak sepenuhnya seorang selir, karena ia dalah istri sah. Oleh karena itu Biyung masih bisa memerintah budak-budak dibawahnya. Tapi posisinya tetaplah di bawah Ibu Agung.
Setelah Ibu Agung pergi, Biyung bergegas menemui Simbok. Wanita yang usianya lebih muda darinya itu sedang mencuci di sumur belakang.
"Simbok, Ndoro Ayu suruh bersihkan kamar bekas Ndoro Ayu Minara, untuk dipakai Tiyas."
"Baik, Yung."
Sebelum pergi, Biyung kembali berkata. "Besok sempatkanlah melihat Tiyas, dia pasti butuh wejangan dari ibunya."
Tuan Ong
Setelah perdebatan hebat dengan anak lelaki satu-satunya, Tuan Ong memilih untuk mengalah. Menuruti keingingan Dehjan untuk tidak pergi ke Belanda dan melanjutkan pendidikannya di RHS (Rechtshoogeschool), sekolah tinggi hukum di Batavia.
Sebenarnya ia hanya takut jika suatu saat nanti anaknya itu berubah menjadi seorang radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda, karena ia memang sudah melihat bibit-bibit itu dalam diri anaknya. Apalagi saat tahu Dehjan berteman baik dengan anak seorang patih.
Mengingat bahwa anaknya itu pernah hampir dikeluarkan dari HBS karena berkelahi dengan anak Belanda Totok, dan dia berkelahi hanya karena membela anak patih itu.
Tuan Ong selalu mengajarkan Dehjan untuk menghormati orang kulit putih, karena dengan begitu orang bermata sipit seperti mereka bisa mendapatkan tempat di Hindia Belanda ini.
"Wa tahu kekhawatiran Papa, tapi tolong percayalah dengan anakmu ini. Seperti keinginan Papa, wa akan mendapatkan tempat di Hindia Belanda. Tapi dengan cara wa sendiri." ucapan Dehjan itulah yang membuat Tuan Ong memberikan izin untuk ananknya itu belajar di Batavia.
Perdebatan mereka tutup dengan syarat yang diberikan oleh Tuan Ong, "Jangan terlalu dekat dengan Rumi!"
"Kenapa? Kami bersahabat."
"Papa punya firasat buruk tentang dia."
Tapi tetap saja Dehjan tidak menuruti syarat yang diberikan Papanya itu, buktinya pagi itu Dehjan izin untuk pergi menemui seorang teman. Sebenarnya Tuan Ong sudah tahu siapa yang akan ditemui anaknya itu, setelah kemarin Dehjan mendapat surat bahwa ia diterima di RHS, pasti anak itu akan menemui Rumi.
Tuan Ong sudah mendengar bahwa Rumi juga akan belajar di Batavia, tepatnya di sekolah tinggi kedokteran. Pria paruh baya itu hanya bisa menghempas napas berat saat menyimpulkan bahwa Dehjan dan Rumi tidak bisa dipisahkan. Ia hanya berharap firasat buruknya itu hanya sekadar firasat.
Di tengah kekhawatirannya terdahap Dehjan tiba-tiba Elena, anak angkat Tuan Ong, mengejutkannya sambil memperlihatkan salah satu berita di surat kabar hari itu. "Papa sudah baca berita tentang perampokan di rumah pejabat Buitenzorg?"
Tuan Ong hanya terdiam melihat berita itu, menerawang dalam pikirannya yang sudah sangat tahu pasti siapa dalang dari perampokan itu. Tapi walaupun ia dekat dengan pejabat-pejabat Eropa, ia tidak bisa melaporkannya kepada pemerintah Hindia Belanda karena kelompok itu punya pengaruh yang cukup besar terhadap pabrik tembakaunya.
Hal ini membuat pria paruh baya itu berpikir kembali, sebenarnya ada di pihak siapa dia sekarang ini. Pemerintah Hindia Belanda atau pribumi pemberontak.
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma