Home / Historical / Pribumi Pemberontak / Bab 4 : Teman Baru

Share

Bab 4 : Teman Baru

Author: ffunaway
last update Huling Na-update: 2021-09-05 11:32:33

Batavia, 1935

Rumi

Selama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.

Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak. 

Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.

Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat Waterlooplein, remaja itu sedang duduk melihat anak-anak Eropa yang bermain bola di sekitaran sana.

"Seperti yang aku katakan kemarin, aku ingin membuat organisasi perlawanan. Aku terinspirasi dari perampok-perampok di rumah meneer Belanda itu. Kita merampok apa yang telah mereka rampas dari negeri kita, dan hasil rampokan kita kembalikan kepada pribumi. Kita juga akan membeli senjata dan melawan Londo-Londo itu."  jelas Rumi.

Mereka sedang duduk bersama di kawasan pelabuhan Sunda Kelapa, melihat kapal-kapal yang berlalu-lalang mengangkut kayu dan batu bara.

"Kau yakin? Itu cukup berbahaya, Bung!" Dehjan masih tidak percaya dengan rencana sahabatnya itu.

Rumi mengangguk mantap. Ia sudah sangat yakin akan rencananya ini, karena baginya perlawanan yang hanya berkutat dalam bidang sosial dan politik sudah sangat banyak, dan itu tidak akan mempercepat kemerdekaan, buktinya pemimpin-pemimpin organisasi perlawanan semuanya diasingkan. Para penjajah itu tidak akan mau mengalah untuk negeri ini, maka biarkan semangat perjuangan seperti yang dilakukan pejuang terdahulu dibangkitkan kembali. Mengangkat senjata, meski harus nyawa yang menjadi taruhannya.

"Bung Suras! Dari siapa kau belajar menembak?" tanya Rumi kepada Suras yang duduk di atas dahan pohon sambil mengunyah sebatang tembakau.

"Aku belajar sendiri." Jawabnya singkat.

"Lalu, darimana kau mendapatkan senjata?" tanya Dehjan.

"Dari tentara yang membelot."

"Dia memberikanmu dengan cuma-cuma?" kini Tapa yang bertanya.

"Aku membidiknya dengan tombak saat dia berlari dari kejaran tentara di hutan, dan aku ambil senjatanya."

"Kau membunuhnya?" tanya Rumi, Dehjan, Tapa, dan Danar serentak, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.

"Memangnya kenapa? Orang-orang itu juga pernah membunuh keluargaku!" jawab Suras dengan nada tidak bersalah.

Dehjan meringis mendengar itu,

"Kau tidak salah mencari teman'kan, Rumi?!!" Pemuda itu berbisik ke arah sahabatnya.

"Memang orang seperti ini yang aku cari!" jawab Rumi sambil tersenyum.

Danar

Setelah bertemu dengan Rumi dan yang lainnya di pelabuhan, Danar langsung menuju rumah juragan Bai, ia harus bergegas mengantar barang ke tempat pelanggan. Pemuda itu merutuki dirinya karena terlalu lama bercengkrama dengan teman-teman barunya itu. Tapi dalam diri Danar yang terdalam, ia merasa bahagia bisa berkenalan dengan Rumi, murid sekolah tinggi kedokteran. Ia tak percaya pribumi bangsawan itu mau merangkulnya. 

"Darimana saja kau, monyet!!!" teriak Tuan Bai kepada Danar yang baru sampai di depan rumahnya. "Kau tidak lihat sekarang sudah jam berapa?!!! Tuan Orland pasti akan mengamuk kalau kirimannya terlambat!!! Cepat sana kau antar!!!"

Danar hanya mengangguk cepat lalu buru-buru berlari ke gudang belakang, diambilnya barang Tuan Orland dan bergegas menuju kediaman pejabat Belanda itu.

Danar tidak lagi takut untuk membawa barang haram itu di tempat umum, ia sudah tau taktik bersembunyi dan melarikan diri yang mantap. Tapi kali ini ia tidak bisa berjalan santai, ia harus cepat menuju rumah Tuan Orland. Dan ia juga harus mempersiapkan diri karena pasti akan diamuk oleh pria tua itu.

Sesampainya ia di gerbang depan, seperti biasanya penjaga yang sudah hafal dengan wajah Danar langsung membukakan pintu.

"Kenapa lama sekali kamu datang?" tanya si penjaga gerbang yang juga seorang pribumi.

"Aku lupa Mang. Apa Tuan Orland mengamuk?" tanya Danar hati-hati.

"Selamat kamu!! Tuan belum pulang karena mengurus perampokan di Java Bank."

Danar menghempas napas, lega sekali rasanya. Lalu ia langsung masuk menuju pintu belakang dan memberikan barang kiriman itu kepada pelayan disana, karena satu rumah Tuan Orland sudah tahu bahwa pria tua itu adalah pecandu akut.

Danar pulang ke rumah, memasuki Gang Madat. Sudah menjadi rahasia umum di Batavia bahwa Gang Madat adalah tempat pemakai opium berkumpul. Di depan rumah-rumah banyak sekali manusia yang kurus kering terkapar, sudah lunglai dengan tubuhnya yang kian hancur akibat mengonsumsi obat-obatan adiktif tersebut.

Tidak terkecuali bapak Danar, juga pemakai dan pengedar. Hal itu berlanjut kepada Danar yang juga menjadi pengedar, tapi ia tidak mengonsumsi karena dia tau untuk membeli obat itu perlu uang dan uang itu susah untuk mendapatkannya. Sedangkan menjadi pengedar tidak terlalu dibayar mahal, ia hanya dibayar 3 Gulden, dan itu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Di rumah, Danar hanya tinggal berdua dengan bapaknya. Ibunya sudah pergi, bukan meninggal dunia tapi memang pergi. Pergi meninggalkan Danar dan memilih menjadi Nyai di rumah bordil. Ia sedikit bersyukur karena tidak memiliki adik yang harus ia tanggung.

Pemuda itu tumbuh di lingkungan yang kacau, tapi ia memiliki tekad luar biasa perihal kemerdekaan. Karena pernah suatu kali ia mendengar bapaknya bergumam racau setelah menghisap opium, "Londo-Londo itu bodoh! Mereka pikir kita lemah! Negeri ini bisa merdeka jika kita melawaaaann!! Kalau saja ketua tidak ditangkap, aku sudah menjadi pahlawan!!" 

Tidak jelas apa yang bapaknya katakan, awalnya Danar hanya menganggap itu omong kosong dan khayalan bapaknya saja, tapi lama-kelamaan ia mulai sadar bahwa memang kita harus melawan, karena ini negeri kita, dan mereka hanya penjajah.

Tapi Danar tidak yakin bagaimana caranya melawan, ia hanya pribumi miskin yang tidak punya apa-apa. Ia hidup untuk mencari cara agar tetap hidup. Oleh karena itu, saat ia bertemu dengan Rumi dan diajak berbincang-bincang dengan pemuda bangsawan itu, ia jadi yakin bahwa ada kesempatan baginya untuk melawan penjajahan.

Tapa

Satu persatu kios-kios mulai tutup karena hari sudah larut, waktunya beristirahat dan memulai lagi di esok hari. Tapa membereskan buku-buku di depan toko untuk dimasukkan ke dalam, sejak ayahnya mulai sakit-sakitan, pemuda itu akhirnya yang mengambil alih kios buku.

Sebenarnya ayahnya ingin ia menjadi Veldpolitie, agar bisa bekerja dengan Belanda. Tapi pemuda itu menolak, karena baginya biarlah menjadi penjaga kios buku daripada menjadi pesuruh Belanda. 

Bertemu dengan Rumi adalah keberuntungan bagi Tapa, karena menurutnya pemuda bangsawan itu sangat cerdas dan berani. Saat Rumi datang ke kiosnya hanya sekadar untuk melihat-lihat, mereka jadi larut dalam obrolan radikal. 

Cukup berani juga seorang anak patih yang notabene-nya adalah pesuruh Belanda bersikap radikal, ditambah lagi ia tidak segan-segan memberitahu perihal rencananya, padahal mereka baru bertemu.

"Aku pernah mendengar orang hebat berkata begini, 'Masa depan negeri ini, ada di tangan pemuda! Kebebasan negeri ini, ada ditangan pemuda!'. Aku akan melakukan apa saja jika memang kemerdekaan ada di tanganku ini." Rumi bercerita sambil menunjukkan telapak tangannya.

Saat itu sedang hujan, mereka lebih leluasa untuk bercerita perihal penjajah yang tidak berotak dan pasti akan kalah. Inilah yang membuat Tapa tertarik untuk berteman dengan pemuda itu.

Tapi setelah pertemuannya dengan teman-teman Rumi yang lain di pelabuhan, dan berdiskusi tentang rencana besar mereka, Tapa jadi kembali berpikir, Apa bisa ia melakukannya? Bagaimana jika tertangkap? Maka keluarganya pasti akan kena imbasnya juga.

Tapa menutup pintu kios, bunyi besi pagar penutup menggelegar di sepanjang lorong pasar, lalu bersahutan dengan kios lain yang juga sedang menutup.

Mungkin besok saja ia berpikir lagi, hari ini ia sudah terlalu lelah.

Kaugnay na kabanata

  • Pribumi Pemberontak   Bab 5 : Aliansi Batavia

    Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i

    Huling Na-update : 2021-09-06
  • Pribumi Pemberontak   Bab 6 : Gudang Senjata

    SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap

    Huling Na-update : 2021-09-07
  • Pribumi Pemberontak   Bab 7 : Kiriman

    Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal

    Huling Na-update : 2021-09-08
  • Pribumi Pemberontak   Bab 8 : Jatuh Untuk Bangkit

    RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"

    Huling Na-update : 2021-11-02
  • Pribumi Pemberontak   Bab 9 : Pembunuhan

    SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi

    Huling Na-update : 2021-11-09
  • Pribumi Pemberontak   Bab 10 : Padepokan

    Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Pribumi Pemberontak   Bab 1 : Anak Lelaki Kesayangan

    Soerabaja, 1935 Rumi Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti. Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia. Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kece

    Huling Na-update : 2021-09-02
  • Pribumi Pemberontak   Bab 2 : Berita

    Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma

    Huling Na-update : 2021-09-03

Pinakabagong kabanata

  • Pribumi Pemberontak   Bab 10 : Padepokan

    Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe

  • Pribumi Pemberontak   Bab 9 : Pembunuhan

    SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi

  • Pribumi Pemberontak   Bab 8 : Jatuh Untuk Bangkit

    RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"

  • Pribumi Pemberontak   Bab 7 : Kiriman

    Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal

  • Pribumi Pemberontak   Bab 6 : Gudang Senjata

    SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap

  • Pribumi Pemberontak   Bab 5 : Aliansi Batavia

    Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i

  • Pribumi Pemberontak   Bab 4 : Teman Baru

    Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat

  • Pribumi Pemberontak   Bab 3 : Curiga

    Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G

  • Pribumi Pemberontak   Bab 2 : Berita

    Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma

DMCA.com Protection Status