Suras
Suras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.
Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.
Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.
Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap sudutnya ada pohon-pohon besar. Di sebelah kanan gerbang, berseberangan dengan lapangan, berdiri gedung yang berbentuk leter U, dengan sisi kiri yang lebih besar, dan di sanalah semua senjata disimpan.
Karena di sebelah selatan kawasan banyak rumah-rumah pejabat, maka tidak bisa memanjat dari sebelah sana. Jadinya mereka harus menerobos tembok bagian utara, tapi karena berbatasan langsung dengan laut, mungkin akan sedikit sulit terlebih lagi karena temboknya yang tinggi.
Jika berhasil masuk ke dalam kawasan dengan perlindungan pohon besar yang ada di sudut, maka mereka harus mengendap-endap di balik tank-tank untuk menuju ruangan tempat senjata.
"Apakah gedung itu dijaga?" tanya Rumi.
"Sepertinya tidak, karena saat siang yang berjaga pun cuma di gerbang. Tapi pasti ruangannya dikunci." jawab Suras.
"Lalu bagaimana?"
"Kita lewat atap."
"Memangnya bisa?" tanya Dehjan ragu.
"Entahla, kita lihat saja nanti. Lagi pula ini masih percobaan pertama kita 'kan?!"
Rumi dan Dehjan mengangguk, mereka merasa bahwa persiapan sudah padat, dan kemungkinan mereka akan beraksi malam ini.
Mandra
"Kau kenapa Ardhiman?" tanya Mandra saat melihat rekannya itu sibuk menggaruk-garuk kepala sambil mecorat-coret kertas di hadapannya.
Ardhiman tidak menggubris, dan Mandra hanya menggeleng-geleng kepala karena ia sudah sering melihat Ardhiman membuat tulisan jika sedang tidak banyak pekerjaan, tapi kali ini ia seperti penulis yang sedang dikejar tenggat.
Mandra adalah rekan paling lama yang kenal dengan Ardhiman, mereka sama-sama tiba di batavia 5 tahun lalu. Dan Mandra sangat kagum dengan temannya itu karena Ardhiman yang hanya lulusan sekolah rakyat bisa berbahasa Belanda, sedangkan dia yang lulusan HIS masih terbata-bata.
Iyaa, Mandra adalah lulusan HIS. Hal ini karena saat itu ayahnya adalah salah satu guru di sekolah itu. Tapi tepat saat hari kelulusannya di HIS, ayahnya ditangkap dan diasingkan. Itulah yang membuat Mandra tidak bisa melanjutkan sekolahnya dan memilih merantau ke Batavia.
Karena jenuh melihat Ardhiman yang sedari tadi menggerutu, Mandra memilih untuk pergi ke bagian penjualan, di depan penerbitan ada lapak untuk menjual surat kabar dan buku-buku.
Dilihatnya jalanan Rijswijkstraate yang selalu ramai oleh kereta, sepeda, becak, dan pejalan kaki. Sesekali pemuda itu melirik ke gadis-gadis Belanda yang lewat di depan lapak.
Lalu tiba-tiba terdengar keriuhan dari arah kiri, para Veldpolitie ternyata tengah meminggirkan keramaian jalan, karena jauh dari arah utara ada kereta-kereta besar yang akan menembus jalanan.
"Apa itu?" mungkin itulah yang menjadi pertanyaan orang-orang di sekitar Mandra, tidak terkecuali dirinya.
Lalu saat kereta-kereta besar itu sampai ke Rijswijkstraate, barulah terlihat ternyata kereta-kereta itu berisi tentara Belanda.
"Mereka dari mana?" gumam Mandra.
Dan tiba-tiba dari arah samping seseorang menyaut, "Mereka dari Belanda, dipindah tugaskan ke sini." kata seorang tukang becak yang duduk di becaknya sambari mengusap keringat dengan handuknya.
"Darimana bapak tau?" tanya Mandra.
"Hampir seluruh hidup saya berada di jalanan, jadi telinga ini banyak mendengar." jawab tukang becak itu sambil menunjuk telinganya.
Setelah kereta-kereta itu lewat, dan berbelok ke kawasan Koningsplein barulah jalanan kembali normal. Dan Mandra pun memilih untuk kembali masuk ke dalam gedung dan mengobrol dengan Madam Puff, penjaga lapak penerbitan.
__
Terang bulan mengiringi langkah tiga orang pemuda yang adalah Suras, Rumi, dan Dehjan, mereka sedang berjalan ke utara menyusuri hutan menuju laut. Suara malam dan tapakan sepatu menemani langkah mereka, dengan pakaian serba hitam, masing-masing menggendong sebuah tas, dan mengalungkan senapan. Kecuali Suras.
Suras memilih membawa 3 mata tombak yang ia kaitkan di pinggangnya dan meminjamkan senapan kepada Rumi dan Dehjan, sebenarnya ia kurang yakin apakah dua pemuda itu bisa menggunakan senapan.
Mereka masih menelusuri hutan hingga akhirnya terlihatlah tembok tinggi dengan lumut-lumut yang mengisi seluruh sisi, terus berjalan hingga ke ujung daratan sampai mereka melihat daun-daun menyembul dari balik tembok, dan daun-daun itulah yang menjadi tanda tempat mereka akan memanjat.
Dehjan mengeluarkan tali tambang dari tasnya, lalu memberikannya kepada Suras. Di sini Suras lah yang akan memanjat dahulu untuk mengikat tali di atas. Dehjan yang kemudian berdiri di bahu Rumi, lalu Suras memanjat tubuh teman-temannya itu.
Sempat kesulitan bagi Suras untuk menggapai atas tembok, sedangkan mereka harus tetap menjaga keseimbangan agar menara yang mereka buat tidak rubuh dan malah jatuh ke laut yang tepat di sebelah kanan mereka, sampai akhirnya dengan sedikit loncatan barulah Suras berhasil menggapainya.
Setelah sampai di atas tembok ia langsung membungkus kawat duri dengan kain yang ia bawa dalam tas agar mereka bisa duduk dengan leluasa, dan barulah Ia mengikat tali tambang ke dahan pohon yang dipastikan kuat.
Sembari mengikat tali, ia sesekali mengintip dari celah-celah daun untuk melihat situasi di lapangan. Sepi, hanya ada beberapa tentara yang berkumpul di dekat gerbang, dan beberapa lagi berjalan keluar dari gedung tengah. Sepertinya, aman, pikir Suras.
Setelah mengikat, ia langsung melempar tali ke bawah agar Rumi dan Dehjan bisa memanjat ke atas. Sampai akhirnya mereka bertiga berhasil mendarat di tanah dalam kawasan gudang senjata itu, tepat di bawah pohon, dan bersembunyi di balik kegelapan.
Satu per satu mereka mulai mengendap di balik tank-tank besar yang berjejer hingga ke bagian gudang senjata, sejauh itu perjalanan masih berjalan dengan lancar hingga tank terakhir. Namun tiba-tiba gerbang utama dibuka. Bunyi melengking dari engsel gerbang yang berkarat membuat seluruh kawasan yang awalnya senyap jadi menggelegar.
Kereta-kereta besar memasuki kawasan menuju lapangan, tank-tank yang berjejer termasuk tank yang menjadi perlindungan mereka tersorot oleh lampu kereta. Sekitar 5 kereta masuk dengan membawa puluhan tentara, dan itu membuat kepanikan menyerang mereka.
"Bagaimana ini?" bisik Suras yang berada di paling belakang.
Rumi sempat berpikir sejenak, sampai akhirnya ia mengibaskan tangan, memberi isyarat untuk mundur. Karena ia merasa akan lebih sulit jika tentara sebanyak itu berada di sini, dan kalau ketahuan mereka pasti akan tertangkap.
Akhirnya mereka kembali mengendap menuju pohon, dengan sangat hati-hati dan tidak semudah sebelumnya. Hingga mereka berhasil sampai ke pohon lalu memanjat, tapi karena gerakan pohon yang terlalu rusuh karena mereka panik, membuat beberapa tentara yang baru turun dari kereta mengalihkan pandangan ke pohon itu. Lalu tiba-tiba…
Doorrrr!!
Suara tembakan dari salah satu tentara ke arah pohon itu, dan tembakan itu berhasil membidik bahu Suras yang sudah berada di atas tembok sehingga ia tidak bisa menjaga keseimbangan dan tubuhnya jatuh ke laut. Suara jeburan air sampai ke telinga para tentara, lalu salah satu tentara bertanya pada si tentara yang menembak, "Kenapa kau menembak?"
"Kata komandan, disini banyak monyet! Mungkin saja itu monyet yang sedang kawin." jawabnya sambil tersenyum puas.
Rumi dan Dehjan yang melihat tubuh Suras terjun bebas ke laut terkejut bukan main, lalu Rumi berbisik. "Bersihkan jejak dan kaburlah cepat! Aku akan menyelamatkan Suras!!!"
"Kau gila?!! Tidak! Kita harus menyelamatkan diri dulu, Rumi!" baru saja Dehjan menentang perintah sahabatnya itu, tiba-tiba tubuhnya didorong ke arah mereka memanjat tadi, dan jatuh menimpa tanah lalu disusul tali tambang dan kain yang menimpa dirinya. Sedangkan Rumi meloncat bebas ke laut.
Suara jeburan air kedua terdengar lagi di telinga para tentara, lalu kembali si yang menembak tadi berkata, "Mungkin pasangannya yang juga mau mati bersama."
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
Soerabaja, 1935 Rumi Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti. Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia. Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kece
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma