Buitenzorg, 1935
Amar
Gerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.
Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung.
"Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.
Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.
Jalanan masih sepi karena hari masih terlalu pagi, hanya ada beberapa pribumi yang sudah keluar untuk pergi bekerja. Entah itu ke pabrik, ke ladang, atau ke rumah orang Eropa.
Sampai mereka tiba di perbatasan, dokar dicegat oleh dua orang Veldpolitie untuk melakukan pemeriksaan barang. Karena itulah aturannya, barang dagang yang dijual ke luar daerah harus diperiksa untuk mencegah penyelundupan, entah itu obat-obatan atau senjata tajam.
Hal ini dilakukan, karena pemerintah mulai takut dengan gerakan-gerakan rahasia dari pribumi, jadinya mereka begitu gencar untuk memberantas apapun yang dianggap akan merugikan.
Dan setelah pemeriksaan selesai, mereka lolos melewati perbatasan. Dan itu membuat Amar menarik sudut bibirnya ke atas.
Perjalanan yang mereka tempuh hampir 9 jam, dengan istirahat 30 menit dua kali. Padepokan memang sangat jauh jika ditempuh dengan dokar, tapi ini adalah kiriman penting yang tidak bisa diantar dengan kereta.
Hingga sampailah mereka di tujuan, gerbang tinggi menyambut mereka. Itu adalah padepokan pencak silat yang didirikan oleh Tuan Moko, disana anak-anak pribumi diajarkan bela diri dan tenaga dalam.
Dokar memasuki gerbang setelah si penjaga melihat siapa yang datang, sampai di dalam mereka langsung disambut oleh Tuan Moko dan beberapa muridnya.
"Amar!" panggil Tuan Moko penuh gembira, dan pemuda yang dipanggil membeli salam penghormatan.
"Bagaimana perjalanan?" tanya Tuan Moko.
"Baik-baik saja Tuan."
Lalu murid-murid disuruh menurunkan peti-peti dan memindahkan ke pelantaran utama disana.
"Bagaimana saat pemeriksaan?" Tanya Tuan Moko.
"Aman, Tuan. Orang-orang itu bodoh, jadi bisa dikelabui." jawab Amar.
Tuan Moko tersenyum senang mendengar jawaban itu, lalu Amar melanjutkan. "Yang merah itu kiriman khusus, dan yang hitam barang tambahan."
"Baiklah, aku mengerti. Ucapkan kepada Gian, aku berterimakasih. Dan selalu hati-hatilah saat beraksi." pesan Tuan Moko.
"Baik Tuan."
"Oh ya, besok bawalah Ethes. Ia sudah lulus, dan mungkin bisa sangat membantu di sana." Tuan Moko lalu memperkenalkan seorang muridnya kepada Amar.
Pemuda dengan perawakan standar pribumi, tatapan yang lembut tapi saat ia bersuara sangat dalam sekali. "Mohon bantuannya, Kang." ucap Ethes.
"Barang terbaru yang kalian kirimkan bulan lalu, Ethes cepat sekali mempelajarinya." ucap Tuan Moko. "Dan itu mengingatkanku dengan kau, Amar."
Amar hanya bisa tersenyum, dan setelah itu Amar diajak masuk serta disuguhi makanan khas di padepokan. Pemuda itu merasa seperti kembali ke rumah.
Tuan Gian
Di kamar, Tuan Gian sedang berduaan dengan istrinya. Mencoba memulai suasana yang panas.
"Pelan-pelan, Bu!" Seru Tuan Gian kepada istrinya, Rarasayu.
"Makanya, tidak usahlah ikut-ikutan beraksi, biarkan anak-anak itu saja! Toh Amar juga sudah bisa memimpin." marah Rarasayu sambil membersihkan luka di bahu suaminya itu.
Sebenarnya sudah hampir seminggu luka di bahu Tuan Gian, tapi Rarasayu baru mengetahuinya malam itu, dan itu sangat membuatnya begitu marah.
Tuan Gian hanya membuang napas setelah mendengar ucapan Istrinya, ia tahu kekhawatiran Rarasayu, tapi ia tidak bisa meninggalkan anggota sebelum Anararas bisa memegang rencong yang benar.
"Tunggulah sampai Anar bisa memegang rencong dan menembak, setelah itu aku akan menyerahkan semuanya pada mereka." ucap Tuan Gian.
"Aku tidak mau Anararas mengikuti jejakmu!" sergah Rarasayu.
Dan baru saja Rarasayu mengatakan hal itu, tiba-tiba Anararas menerobos masuk ke dalam kamar orangtuanya itu. Dan pastinya hal yang dilakukan Anararas membuat Tuan Gian dan Rarasayu terkejut sekaligus marah.
"Anaarr! Kenapa tidak sopan begitu?!! Masuk ke kamar orang tua tanpa mengetuk!!" marah Rarasayu kepada anaknya itu.
Anararas menunjukkan wajah yang tidak kalah marah, lalu menjawab. "Bagaimana bisa Anar mengetuk dulu setelah mendengar apa yang Abu ucapkan. Maksudnya apa menyerahkan semuanya setelah Anar bisa menembak?!"
"Tapi kamu tetap tidak sopan! Ibu tidak pernah mengajarkan itu kepadamu!!" kini Rarasayu telah berdiri di hadapan Anararas, lalu menarik tangan anaknya itu keluar dari kamar.
Melihat hal itu Tuan Gian kembali menghempas napas yang sangat berat, "Apa sudah saatnya Anar tahu semuanya?" pikir Tuan Gian sambil menyarungkan bajunya lalu keluar mengikuti anak dan istrinya itu.
Di dapur dapat Tuan Gian lihat Rarasayu tengah memukul telapak tangan Anararas dengan rotan, "Ibu tidak pernah mengajarkanmu seperti itu!"
Piiaakk!!
"Berlaku tidak sopan kepada orang tua!"
Piiaakkk!!
"Jangan karena ibu sudah mengizinkanmu menggunakan pakaian lelaki, lalu kamu jadi berlaku seenaknya!!"
Piiaakkk!!
Anararas tidak menangis tapi sangat jelas wajahnya memerah menahan tangis, dan melihat hal itu Tuan Gian tidak sanggup jika hanya diam saja. Ditahannya rotan yang kembali akan memukul tangan Anararas.
"Sudahlah Buu!" seru Tuan Gian lalu memeluk istrinya yang tiba-tiba terduduk lalu menangis, seakan tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan kepada anaknya itu.
"Aku tidak ingin ia menjadi sepertimu!" gumam Rarasayu sambil menangis.
"Anararas, pergilah ke kamarmu!" perintah Tuan Gian. Lalu diajaknya istrinya itu kembali ke kamar sedangkan Anararas masih berdiri di tempatnya sambil memandangi rotan yang memukulnya tergeletak di tempat Rarasayu terduduk tadi.
Di kamar, Tuan Gian kembali menenangkan istrinya. Dan setelah sudah lebih baik barulah pria itu mencoba memulai obrolan, "Anararas sudah besar, dan bapak rasa sudah saatnya ia mengetahui semua. Jadi biarlah ia yang menentukan sendiri jalannya."
Rarasayu masih sedikit berat dengan pernyataan suaminya, karena ia sudah yakin bahwa Anararas pasti akan mengikuti ayahnya, darah pejuang mengalir dalam diri gadis itu.
Ethes
Pemandangan yang sedikit aneh di mata Ethes saat tiba di Buitenzorg, karena ia sudah lama tinggal di padepokan dan di lingkungan yang rata-rata pribumi, membuatnya sedikit asing melihat sangat banyaknya orang-orang kulit putih di kota itu. Ditambah lagi melihat pribumi yang menjadi budak orang Eropa, membuatnya merasa miris.
Ethes tumbuh besar di padepokan, orang tuanya ditangkap dan diasingkan ke tempat yang jauh sehingga ia dititipkan di sana dan banyak belajar bela diri. Dan hari ini ia ikut bersama Amar dan Doel ke Buitenzorg atas permintaan Tuan Moko, pemuda 18 tahun itu sudah tau apa yang akan dilakukannya setiba di Buitenzorg, yaitu menjadi pekerja di pabrik sepatu Tuan Gian, selain itu ada misi rahasia yang juga akan ia lakukan.
Sore hari setibanya di pabrik, ia diperkenalkan dan disambut hangat oleh Tuan Gian. Sebelumnya Ethes sudah pernah bertemu dengan Tuan Gian saat pria paruh baya itu berkunjung ke padepokan. Dari yang ia ketahui, Tuan Gian dan Tuan Moko adalah teman seperjuangan saat masih muda dulu.
Kawasan pabrik itu cukup besar, saat memasuki gerbang terlihat rumah sederhana bergaya Eropa di sebelah kanan, dan gudang besar dengan pelantaran yang luas di sebelah kiri. Di antara rumah dan pabrik, tepat di depan gerbang, ada jalan setapak kecil menuju belakang dengan bunga-bunga di sisinya membuat kawasan itu tampak asri.
Lalu Ethes diajak Tuan Gian duduk di teras rumahnya, dan disuguhkan makanan oleh Ibu Rarasayu. Mereka bercengkrama, bercerita perihal keadaan padepokan.
Dan setelah mengobrol, Ethes diajak Amar berkeliling dan melihat-lihat pabrik. Di sana Ethes banyak bertemu dengan anak-anak yang dulu juga pernah belajar di padepokan.
Kawasan rumah dan pabrik Tuan Gian sangat luas sampai ke belakang, dan di belakang itu ada hutan bambu yang cukup luas, dan di luar hutan ada gazebo yang mengingatkannya dengan padepokan, karena disana juga banyak gazebo seperti itu.
Terlihat di gazebo itu ada dua orang gadis yang sedang bersantai, dan salah satunya cukup menarik perhatian Ethes.
"Anararas!" ucap Amar saat melihat Ethes yang sangat intens melihat gadis itu.
"Hah?" Ethes langsung menoleh ke arah Amar.
"Namanya Anararas. Gadis yang memakai beskap itu 'kan?" goda Amar.
"Kalau yang memakai kebaya?" tanya Ethes spontan.
Amar tergelak, tebakannya salah karena ternyata bukan Anararas yang menjadi perhatian lelaki ini. "Itu Rajini, anak Pak Muluk."
Ethes mengangguk pelan seakan mengerti, sambil mengingat pria paruh baya yang membantu di bagian menjahit di pabrik, tapi kemudian ia menghempas napas karena mengingat bahwa ia sempat menjatuhkan tumpukan kulit sepatu yang sudah dijahit dan itu membuat pekerjaan Pak Muluk bertambah.
"Jadi Rajini yang menarik perhatianmu?" Amar kembali menggoda. Tapi Ethes tidak menggubris.
"Oh ya Kang, kalau boleh tau, barang-barang kiriman untuk padepokan itu dapatnya dari mana?" tanya Ethes mencoba mengalihkan.
Mendengar pertanyaan itu, Amar membalas dengan senyuman lalu berkata, "Nanti kau akan tahu sendiri."
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
Soerabaja, 1935 Rumi Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti. Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia. Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kece
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma