Buitenzorg, 1935
Anararas
Pagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.
Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.
Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.
Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. Gadis itu menghempas napas, sepertinya ia gagal lagi.
"Tenagamu harus kuat, agar dia menancap." sosok lelaki paruh baya menghampiri Anararas yang memang sedari tadi memperhatikan di belakang. Lelaki itu mengambil tempat di sebelah Anararas lalu mempraktikkan lemparan Rencong yang tepat.
Hwuusss… Ttaakkh!
Mata senjata tersebut membidik tepat di tengah target, dan juga membuat papan itu bergoyang seperti akan jatuh.
"Anar tidak minat belajar Rencong, Abu. Anar ingin belajar menembak!" ucap Anararas sambil memperagakan tangannya memegang senapan laras panjang.
"Perbaiki caramu memegang Rencong dulu, baru belajar memegang senapan!" jawab lelaki paruh baya itu.
Gadis itu hanya bisa merungut mendengar jawaban ayahnya. Lalu ia berjalan mengambil senjatanya yang jatuh ke tanah tadi dan berencana untuk mencoba lagi. Begitulah yang selalu dilakukannya beberapa minggu belakangan ini.
Anararas sudah sangat kenal dengan senjata tradisional asal tanah kelahiran ayahnya itu, tapi ia baru diperbolehkan memegang dan memperalajarinya setelah mendapatkan haid pertama, tepatnya sebulan yang lalu. Untuk gadis 15 tahun, bisa dibilang masa pubertas Anararas sangat terlambat.
Pukul 11 Anararas kembali ke rumah untuk membantu ibunya menyiapkan makan siang. Dari pintu belakang terlihat Rajini, anak dari salah satu pekerja di pabrik sepatu ayahnya, sedang mengambil air di sumur.
Dihampirinya gadis yang sudah menemaninya selama 7 tahun itu, "Rajini, nanti sore temani aku ke Waroeng Alma yaa."
"Iyaa, Ceu." terlihat raut gembira dari wajah Rajini, gadis itu selalu senang jika diajak Anararas jalan-jalan keluar.
Anararas kemudian masuk ke rumah, dan dari arah ruang tamu terdengar suara orang yang sedang berbincang. Bukan suara Abu ataupun Ibu, tapi ia mengenalinya. Dan saat Anararas mengintip, ternyata ada Mang Tisna yang sedang mengobati tangan Amar.
"Kang Amar kenapa?" Anararas menghampiri.
"Tertusuk gunting di pabrik." jawab Amar.
"Ya ampun, makanya hati-hati Kang. Itu sampai dijahit begitu? Kenapa tidak bawa ke rumah sakit saja?" Anararas sedikit meringis melihat Mang Tisna yang memainkan jarum dan benang di kulit Amar, membayangkan pasti sangat dalam luka itu.
"Tidak apa, kan ada dokter Tisna." jawab Amar sambil tersenyum ke arah Mang Tisna.
Anararas yang melihat tangan Mang Tisna begitu cekatan mengobati luka Amar membuat gadis itu terpukau, "Jadi tidak sabar untuk masuk Stovia." gumannya.
"Kalau mau masuk Stovia, Anar harus belajar yang rajin." ucap Mang Tisna.
"Hehheehe, siap Mang." gelak Anararas karena gumamannya ternyata didengar.
Mang Tisna adalah adik dari ibu Anararas dan dia merupakan lulusan Stovia 5 tahun lalu, setelah mengabdi di Bencoolen 3 tahun, ia kembali dan bekerja di Buitenzorg hingga sekarang. Dan katanya, tahun depan ia akan dipindahkan ke Ambonia. Sedangkan Amar adalah salah satu pekerja di pabrik, dan pemuda 24 tahun itu juga sangat dekat dengan ayah Anararas.
Saat Anararas akan berbalik untuk menuju dapur, matanya menangkap benda kecil berkilau yang sedikit panjang berwarna kuning keemasan dengan bercak merah, benda itu terselip di antara baskom air pembersih luka dan tas peralatan Mang Tisna.
Mata gadis itu masih sangat sehat untuk menyimpulkan bahwa benda itu adalah selongsong peluru. Dan saat Anararas menatap ke arah peluru itu, tiba-tiba Amar menggeser baskom air sehingga benda itu tertutupi di mata Anararas.
Sebenarnya gadis itu ingin bertanya, tapi diurungkannya karena melihat Amar yang seakan mencoba menutupi. Mungkin nanti saja, di waktu yang tepat ia akan bertanya. Mengingat memang banyak sekali kecurigaan Anararas terhadap Amar. Dan tidak hanya lelaki itu saja, tapi seluruh pekerja di pabrik, termasuk ayahnya.
Rajini
Ekspresinya tidak berhenti menggambarkan betapa enaknya Spikoe (semacam kue lapis) yang sedang ia kunyah, Rajini sudah makan tiga kue dan dirinya belum puas. Diambilnya satu lagi, dan dalam pikirannya ini akan menjadi yang terakhir. Tapi nyatanya ia masih mencomot kue itu lagi dan lagi hingga potongan terakhir. Sampai-sampai ia lupa menyisakan untuk Anararas, padahal gadis itulah yang membelinya.
"Tidak apa, makanlah semuanya! Aku sudah bosan." ucap Anararas.
Rajini senang sekali kalau sudah diajak Anararas untuk makan makanan enak orang Eropa, apalagi di Waroeng Alma, tempat yang hanya bisa dikunjungi pribumi kelas atas.
Walaupun sebenarnya mereka tidak benar-benar makan di dalam kedai kue itu, dan hanya nangkring di gazebo di depannya, tapi itu sudah sangat membahagiakan bagi Rajini.
Seperti biasa Anararas mengenakan setelah beskap, ia selalu saja menutupi identitasnya yang seorang wanita jika pergi berkeliling kota. Kecuali sekolah, ia akan mengenakan pakaian seperti gadis-gadis Eropa. Dan Rajini selalu mengenakan kebaya terbaiknya jika diajak Anararas jalan-jalan, karena ia tidak ingin mempermalukan anak juragannya itu.
Di tengah asiknya mereka menikmati kue dan hiruk pikuk sore di tengah kota Buitenzorg, mata Rajini teralihkan kepada seorang pemuda Eropa di ujung jalan yang tiba-tiba meloncat ke selokan, "Lihatlah Tuan itu, kenapa dia masuk ke selokan?" tanya Rajini, dan itu membuat Anararas yang awalnya sibuk membaca iklan minuman keras yang tertempel di tiang gazebo menjadi ikut melihat ke arah yang Rajini maksud.
Sampai akhirnya setelah cukup lama mereka menonton pemuda itu, barulah si pemuda keluar dari selokan sambil menggendong seekor anak kucing
Saat melihat itu, Anararas langsung mengalihkan pandangannya kembali ke iklan di tiang gazebo, baginya tindakan itu tidaklah heroik sama sekali mengingat apa yang bangsanya lakukan terhadap negeri jajahannya ini. Tapi bagi Rajini, hal itu bisa membuatnya tersenyum kagum.
Tuan Gian
Malam itu suhu di Buitenzorg sangat dingin sama seperti biasanya, suara katak diiringi nyanyian jangkrik menjadi pertanda bahwa tengah malam akan turun hujan.
Tuan Gian menikmati secangkir kopi di depan pabrik sepatunya. Ia kembali membaca surat kabar tadi pagi, ada berita yang sangat menarik perhatiannya.
"De Javasche Bank Overval - Batavia"
Begitulah kalimat yang tertulis dengan ukuran huruf yang besar, menandakan bahwa ini berita besar pula. Mungkin lebih tepatnya menjadi berita besar hanya untuk para pejabat dan saudagar yang uangnya disimpan di bank tersebut.
Tuan Gian menutup kembali surat kabar itu ketika beberapa pekerjanya keluar dari pabrik, karena bahan kulit sepatu baru tiba sore tadi jadinya para pekerja harus lembur untuk menyusun barang di gudang.
Setelah para pekerja pulang, tinggallah Amar yang terkahir keluar. "Bagaimana tanganmu?" tanya Tuan Gian saat Amar sedang mengunci pintu pabrik
"Tidak apa-apa, Tuan." jawabnya, lalu melanjutkan, "Tuan sendiri bagaimana?" tanya pemuda itu sambil melihat ke arah bahu kanan Tuan Gian.
Juragan pabrik sepatu itu hanya mengangguk sambil tersenyum, memberi tanda bahwa ia juga tidak apa-apa.
"Baiklah, saya permisi Tuan." izin Amar, tapi baru saja kakinya ingin melangkah, pemuda itu kembali melihat Tuan Gian. "Maaf Tuan, sepertinya Anar melihat gunting yang menusuk tangan saya." ucap pemuda itu.
Tuan Gian yang saat itu sedang menyeruput kopinya sempat berhenti dengan bibirnya yang masih mencium bibir cangkir, seperti sedang berpikir sejenak. Dan kemudian ia kembali menyeruput kopinya.
Amar masih menunggu pria paruh baya itu selesai minum untuk mendapatkan balasan.
"Ya sudah, biarkan saja." Jawab Tuan Gian sembari meletakkan cangkir kopinya ke tadahan.
Setelah mendengar itu, barulah Amar benar-benar meninggalkan Tuannya yang ternyata sedang bergelut dengan pikirannya.
"Anak itu selalu saja mendapat celah, pasti kecurigaannya makin bertambah." begitulah kesimpulan yang ada di benak Tuan Gian.
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
Soerabaja, 1935 Rumi Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti. Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia. Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kece
Tuan MokoHari menjelang petang, seperti biasa murid-murid padepokan Husain berlatih bela diri di lapangan belakang. Beberapa ada yang melakukan pencak silat, ada pula yang berlatih membidik dengan golok, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya.Tuan Moko memandangi murid-muridnya itu, pemuda-pemuda bakal pejuang, pemuda-pemuda yang akan menegakkan bangsa ini. Begitulah pikir pria paruh baya itu, dan hal itu membuat ia kembali teringat masa lampau, saat ia masih muda.Moko adalah anak seorang Kyai, ayahnya adalah pejuang. Ia ikut berperang bersama ayahnya melawan kolonial, tapi ayahnya gugur dan kelompoknya banyak yang ditangkap, untungnya ia bisa kabur menyelamatkan diri. Tapi hal ini membuat Moko muda frustasi karena kehilangan ayahnya dan teman-teman sesama pejuang. Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang pembuat sepatu, Gian, pe
SurasSuras mencoba menahan sakit di bahunya. Walaupun sudah mengunyah tembakau tapi rasa sakit itu terus menusuk sampai ke tulang-tulang. Dan bisa ia rasakan ketika peluru itu bergerak keluar dari tubuhnya saat Rumi menarik menggunakan penjepit yang Suras tidak tahu namanya. Dan setelah peluru itu keluar, tiba-tiba penglihatannya kabur dan badannya lemas.Pikirannya melayang, mengingat apa yang ada dalam benaknya saat ia tercebur ke laut malam tadi. Bahunya perih karena tertembak ditambah lagi dinginnya air merasuk ke seluruh tubuh. Sebenarnya tubuhnya masih bisa bergerak untuk menyelamatkan diri tapi hatinya enggan melakukan itu. Ia sengaja menenggelamkan diri, dan cahaya bulan malam itu yang cukup terang seakan menyorot saat-saat terakhir dalam hidupnya.Kenangan masa lalu merayap dalam pikiran, menggambarkan keluarga yang telah pergi
RumiRumi terbangun sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk ke paru-parunya. Saat matanya terbuka, ia dapat melihat tubuh Dehjan yang membelakangi sinar bulan dengan raut cemas duduk di samping kirinya. Lalu Rumi berusaha untuk membangkitkan tubuh dibantu sahabatnya itu.Dilihatnya sekitar, ternyata ia telah berada di bibir pantai. Terakhir yang Rumi ingat adalah ia terjun menyusul Suras dan berhasil menangkap tangan pemuda itu walau akhirnya terlepas karena tiba-tiba dadanya sesak, dan kemudian gelap.Di sebelah kanannya sudah ada Suras yang terduduk betelanjang dada sedang berusaha menutupi luka di bahu kiri dengan bajunya. Melihat itu, Rumi bersyukur sekali karena mereka berdua selamat.Rumi mencoba membantu Suras sambil berkata kepada Dehjan, "Kenapa kau tidak membantunya?!"
Buitenzorg, 1935AmarGerimis pagi bekas hujan tadi malam belum juga mereda, dingin dengan tega menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan burung-burung yang biasa berkicau, enggan keluar dari sarangnya.Amar mengangkat peti-peti sepatu ke atas dokar, pesanan dari padepokan Husain sangat banyak karena murid baru tahun ini juga makin bertambah. Bersama dengan Doel, ia akan mengantarkan pesanan ini secara langsung."Hati-hati kalian!" pesan Tuan Gian.Lalu setelah semua siap, berangkatlah dua pemuda itu di tengah gerimis yang mulai mereda. Tapak kuda bergerak dan dokar melenggang keluar dari gerbang, disusul tatapan curiga dari mata Anararas yang melihat dari teras rumah.Jalanan masih sepi karena hari masih terlal
SurasSuras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang.Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap
Ardhiman Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka. Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah. Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil i
Batavia, 1935RumiSelama dua bulan ini Rumi sudah bertemu dengan tiga orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan pemuda itu, menjadi radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rasa ingin membebaskan negeri ini dari rengkuhan penjajah tumbuh besar seiring usianya yang kian bertambah.Suras, orang Borneo yang Rumi temui di Oud Batavia, pemuda 22 tahun dengan kulit coklat dan lesung pipi yang cukup dalam itu memiliki kemampuan dalam hal menembak. Selain mahir menembakkan senapan, ia juga pandai membidik target dengan tombak.Tapa, pemuda 20 tahun asal Sumatera. Rumi bertemu dengan pemuda itu di pasar Tenabang, ia memiliki kios buku bekas di sana.Lalu Danar, ramaja 16 tahun yang merupakan warga Gang Madat. Rumi bertemu dengannya di dekat
Buitenzorg, 1935AnararasPagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. G
Batavia, 1935 Dehjan Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini. "Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan. "Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi." Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka ma