Bukan hanya Recky dan Resti yang terlihat tercengang, Aldo juga terkejut dengan kehadiran kedua pria itu. Ia segera menegakkan lagi posisinya secepat mungkin.
“Sial … kenapa mereka tiba-tiba muncul?” batin Aldo sedikit panik.
Tentu saja Aldo mengenal kedua pria itu, mereka adalah pengawalnya. Aldo berusaha bersikap setenang mungkin, dan dengan cepat otaknya bekerja mencari cara agar pasangan di hadapannya tidak semakin berfantasi. Sebab dia belum ingin mereka tahu yang sebenarnya tentang dia.
“Ahaha ….” Ia terkekeh singkat sembari menepuk tangannya. “Ternyata kalian … lagi main drama lo berdua, keren amat udah kayak bodyguard aja penampilan kalian,” tukas Aldo kembali terbahak, membuat kedua anak buahnya itu nampak kebingungan dan saling menoleh.
Dua detik kemudian, ia bahkan merangkul mereka berdua di samping kiri dan kanannya, membuat mereka semakin kebingungan. “Kalian seharusnya tidak disini,” cerca Aldo berbisik. “Kalian tau kan aku lagi nyamar? Kalau sampe ketahuan, aku pastikan hidup kalian nggak akan tenang,” geramnya. “Buruan bantu aku buat yakinin mereka!” cecarnya bertitah.
Selanjutnya kedua anak buahnya yang mulai mengerti, segera mengikuti sandiwara Aldo, dengan berpura-pura menjadi temannya. Walaupun nampak sangat kaku, untungnya mereka berhasil menyakini pasangan itu.
“Kelakuan gembel kayak gini banget ya, Yang … kasian banget, saking pengennya jadi orang kaya kali ya sampe main drama bodyguard-bodyguard segala,” cemooh Resti menatap hina Aldo dan kedua anak buahnya.
Recky menanggapi dengan tersenyum sinis, dia sepertinya masih mencurigai sesuatu. Aldo memang nampak jelas seperti gembel dengan penampilannya yang mengenakan pakaian tak layak, tapi kedua pengawal itu jelas tidak. Dari postur tubuhnya saja ia bisa menilai mereka bukan orang sembarangan.
Namun, ternyata anak buah Aldo cukup cerdas dalam hal ini. Mereka memperdalam sandiwara mereka dengan berpura-pura menjadi seorang preman. Salah satu dari mereka juga mengancam akan menghajar Resti karena begitu berani menghina mereka bertiga.
Berakhir pada, Resti tak terima dengan ancaman tersebut dan meminta Recky membalas mereka semua. Akan tetapi pria itu tentu saja tidak memiliki nyali sebesar itu. 3 banding 1, dia jelas takut. Apalagi menghadapi preman seperti kedua pengawal Aldo. Melihat otot-otot mereka saja nyali Recky langsung ciut.
“Lebih baik kita pergi dari sini, daripada tertular virus miskin dari mereka,” elak Recky.
Ia lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Resti, mengajaknya berbalik dan melangkah menuju mobil, sekaligus otaknya itu bekerja mencari cara lain untuk mengerjai ketiga orang itu.
Sejenak saja, mereka telah memasuki mobil. Saat kendaraan roda empat itu akan melewati Aldo dan kedua anak buahnya, Recky dengan sengaja menginjak gas lebih dalam hingga melintas begitu kencang membuat mereka bertiga terkesiap dan seketika menyingkir. Recky tertawa lepas setelahnya merasa puas berhasil membalas Aldo dan kedua anak buahnya.
“Brengsek! Semoga itu mobil masuk parit!” sumpah salah satu anak buah Aldo geram.
Dan benar saja, mobil Recky yang terlalu cepat malah masuk selokan di depan sana saat terkejut dengan mobil lain yang melaju dari arah berlawanan. Hal itu jelas mengundang tawa mereka bertiga.
“Syukurin!” ucap pengawal yang menyumpahi.
Setelahnya, mereka bertiga segera berlalu dari tempat itu menuju tempat yang lebih aman untuk berinteraksi. Tepatnya mereka kembali ke sebuah kontrakan kecil yang ditempati oleh Aldo beberapa hari ini.
“Maafkan kami soal tadi, Tuan. Sebenarnya nona yang meminta kami melakukan semua ini,” ungkap salah satu anak buah Aldo.
“Iya, Tuan. Nona meminta kami mengikuti Anda, lalu kalau Anda dalam masalah kami diminta menolong Anda,” timpal temannya.
“Iya … tapi liat-liat sikon dong,” cerca Aldo. “Untung tadi nggak ketahuan, kalau ketahuan selesai sudah kalian berdua.”
“Maafkan kami, Tuan.” Kedua pengawal itu menunduk.
“Iya sudah, kalian beliin aku makan gih. Aku mau junkfood.”
“Baik, Tuan.”
Mereka berdua bergegas berbalik, tapi segera ditahan Aldo. Hingga mereka harus berbalik lagi.
“Kalian punya uang? Dompet sama hape aku hilang pas aku tinggal ke kantor tadi siang,” lontar Aldo. Hal ini yang menyebabkan dia harus melakukan pekerjaan tadi demi bisa makan malam ini.
“Pantas nona sangat mengkhawatirkan Anda, Tuan. Dia bilang nomor Anda tidak bisa dihubungi. Oh iya, Tuan butuh uang berapa?” Pengawal yang menanggapi Aldo nampak mengeluarkan dompet. Aldo dengan gesit merebut dompet tersebut. Ia terlihat mengeluarkan seluruh uang dari dalam dompet pengawal itu. Cukup tebal, mungkin berjumlah sekitar 3 jutaan.
“Semua ini untukku,” ujar Aldo sambil menyodor kembali dompet sang pengawal yang sudah ia kuras. “Kamu minta lagi ke nona 3 kali lipat dari yang aku ambil, sekalian bilang ke dia tidak perlu khawatirin aku. Setelah besok, aku akan kembali ke kehidupanku yang sebenarnya.” Aldo nampak serius di kalimat terakhir.
“Siap, Tuan.”
“Iya sudah, sana pergi beliin aku makan. Aku mau pizza, burger, fried chicken …,” eja Aldo membuat kedua pengawal tersebut tercengang. Pastinya permintaan Aldo yang terdengar di luar kata waras itu menyita perhatian. Lapar atau rakus? Mungkin itu yang ada di benak mereka.
“Heh! Denger tidak?”
“I-iya, Tuan. Baiklah, kami pergi sekarang.”
“Awas ya kalau ada yang tertinggal!” rutuk Aldo.
Setelahya, kedua pria kekar itu segera pergi untuk membeli pesanan Aldo.
***
Keesokan harinya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba.
Bersambung ….
Keesokan harinya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ini adalah hari besar bagi perusahan Royal Morgan, dimana perusahaan tersebut akan merayakan hari ulang tahun perusahaan mereka yang berusia ke-1 tahun di cabang kota itu. Yang paling spesial adalah, pemilik perusahaan yang selama ini tidak pernah menampakkan batang hidungnya akan hadir malam ini.Semua karyawan berlomba-lomba memberikan penampilan terbaik untuk menyambut bos mereka, terutama kaum hawa, termasuk Resti. Selain ingin mendapat perhatian, ia juga akan mendampingi Recky sebagai salah satu tamu undangan yang mewakili perusahaan Mega Murni malam ini. Robert serta Dirly, sahabat Aldo yang lainnya yang ikut berkhianat padanya dulu juga ikut hadir bersama Recky.Semua orang nampak sibuk mempersiapkan diri dengan sangat elegan, bahkan para tim seksi sibuk bagian dapur tidak ingin ketinggalan. Hanya ada satu orang yang terlihat santai saja, yakni Aldo, cleaning service baru di perusahaan tersebut yang be
*Ketika itu* “Kita putus!” tegas Aldo Eduard, seorang pria tampan dan kaya raya yang terkenal playboy. Di kejauhan, seorang perempuan bernama Dyta Natasha sedang memperhatikan interaksi pasangan itu. Ia juga mengetahui bahwa Aldo sangat suka bergonta-ganti pasangan. Dyta mengernyit tak suka melihat kejadian yang sedang terjadi. Namun dia tetap kepo. “What? Tapi, Beb … aku nggak mau putus denganmu,” tolak Resti kekasih Aldo yang baru berusia 1 minggu. “Memangnya apa salahku sampai-sampai kamu mutusin aku kayak gini?” “Aku nggak butuh alasan buat mutusin cewek,” sahut Aldo dengan santainya, lalu berbalik hendak melangkah pergi. “Kamu mau kemana, Beb? Jangan pergi, aku belum selesai bicara,” tahan Resti seraya menjangkau ujung pakaiannya. Langkah Aldo sontak terhenti. “Lepasin,” pinta Aldo dingin. “Nggak. Aku nggak mau putus denganmu, Beb. Tolong jangan putusin aku,” mohon Resti dengan sangat. Br
Matahari telah menyelesaikan tugasnya menyinari bumi hari ini. Terang telah berganti gelap, tepatnya waktu menunjukkan pukul 8 malam waktu setempat. Demikian juga dengan Aldo. Ia menggerakkan leher dan tubuhnya untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Sebagai calon CEO termuda, Aldo digadang-gadang akan menjadi billionaire di usia paling muda pula. Karirnya lumayan cemerlang saat ini karena baru-baru ini ia berhasil memenangkan 2 proyek besar untuk perusahaan tersebut. “Pi, aku duluan ya, ada janji sama temen,” pamit Aldo. “Nggak pulang rumah dulu?” “Nggak, Pi. Aldo udah mandi kok.” “Oh, OK. Jangan minum terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan,” pesan Erlan Eduard yang sudah mengetahui kebiasaan putranya itu. “Iya, Pi. Papi belum mau pulang?” “Nanti saja, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.” “Iya sudah, tapi jangan lembur terlalu malam,” nasehat Aldo balik.
“Haha … lagian lo nggak kayak biasa. Ngapain lo bentar-bentar nelepon gue coba?” Deg! Kalimat Aldo terdengar biasa, tapi justru membuat ekspresi Robert berubah tegang seketika. Aldo melengkungkan alis heran. “Kok lo jadi pucat gitu? Ada apa, Bro?” “E ….” “Tunggu, jangan bilang ….” Kalimat Aldo yang bertempo sedikit lambat membuat jantung sahabatnya itu berpacu semakin cepat. “Lo jatuh cinta sama gue?” sambung Aldo menyipit, Robert sampai terbengong mendengar asumsi tersebut namun juga terlihat lega. “Iiih, sana lo jauh-jauh dari gue.” Dorong Aldo seketika. Hal ini jelas mengundang tawa. Robert terkekeh singkat. “Yang benar aja, Bro … masa iya jeruk makan jeruk. Gue masih waras kali,” tanggap Robert kemudian. “Terus kenapa lo nelepon gue terus?” cecar Aldo. “Soal itu … gue hanya mau ngabarin lo, kita nungguin lo di dalam sini.” Akhirnya dia menemukan alasan yang tepat. “Ayo masuk, Bro!” ajaknya mengalihkan topik.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” Aldo nampak begitu kebingungan setelah menerima laporan dari Dave melalui sambungan telepon yang menyatakan bahwa dia telah menandatangani beberapa file penting mengenai pengalihan proyek ke tangan perusahaan lain. Tak hanya itu, selain goresan tangannya juga terdapat cap jarinya. Aldo nampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat hari-hari yang telah berlalu, mungkin ada yang dia lewatkan, sebuah jejak misalnya yang dapat mengungkapkan rasa penasarannya. “Tunggu … pagi itu ….” Sekian detik berpikir keras ia tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, dimana dia bangun dengan tinta biru samar pada ketiga jari kirinya, yakni pada pagi setelah malam penuh nikmat tersebut. Aldo menggeleng kasar. “Nggak mungkin, nggak mungkin mereka yang melakukan semua ini. Lagian untuk apa coba? Masa iya mereka mau menghancurkan aku?” Demikian gumamnya sembari ia menghentikan kendaraannya. Aldo barusan tiba
“Kamu tau tentang itu? Cepat katakan apa yang telah Kalian lakukan, huh?” cecar Aldo dengan nada sedikit meninggi. Dirly jadi semakin gugup saja. “Kami ….” “Kami sengaja menjebakmu malam itu,” terang Recky yang barusan tiba bersama Robert. Aldo sontak melirik ke arah mereka berdua dan beranjak dari tempat duduk. “Kalian …,” sebutnya terjeda. Nafasnya memburu seketika, ia juga menelan saliva pertanda betapa sakit yang dia rasakan saat mendengar pernyataan Recky. “Ternyata memang kalian yang melakukan semua ini, aku benar-benar nggak nyangka,” ujar Aldo lebih lanjut sambil melirik ketiga temannya bergantian. “Atas dasar apa kalian setega ini padaku? Taukah kalian kalau dampak yang terjadi sangat fatal?” Aldo meninggikan nada pada kata fatal membuat mereka semua terlonjak kaget sejenak. “Hahaha.” Recky tertawa singkat, sedangkan Robert memiringkan sudut bibir memperlihatkan senyuman sinis, dan Dirly hanya memasang wajah datar saja. Melihat ekspre
“Mau apa lo? Mau gue tambahin lagi yang di wajah lo, huh? Ayo maju!” tantang Recky. Ucapan Recky membuat Aldo semakin murka, dia mulai terpancing emosi dan hendak maju melakukan penyerangan namun segera dicegah Dave. “Tenangkan diri Anda, Tuan. “Tapi, manusia-manusia kotor seperti mereka harus diberi pelajaran, Dave.” “Justru karena mereka kotor, Anda tidak perlu mengotori tangan Anda lagi dengan menyentuh mereka semua.”Ketiga pria itu terlihat tidak suka mendengar kalimat hinaan dari Dave, Recky yang paling berapi-api. “Lo mau dihajar juga ternyata, huh?” sergahnya menghampiri Dave cepat dan sedang mengangkat kerah pria bertuksido tersebut saat ini sambil tangan kanannya sedang bergerak hendak melayangkan pukulan ke arah wajah Dave. Tap! Dave menanggkap tangan Recky saat tangan besar tersebut akan menyentuh kulitnya kurang satu inci lagi. Dave mencengkram tangan Recky dengan sangat kuat hingga pria itu mengerang kesakitan.
Tidak, bukan hanya itu saja. Aldo mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tempat dia berada saat itu, termasuk langit-langit. Rumah baru tersebut begitu kumuh, dan juga sangat kecil. Bahkan ukuran kamarnya dulu lebih besar dari ukuran secara keseluruhan rumah ini. Hatinya begitu sakit, matanya sampai memerah saking sakitnya yang dia rasakan. Bukan hanya perusahaan yang hancur, tapi seluruh aset telah lenyap. Rumah, mobil, semuanya disita. Sekarang mereka harus tinggal di sebuah kontrakan petak untuk memulai kehidupan yang baru. Keluarga Eduard jatuh miskin. Rasanya Aldo tidak bisa mempercayainya, sekejap saja segala hal berubah total, bagaikan mimpi buruk. “Aldo, papi harap kamu tidak menyalahkan diri sendiri. Semua ini bagian dari takdir.” Demikianlah kalimat Erlan yang selalu bijak. Aldo merasa bangga pada ayahnya itu, hanya saja pada saat itu ia tentu tidak sependapat dengan papinya. “Tidak, Pi. Semua ini memang salahku. Aldo yang udah menyebabkan s