“Permisi …,” ucap seorang pria berpenampilan kucel, dia adalah Aldo Eduard, hendak mengamen di sebuah warung pecel lele. Pemilik warung menoleh padanya, menatapnya intens. Tepatnya sang pemilik warung seperti mengenal Aldo, dia sedang berusaha mengingat siapa Aldo.
Aldo menyadarinya, tapi dia tidak terlalu memedulikannya. Saat ini yang dia pikirkan hanya soal perutnya yang sangat lapar, jadi dia harus segera mendapatkan uang. Aldo tetap memantapkan pendiriannya untuk mengamen di warung yang cukup ramai itu.
Ketika Aldo baru akan membuka mulutnya, pria pemilik warung tiba-tiba menghentikannya.
“Heh, kamu kan Aldo Eduard, anak pembawa sial yang sudah bikin keluarganya bangkrut,” terka pria itu menghampirinya.
Aldo menelan saliva, tertegun mendengar tuduhan tersebut, kejadian itu sudah lama berlalu, sialnya orang-orang belum melupakannya. Bahkan dia dan keluarganya sudah lama berpindah dari kota ini, orang-orang masih saja mengenali wajahnya.
Suara pemilik warung yang lantang ternyata mengundang perhatian para pengunjung. Mereka juga pastinya mengetahui gosip yang sempat menjadi trending topik pada masanya itu.
“Dia memang Aldo Eduard yang itu,” sambung seorang pelanggan perempuan melirik Aldo. “Kalau nggak salah waktu itu dia pernah membuka warung bakso juga kan, terus pakai jin penglaris gitu. Akhirnya ketahuan warga dan keluarganya diusir. Kasian banget ya. Sekarang dia jadi pengamen ternyata.”
Teman perempuan itu nampak mengangguk setuju.
“Ish, ngapain kasian … aku justru kasian sama keluarganya, harus hidup susah gara-gara dia,” tanggap perempuan ketiga.
“Iya ya, bener juga katamu.”
Ketiga perempuan itu menatap hina Aldo. Melihat Aldo yang hanya diam saja, pemilik warung semakin yakin terkaan mereka semua benar.
“Pergi! Pergi!” usir pemilik warung seketika. “Tidak boleh ngamen di sini. Nanti warungku ini jadi ketimpal sial lagi.”
Wajah Aldo nampak memerah, ia marah diperlakukan seperti ini. Namun karena tak ingin mencari masalah, ia memilih menyingkir.
Dengan perasaan tak karuan, Aldo terpaksa melangkah pergi dari warung tersebut mencari tempat lain untuk ia mengais rejeki. Aldo melirik kesana kemari, warung seberang sana menjadi target berikutnya.
TIN!
Suara klakson berkumandang mengejutkan Aldo yang hendak menyeberangi jalan. Ia tidak memperhatikan jalan pada saat sedang menyeberang hingga sebuah mobil hitam hampir menabraknya. Pemilik mobil nampak menurunkan kaca mobil dan meneriakinya dengan kepala melongo keluar.
“Heh … cari mampus lo?! Atau mau gue mampusin sekalian?”
Suara pria itu mengingatkan Aldo pada seseorang yang sudah lama sekali tidak dia dengar. Ia reflek menoleh ke kanan dimana mobil tersebut berada. Benar saja, dia memang mengenal orang itu, begitupun dengan sang pemilik mobil yang terlihat seperti mendapatkan kejutan saat melihat wajahnya.
Pria berbalut pakaian mewah tersebut lalu keluar dari dalam mobil sedan miliknya. Seorang perempuan juga keluar dari pintu seberang. Selanjutnya Aldo hanya diam memperhatikan pergerakan pasangan itu yang melangkah mendekatinya. Pandangan Aldo lebih kepada tertuju pada si pria dengan tatapan penuh dendam.
“Lihat kelakuan OB perusahaan kalian, apa menurutmu dia tidak mempermalukan Royal Morgan?” sinis pria yang tak lain adalah Recky. Salah satu sahabat Aldo yang dulunya pernah mengkhianati Aldo sekaligus menjadi penyebab perusahaannya bangkrut beberapa tahun silam.
“Banget,” sahut kekasihnya Recky yang bernama Resti. Perempuan yang dulunya pernah tergila-gila pada Aldo sewaktu Aldo masih kaya dulu. “Bagaimana bisa OB di perusahaan Royal Morgan juga seorang pengemis di malam hari?”
Recky terkekeh kecil, “apa dia begitu kekurangan uang?” cibirnya.
Pasangan itu menatap Aldo dengan tatapan hina, mereka menyimpulkan Aldo berprofesi sebagai pengemis setelah melihat tangan Aldo yang sedang memegangi sebuah kantong bekas permen yang akan digunakan Aldo untuk memungut uang sehabis mengamen. Sementara itu, Aldo nampak kalem saja, walaupun tatapannya itu sirat akan dendam membara.
Sejenak kemudian, Resti merogoh sakunya, hal itu menarik perhatian Recky.
“Kamu mau apa?” tanyanya.
“Ini, aku mau ngasih dia duit,” jawab Resti mengeluarkan selembar uang kertas sebesar 10 ribu rupiah dari saku celananya.
“Ini terlalu banyak,” rebut Recky. Ia lalu kembali ke arah mobil, dan balik lagi menuju titik kumpul dengan 2 buah koin di tangannya. “Segini saja cukup buat gembel macam dia!” ujar pria itu sambil melempar 2 buah koin tersebut ke wajah Aldo.
Aldo terlihat memejamkan matanya ketika itu. Kedua tangannya terkepal erat. Ia sedang menahan emosinya yang hendak meledak. Ekspresi Aldo yang demikian justru membuat Recky semakin bersemangat membullynya.
“Apa, lo? Mau nantangin gue, lo? Huh! Hadapi gue kalau berani!” tantang Recky seraya mendorong kedua bahu bagian depan Aldo yang tidak siap menerima serangan darinya hingga mundur beberapa langkah.
Di saat yang bersamaan, ketika Aldo hampir terjatuh, dua pria bertuksido muncul entah darimana menopang tubuh pria kekar itu dari belakang sambil salah satunya bersuara, “Anda tidak apa-apa, Tuan Muda?”
Bersambung ….
Hallo ... salam kenal dari megumi. Ini buku pertamaku di GN. Semoga bisa menghibur kalian ya. Jangan lupa masukin rak untuk mendapatkan pemberitahuan update buku ini ya, minta dukungan votenya juga. Makasih kakak-kakak.
Bukan hanya Recky dan Resti yang terlihat tercengang, Aldo juga terkejut dengan kehadiran kedua pria itu. Ia segera menegakkan lagi posisinya secepat mungkin.“Sial … kenapa mereka tiba-tiba muncul?” batin Aldo sedikit panik. Tentu saja Aldo mengenal kedua pria itu, mereka adalah pengawalnya. Aldo berusaha bersikap setenang mungkin, dan dengan cepat otaknya bekerja mencari cara agar pasangan di hadapannya tidak semakin berfantasi. Sebab dia belum ingin mereka tahu yang sebenarnya tentang dia.“Ahaha ….” Ia terkekeh singkat sembari menepuk tangannya. “Ternyata kalian … lagi main drama lo berdua, keren amat udah kayak bodyguard aja penampilan kalian,” tukas Aldo kembali terbahak, membuat kedua anak buahnya itu nampak kebingungan dan saling menoleh.Dua detik kemudian, ia bahkan merangkul mereka berdua di samping kiri dan kanannya, membuat mereka semakin kebingungan. “Kalian seharusnya
Keesokan harinya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ini adalah hari besar bagi perusahan Royal Morgan, dimana perusahaan tersebut akan merayakan hari ulang tahun perusahaan mereka yang berusia ke-1 tahun di cabang kota itu. Yang paling spesial adalah, pemilik perusahaan yang selama ini tidak pernah menampakkan batang hidungnya akan hadir malam ini.Semua karyawan berlomba-lomba memberikan penampilan terbaik untuk menyambut bos mereka, terutama kaum hawa, termasuk Resti. Selain ingin mendapat perhatian, ia juga akan mendampingi Recky sebagai salah satu tamu undangan yang mewakili perusahaan Mega Murni malam ini. Robert serta Dirly, sahabat Aldo yang lainnya yang ikut berkhianat padanya dulu juga ikut hadir bersama Recky.Semua orang nampak sibuk mempersiapkan diri dengan sangat elegan, bahkan para tim seksi sibuk bagian dapur tidak ingin ketinggalan. Hanya ada satu orang yang terlihat santai saja, yakni Aldo, cleaning service baru di perusahaan tersebut yang be
*Ketika itu* “Kita putus!” tegas Aldo Eduard, seorang pria tampan dan kaya raya yang terkenal playboy. Di kejauhan, seorang perempuan bernama Dyta Natasha sedang memperhatikan interaksi pasangan itu. Ia juga mengetahui bahwa Aldo sangat suka bergonta-ganti pasangan. Dyta mengernyit tak suka melihat kejadian yang sedang terjadi. Namun dia tetap kepo. “What? Tapi, Beb … aku nggak mau putus denganmu,” tolak Resti kekasih Aldo yang baru berusia 1 minggu. “Memangnya apa salahku sampai-sampai kamu mutusin aku kayak gini?” “Aku nggak butuh alasan buat mutusin cewek,” sahut Aldo dengan santainya, lalu berbalik hendak melangkah pergi. “Kamu mau kemana, Beb? Jangan pergi, aku belum selesai bicara,” tahan Resti seraya menjangkau ujung pakaiannya. Langkah Aldo sontak terhenti. “Lepasin,” pinta Aldo dingin. “Nggak. Aku nggak mau putus denganmu, Beb. Tolong jangan putusin aku,” mohon Resti dengan sangat. Br
Matahari telah menyelesaikan tugasnya menyinari bumi hari ini. Terang telah berganti gelap, tepatnya waktu menunjukkan pukul 8 malam waktu setempat. Demikian juga dengan Aldo. Ia menggerakkan leher dan tubuhnya untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Sebagai calon CEO termuda, Aldo digadang-gadang akan menjadi billionaire di usia paling muda pula. Karirnya lumayan cemerlang saat ini karena baru-baru ini ia berhasil memenangkan 2 proyek besar untuk perusahaan tersebut. “Pi, aku duluan ya, ada janji sama temen,” pamit Aldo. “Nggak pulang rumah dulu?” “Nggak, Pi. Aldo udah mandi kok.” “Oh, OK. Jangan minum terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan,” pesan Erlan Eduard yang sudah mengetahui kebiasaan putranya itu. “Iya, Pi. Papi belum mau pulang?” “Nanti saja, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.” “Iya sudah, tapi jangan lembur terlalu malam,” nasehat Aldo balik.
“Haha … lagian lo nggak kayak biasa. Ngapain lo bentar-bentar nelepon gue coba?” Deg! Kalimat Aldo terdengar biasa, tapi justru membuat ekspresi Robert berubah tegang seketika. Aldo melengkungkan alis heran. “Kok lo jadi pucat gitu? Ada apa, Bro?” “E ….” “Tunggu, jangan bilang ….” Kalimat Aldo yang bertempo sedikit lambat membuat jantung sahabatnya itu berpacu semakin cepat. “Lo jatuh cinta sama gue?” sambung Aldo menyipit, Robert sampai terbengong mendengar asumsi tersebut namun juga terlihat lega. “Iiih, sana lo jauh-jauh dari gue.” Dorong Aldo seketika. Hal ini jelas mengundang tawa. Robert terkekeh singkat. “Yang benar aja, Bro … masa iya jeruk makan jeruk. Gue masih waras kali,” tanggap Robert kemudian. “Terus kenapa lo nelepon gue terus?” cecar Aldo. “Soal itu … gue hanya mau ngabarin lo, kita nungguin lo di dalam sini.” Akhirnya dia menemukan alasan yang tepat. “Ayo masuk, Bro!” ajaknya mengalihkan topik.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” Aldo nampak begitu kebingungan setelah menerima laporan dari Dave melalui sambungan telepon yang menyatakan bahwa dia telah menandatangani beberapa file penting mengenai pengalihan proyek ke tangan perusahaan lain. Tak hanya itu, selain goresan tangannya juga terdapat cap jarinya. Aldo nampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat hari-hari yang telah berlalu, mungkin ada yang dia lewatkan, sebuah jejak misalnya yang dapat mengungkapkan rasa penasarannya. “Tunggu … pagi itu ….” Sekian detik berpikir keras ia tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, dimana dia bangun dengan tinta biru samar pada ketiga jari kirinya, yakni pada pagi setelah malam penuh nikmat tersebut. Aldo menggeleng kasar. “Nggak mungkin, nggak mungkin mereka yang melakukan semua ini. Lagian untuk apa coba? Masa iya mereka mau menghancurkan aku?” Demikian gumamnya sembari ia menghentikan kendaraannya. Aldo barusan tiba
“Kamu tau tentang itu? Cepat katakan apa yang telah Kalian lakukan, huh?” cecar Aldo dengan nada sedikit meninggi. Dirly jadi semakin gugup saja. “Kami ….” “Kami sengaja menjebakmu malam itu,” terang Recky yang barusan tiba bersama Robert. Aldo sontak melirik ke arah mereka berdua dan beranjak dari tempat duduk. “Kalian …,” sebutnya terjeda. Nafasnya memburu seketika, ia juga menelan saliva pertanda betapa sakit yang dia rasakan saat mendengar pernyataan Recky. “Ternyata memang kalian yang melakukan semua ini, aku benar-benar nggak nyangka,” ujar Aldo lebih lanjut sambil melirik ketiga temannya bergantian. “Atas dasar apa kalian setega ini padaku? Taukah kalian kalau dampak yang terjadi sangat fatal?” Aldo meninggikan nada pada kata fatal membuat mereka semua terlonjak kaget sejenak. “Hahaha.” Recky tertawa singkat, sedangkan Robert memiringkan sudut bibir memperlihatkan senyuman sinis, dan Dirly hanya memasang wajah datar saja. Melihat ekspre
“Mau apa lo? Mau gue tambahin lagi yang di wajah lo, huh? Ayo maju!” tantang Recky. Ucapan Recky membuat Aldo semakin murka, dia mulai terpancing emosi dan hendak maju melakukan penyerangan namun segera dicegah Dave. “Tenangkan diri Anda, Tuan. “Tapi, manusia-manusia kotor seperti mereka harus diberi pelajaran, Dave.” “Justru karena mereka kotor, Anda tidak perlu mengotori tangan Anda lagi dengan menyentuh mereka semua.”Ketiga pria itu terlihat tidak suka mendengar kalimat hinaan dari Dave, Recky yang paling berapi-api. “Lo mau dihajar juga ternyata, huh?” sergahnya menghampiri Dave cepat dan sedang mengangkat kerah pria bertuksido tersebut saat ini sambil tangan kanannya sedang bergerak hendak melayangkan pukulan ke arah wajah Dave. Tap! Dave menanggkap tangan Recky saat tangan besar tersebut akan menyentuh kulitnya kurang satu inci lagi. Dave mencengkram tangan Recky dengan sangat kuat hingga pria itu mengerang kesakitan.