Matahari telah menyelesaikan tugasnya menyinari bumi hari ini. Terang telah berganti gelap, tepatnya waktu menunjukkan pukul 8 malam waktu setempat. Demikian juga dengan Aldo. Ia menggerakkan leher dan tubuhnya untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Sebagai calon CEO termuda, Aldo digadang-gadang akan menjadi billionaire di usia paling muda pula. Karirnya lumayan cemerlang saat ini karena baru-baru ini ia berhasil memenangkan 2 proyek besar untuk perusahaan tersebut.
“Pi, aku duluan ya, ada janji sama temen,” pamit Aldo.
“Nggak pulang rumah dulu?”
“Nggak, Pi. Aldo udah mandi kok.”
“Oh, OK. Jangan minum terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan,” pesan Erlan Eduard yang sudah mengetahui kebiasaan putranya itu.
“Iya, Pi. Papi belum mau pulang?”
“Nanti saja, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.”
“Iya sudah, tapi jangan lembur terlalu malam,” nasehat Aldo balik.
Erlan mengangguk.
“Aku pergi!”
“Hati-hati!”
Aldo berlalu begitu saja.
Kerlap-kerlap lampu malam berkilau bagaikan berlian menghiasi kota dengan indahnya sekaligus juga menerangi kegelapan, jalanan menjadi terang benderang bagaikan bulan purnama sedang berlangsung. Kendaraan Aldo melaju kencang turut mengambil andil meramaikan suasana ibukota. Alunan melody kesukaan menemaninya di setiap detik perjalanannya menuju tempat janji temu dengan sahabat-sahabatnya.
Aldo nampak menikmati perjalanan walaupun harus berkendara seorang diri dan sesekali harus terjebak di tengah-tengah kemacetan, ia bahkan terlalu sibuk dengan ponselnya yang terus berdering sambung-menyambut karena banyak yang menghubunginya, baik itu dari para klien maupun dari para gebetannya. Robert juga menghubunginya barusan untuk memastikan dia jadi datang ke acara pesta malam ini atau tidak.
Membutuhkan waktu 2 jam, Aldo baru tiba di tempat tujuan, ia barusan memasuki area parkiran sebuah klub yang cukup besar tempat tongkrongan langganannya bersama sahabat-sahabatnya untuk menghilangkan penat dan mencari kesenangan sesaat.
Keadaan klub ternyata lumayan padat malam ini mungkin karena weekend. Sekian menit Aldo baru mendapatkan parkiran walau sudah dipandu oleh petugas parkir. Saking banyaknya kendaraan sang petugas juga cukup sulit menemukan lahan kosong untuk mobil Aldo.
Drrrt!
Aldo merasakan getaran pada saku jaket hoodie, ia mengeluarkan benda itu segera. Ternyata Robert yang menghubunginya.
“Ini anak kenapa sih, baru jam 10 juga? Perasaan ngebet banget nggak seperti biasanya,” gumam Aldo mengerutkan dahi.
Gimana nggak heran? Robert sudah beberapa kali menghubunginya, bahkan barusan sekitar 30 menit yang lalu sahabatnya itu masih menelepon, sekarang nelepon lagi.
“Apa gue kerjain sekalian ya?” otak jahil Aldo aktif seketika.
Tit.
Ia meng-reject panggilan dari Robert, kemudian tersenyum puas. 2 detik kemudian, benda persegi di genggamannya itu kembali bergetar, ia lagi-lagi menekan icon merah pada ponsel. Kali ini ia melakukan itu sembari membuka pintu mobil.
Ting!
Bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk ke benda pipih miliknya. Setelah turun dari mobil ia baru membuka pesan tersebut, ternyata masih dari Robert. Sungguh membuat Aldo menggeleng-geleng.
“Apa dia serindu itu sama gue? Iiih.” Ia merinding ngeri membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. “Baiklah, gue kerjain sekali lagi.” Senyuman jahil kembali merekah.
‘Maafin gue, Bro. Gue kayaknya nggak jadi dateng, nyokap gue tiba-tiba nelepon suruh balik.’
Usai mengetik ia bergegas menggulir jemari ke arah lambang segitiga pada pojok kanan bawah aplikasi pecinta sejuta umat tersebut untuk mengirimkan pesannya itu. Ia juga bergegas melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan lagi ponselnya yang kembali berdendang ria hingga beberapa orang yang berpas-pasan dengannya menatap heran dirinya.
Tap … tap … tap ….
Ia menapak penuh keyakinan mengarah pada gedung klub, keramaian musik disko terdengar samar dari luar memacu semangat, Aldo sudah tak sabar ingin memasuki gedung tersebut segera. Apalagi mengingat janji Robert siang tadi, ada 5 perempuan yang akan menemani mereka malam ini.
Entah seperti apa rupanya, jujur Aldo agak bertanya-tanya. Sebelumnya mereka memang sering ke klub, tapi selalu bersama pasangan mereka masing-masing. Robert bilang menyediakan 5 wanita, Aldo berpikir sahabatnya ini akan mengenalkan 5 wanita padanya sebagai referensi calon gebetan atau kalau tidak mungkin ia hanya sekedar bercanda belaka.
Tiba di dalam klub Aldo mengedarkan pandangan menyisiri seisi klub, ia tidak menemukan siapapun yang dia cari di dalam sana. Pria menawan yang mampu membuat semua wanita jatuh hati itu mengernyit heran, sekalipun di meja tempat dimana mereka sering duduk selama ini ia tidak menemukan orang lain di sana. “Di mana mereka?” gumam Aldo sembari matanya terus bergerak mengelilingi seisi ruangan klub.
Beberapa detik kemudian, ia melihat sosok Robert sedang berdiri di depan ruang VIP, sepertinya sahabatnya ini sedang memanggilnya hanya saja dia tidak bisa mendengar karena suara musik terlalu kencang. Nyatanya Robert memang sedang melambai ke arahnya. Aldo segera menghampiri Robert.
“Huuh … gue kira lo beneran nggak dateng Bro. Reseh amat lo ngerjain gue,” omel Robert setelah Aldo tiba di hadapannya.
“Haha … lagian lo nggak kayak biasa. Ngapain lo bentar-bentar nelepon gue coba?”
Deg!
Kalimat Aldo terdengar biasa, tapi justru membuat ekspresi Robert berubah tegang seketika. Aldo melengkungkan alis heran.
“Kok lo jadi pucat gitu? Ada apa, Bro?”
“E ….”
“Tunggu, jangan bilang ….” Kalimat Aldo yang bertempo sedikit lambat membuat jantung sahabatnya itu berpacu semakin cepat.
Bersambung ….
“Haha … lagian lo nggak kayak biasa. Ngapain lo bentar-bentar nelepon gue coba?” Deg! Kalimat Aldo terdengar biasa, tapi justru membuat ekspresi Robert berubah tegang seketika. Aldo melengkungkan alis heran. “Kok lo jadi pucat gitu? Ada apa, Bro?” “E ….” “Tunggu, jangan bilang ….” Kalimat Aldo yang bertempo sedikit lambat membuat jantung sahabatnya itu berpacu semakin cepat. “Lo jatuh cinta sama gue?” sambung Aldo menyipit, Robert sampai terbengong mendengar asumsi tersebut namun juga terlihat lega. “Iiih, sana lo jauh-jauh dari gue.” Dorong Aldo seketika. Hal ini jelas mengundang tawa. Robert terkekeh singkat. “Yang benar aja, Bro … masa iya jeruk makan jeruk. Gue masih waras kali,” tanggap Robert kemudian. “Terus kenapa lo nelepon gue terus?” cecar Aldo. “Soal itu … gue hanya mau ngabarin lo, kita nungguin lo di dalam sini.” Akhirnya dia menemukan alasan yang tepat. “Ayo masuk, Bro!” ajaknya mengalihkan topik.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” Aldo nampak begitu kebingungan setelah menerima laporan dari Dave melalui sambungan telepon yang menyatakan bahwa dia telah menandatangani beberapa file penting mengenai pengalihan proyek ke tangan perusahaan lain. Tak hanya itu, selain goresan tangannya juga terdapat cap jarinya. Aldo nampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat hari-hari yang telah berlalu, mungkin ada yang dia lewatkan, sebuah jejak misalnya yang dapat mengungkapkan rasa penasarannya. “Tunggu … pagi itu ….” Sekian detik berpikir keras ia tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, dimana dia bangun dengan tinta biru samar pada ketiga jari kirinya, yakni pada pagi setelah malam penuh nikmat tersebut. Aldo menggeleng kasar. “Nggak mungkin, nggak mungkin mereka yang melakukan semua ini. Lagian untuk apa coba? Masa iya mereka mau menghancurkan aku?” Demikian gumamnya sembari ia menghentikan kendaraannya. Aldo barusan tiba
“Kamu tau tentang itu? Cepat katakan apa yang telah Kalian lakukan, huh?” cecar Aldo dengan nada sedikit meninggi. Dirly jadi semakin gugup saja. “Kami ….” “Kami sengaja menjebakmu malam itu,” terang Recky yang barusan tiba bersama Robert. Aldo sontak melirik ke arah mereka berdua dan beranjak dari tempat duduk. “Kalian …,” sebutnya terjeda. Nafasnya memburu seketika, ia juga menelan saliva pertanda betapa sakit yang dia rasakan saat mendengar pernyataan Recky. “Ternyata memang kalian yang melakukan semua ini, aku benar-benar nggak nyangka,” ujar Aldo lebih lanjut sambil melirik ketiga temannya bergantian. “Atas dasar apa kalian setega ini padaku? Taukah kalian kalau dampak yang terjadi sangat fatal?” Aldo meninggikan nada pada kata fatal membuat mereka semua terlonjak kaget sejenak. “Hahaha.” Recky tertawa singkat, sedangkan Robert memiringkan sudut bibir memperlihatkan senyuman sinis, dan Dirly hanya memasang wajah datar saja. Melihat ekspre
“Mau apa lo? Mau gue tambahin lagi yang di wajah lo, huh? Ayo maju!” tantang Recky. Ucapan Recky membuat Aldo semakin murka, dia mulai terpancing emosi dan hendak maju melakukan penyerangan namun segera dicegah Dave. “Tenangkan diri Anda, Tuan. “Tapi, manusia-manusia kotor seperti mereka harus diberi pelajaran, Dave.” “Justru karena mereka kotor, Anda tidak perlu mengotori tangan Anda lagi dengan menyentuh mereka semua.”Ketiga pria itu terlihat tidak suka mendengar kalimat hinaan dari Dave, Recky yang paling berapi-api. “Lo mau dihajar juga ternyata, huh?” sergahnya menghampiri Dave cepat dan sedang mengangkat kerah pria bertuksido tersebut saat ini sambil tangan kanannya sedang bergerak hendak melayangkan pukulan ke arah wajah Dave. Tap! Dave menanggkap tangan Recky saat tangan besar tersebut akan menyentuh kulitnya kurang satu inci lagi. Dave mencengkram tangan Recky dengan sangat kuat hingga pria itu mengerang kesakitan.
Tidak, bukan hanya itu saja. Aldo mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tempat dia berada saat itu, termasuk langit-langit. Rumah baru tersebut begitu kumuh, dan juga sangat kecil. Bahkan ukuran kamarnya dulu lebih besar dari ukuran secara keseluruhan rumah ini. Hatinya begitu sakit, matanya sampai memerah saking sakitnya yang dia rasakan. Bukan hanya perusahaan yang hancur, tapi seluruh aset telah lenyap. Rumah, mobil, semuanya disita. Sekarang mereka harus tinggal di sebuah kontrakan petak untuk memulai kehidupan yang baru. Keluarga Eduard jatuh miskin. Rasanya Aldo tidak bisa mempercayainya, sekejap saja segala hal berubah total, bagaikan mimpi buruk. “Aldo, papi harap kamu tidak menyalahkan diri sendiri. Semua ini bagian dari takdir.” Demikianlah kalimat Erlan yang selalu bijak. Aldo merasa bangga pada ayahnya itu, hanya saja pada saat itu ia tentu tidak sependapat dengan papinya. “Tidak, Pi. Semua ini memang salahku. Aldo yang udah menyebabkan s
Setelah kejadian yang menimpa keluarga Eduard, pastinya sangat berpengaruh pada kehidupan Aldo. Semuanya berubah, terlebih di dunia kampus. Aldo yang dulunya selalu disegani, orang-orang banyak justru mulai menghinanya. Bahkan di hari pertama dia kembali ke kampus, orang pertama yang mencari masalah dengannya tentu saja Recky dan gengnya. Aldo barusan tiba di kampus. Recky, Robert serta Dirly sudah menghampirinya. Sejujurnya Aldo sangat ingin menghajar orang-orang itu, akan tetapi ia teringat pada pesan Atika dan Erlan, bahkan Dave juga ikut menasehatinya saat perjalanan menuju kampus, supaya ia lebih baik menahan diri. Aldo pun memilik menyingkir dengan mengambil langkah agak menyamping. Namun mereka itu justru menghalangi langkahnya. Mereka juga terbahak melihat Aldo yang sedikit pincang. Tepatnya, Robert dan Recky yang menertawakannya. Sementara Dirly tiba-tiba pamit barusan. Entahlah, dia tidak ingin melibatkan diri untuk membully Aldo. “Lihat, ternyata d
Di kejauhan sana, Robert kembali bangkit. Aldo tentu mengetahui, tapi dia berpura-pura tidak tahu. Pria itu sedang berlari cepat ke arah mereka, sekali lagi Robert hendak menyerang melalui samping. Ia nampaknya sudah menyiapkan strategi lain dengan gerakan yang berbeda, mungkin untuk mewaspadai jika Aldo akan menghalau serangannya seperti awal tadi. Robert cukup antusias, mengira keberhasilannya mengalahkan Aldo bisa mencapai 90 persen karena Aldo nampak lengah baginya. Namun, ketika ia hampir tiba di hadapannya, Aldo tiba-tiba memutar posisi mengejutkan dia, Aldo menjadikan Recky sebagai tameng. Ia mendorong tubuh Recky kuat hingga tubuhnya mundur cepat bertabrakan dengan Robert yang tak mungkin bisa menghindar lagi. Tabrakan yang cukup kuat terjadi seketika, menyebabkan kedua pria tersebut terjatuh saling menimpa. Ringisan serta erangan terdengar dari mulut mereka. Usai melakukan semua itu, Aldo mengibas-ngibas pakaiannya seakan sedang membersihkan kotoran
“Makasih, Dave udah bebasin aku dari hukuman,” ucap Aldo tersenyum tipis. “Maaf udah merepotkan kalian.” Ia, Dave, dan Erlan sedang berada di dalam mobil saat ini. Mereka dalam perjalanan pulang dari kantor polisi menuju rumah. “Berjanjilah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, Aldo.” Erlan menanggapi. “Iya, Pi. Maafin Aldo udah membuat Papi kecewa,” lirih Aldo. “Nggak perlu dipikirkan lagi soal itu. Yang terpenting papi harap kamu bisa lebih menahan diri setelah ini.” Aldo mengangguk lemah, ia lalu beralih pada Dave. “Sekali lagi, makasih Dave udah mengurus semua ini untukku. Entah dengan apa aku harus membayar budimu.” “Jangan berkata begitu, Tuan. Ini bukan apa-apa. Lagian, sebenarnya bukan saya yang menolong Anda,” sahut Dave yang membuat Aldo meliriknya seketika. “Maksudmu? Bukan kamu yang bebasin aku, lalu siapa?” berondong Aldo. “Hmm ….” Dave melirik Erlan, mantan big bosnya itu menatapnya penuh arti. “M-ma