*Ketika itu*
“Kita putus!” tegas Aldo Eduard, seorang pria tampan dan kaya raya yang terkenal playboy.
Di kejauhan, seorang perempuan bernama Dyta Natasha sedang memperhatikan interaksi pasangan itu. Ia juga mengetahui bahwa Aldo sangat suka bergonta-ganti pasangan. Dyta mengernyit tak suka melihat kejadian yang sedang terjadi. Namun dia tetap kepo.
“What? Tapi, Beb … aku nggak mau putus denganmu,” tolak Resti kekasih Aldo yang baru berusia 1 minggu. “Memangnya apa salahku sampai-sampai kamu mutusin aku kayak gini?”
“Aku nggak butuh alasan buat mutusin cewek,” sahut Aldo dengan santainya, lalu berbalik hendak melangkah pergi.
“Kamu mau kemana, Beb? Jangan pergi, aku belum selesai bicara,” tahan Resti seraya menjangkau ujung pakaiannya. Langkah Aldo sontak terhenti.
“Lepasin,” pinta Aldo dingin.
“Nggak. Aku nggak mau putus denganmu, Beb. Tolong jangan putusin aku,” mohon Resti dengan sangat.
Brug!
Ia bahkan bersujud di hadapan Aldo. Pemandangan ini begitu menarik bagi Dyta. Ia merasa Resti begitu bodoh. Ingin sekali ia segera menghampiri pasangan itu dan menyadarkan dia.
Lalu apakah Aldo tersentuh dengan apa yang dilakukan Resti? Tentu tidak, ia sama sekali tak memedulikannya. Lagian hal begini sudah biasa dia alami. Ia kembali berbalik hendak pergi. Akan tetapi Resti tetap menahannya. Aldo pun mulai murka.
“Bangsat! Lo sungguh mau mancing emosi gue huh?” umpat Aldo seketika seraya mengangkat tangannya seperti hendak melayangkan tamparan pada Resti. Di kejauhan sana Dyta langsung bersuara mengalihkan perhatiannya.
“Pria macam apa yang suka main tangan sama cewek?!”
Aldo reflek menoleh padanya, 3 detik kemudian, Dyta telah berdiri tepat di hadapannya.
“Lo lagi … lo lagi,” sebut Aldo geram. “Kenapa sih lo suka banget ikut campur urusan gue, huh? Mau gue gampar juga?!”
Di kampus ini nama Dyta juga cukup terkenal tapi dengan keburukannya sebagai salah satu mahasiswi paling miskin yang masuk ke kampus ini melalui jalur khusus. Dan satu lagi, sangat suka mengurus urusan orang lain di mata Aldo.
“Tampar kalau berani!” tantang Dyta sambil membusungkan dada.
“Wow, jadi lo nantangin gue?” Aldo telah memutar tubuhnya menghadap Dyta sekarang.
“Iya, ayo tampar! Beraninnya hanya sama perempuan. Apa kau pikir kau hebat? Cih!” cibir Dyta.
Aldo tentu semakin geram, ingin sekali ia memberi pelajaran pada Dyta segera. Namun, jiwanya justru menuntut dia untuk merenungkan kalimat perempuan itu.
“Sialan … aku memang akan dicap sebagai seorang pecundang kalau menyentuh dia.” batin Aldo.
Sejenak ia menatap tajam Dyta dalam kekalahan, sambil otaknya bekerja keras mencari cara lain menaklukan perempuan kecil di hadapannya.
“Oh, gue sampai lupa …,” ucapnya tiba-tiba. Ia lalu mendekatkan diri di depan wajah Dyta. “Orang miskin kayak lo memang nggak pernah diajarin sopan santun sama orang tua lo, iya kan? Makanya lo suka banget ikut campur urusan orang. Dasar miskin!” hinanya.
“Kau ….” Dyta jelas tak menyukai kalimat Aldo yang membawa-bawa nama orang tuanya.
Aldo tersenyum puas berhasil membuat kesal Dyta. “Emang bener kan?” tekannya.
Merasa semakin puas berhasil membuat wajah Dyta memerah padam, Aldo pun berniat pergi. “Ingat ya, sekali lagi lo berani ikut campur urusan gue, kelar hidup lo!” ancamnya sebelum benar-benar berbalik.
“Beb … jangan pergi!” Sementara Resti yang sedari tadi diam bergegas menahan kepergian Aldo.
“Atau lo juga mau ikutan gue hancurin?!” ancam Aldo pada Resti.
Resti pun terdiam membiarkan Aldo pergi.
“Puas kamu udah mengacaukan semuanya, huh?!” Resti menyergah Dyta saat sosok Aldo lenyap dari jangkauan matanya. Dyta sampai menaikan alis.
“Aku udah nolongin, bukankah seharusnya kamu berterima kasih sama aku?” sahut Dyta santai saja.
“Berterima kasih katamu? Heh … kamu kira kamu siapa sampai aku harus berterima kasih padamu? Levelku jelas lebih tinggi kali darimu. Minggir!” titah Resti sambil berlalu. Ia menabrak lengan Dyta dengan sangat kuat saat melewatinya.
Dyta menatap kepergian Resti dengan tatapan dongkol. Ia sudah berbuat baik tapi justru mendapatkan perlakuan seperti ini tentu saja tidak setimpal rasanya. Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan perempuan itu, dalam hal ini dia juga salah karena sangat suka ikut campur urusan orang lain. Seharusnya dia cukup diam, sialnya dia tidak bisa melihat orang lemah ditindas di depan matanya.
***
Kelas telah berakhir, para mahasiswa dan mahasiswi berhambur menyerbu gerbang kampus saling berebutan keluar dari area kampus termasuk Dyta. Ia sedang jalan bareng sahabatnya, Cecep. Satu-satunya sahabat terbaiknya di kampus ini karena mereka berasal dari kalangan yang sama.
“Gimana, Cep ... pelajaran hari ini? Aku bingung banget sama penjelasan Pak Garen. Kamu ngerti nggak sih? Jelasin ke aku dong,” cecar Dyta membahas perihal mata kuliah terakhir mereka barusan.
“Ah kamu Dyt, kita barusan balik kali … bisa nggak sih jangan bahas soal mata kuliah lagi. Mending kita bahas mau makan di mana sekarang, aku laper banget nih.”
“Ish, dasar kamu kerjaannya makan mulu.”
Di saat kedua sahabat ini sedang asyik bercengkrama sebuah mobil mewah di belakang mereka tiba-tiba melewati mereka.
Wusssh!
Mobil tersebut juga mencipratkan genangan air sehabis hujan tadi mengenai mereka berdua. Dyta dan Cecep sontak melirik ke arah mobil itu bersamaan, mereka jelas mengenal mobil tersebut, itu adalah mobil Aldo. Mereka bahkan bisa melihat pria yang dengan sengaja menurunkan kaca mobilnya.
“Sialan, mentang-mentang mereka kaya mereka selalu memperlakukan kita seperti sampah,” gumam Cecep pelan.
Sementara Dyta tak berkomentar apapun. Ia hanya merutuki Aldo di dalam hati, terutama mengenai perempuan di samping Aldo saat itu. Ia melihat Aldo bersama seorang perempuan di dalam mobil, dan perempuan itu jelas bukan Resti.
“Dasar playboy cap kapak. Aku heran kenapa cewek-cewek itu mau pacaran sama pria seperti dia. Apa bagusnya coba?”
***
Tuit tuit.
Aldo barusan tiba di kantor, ia masih berada di lobby saat ini. Ia tidak langsung pulang ke rumah karena asistennya memintanya datang segera, ada agenda bertemu klien siang ini. Bersamaan dengan itu gawainya juga berdering ria. Aldo terlihat merogoh saku jaket hoodie mengambil benda persegi itu.
Ia menatap layar yang menyala, senyuman perlahan mengembang saat membaca deretan huruf pada layar tersebut. Ia segera menggerakkan jemari menggulir icon hijau kemudian menjepit benda pipih tersebut pada telinganya.
“Gimana? Jadi party malam ini?” sambutnya.
“Jadi dong, Bro. Nanti malam kita ngumpul di tempat biasa. Ada 5 ikan di sana, Lo pasti puas dah pokoknya,” sahut Robert, salah satu sahabat Aldo.
“Serius? Haha … bening kagak nih?”
“Jelas dong, premium punya, Bro. Gue jamin Lo nggak bakal nyesel.”
“Anjay … haha. Jadi nggak sabaran nunggu malam.”
“Makanya, Lo jangan sampai nggak datang malam ini.”
“Pasti, Bro … gue datang. Ya sudah ya, gue ada meeting nih. Sampai jumpa nanti malam,” putus Aldo.Setelahnya ia melangkah penuh semangat memasuki gedung pencakar langit di hadapannya. Aldo sama sekali tidak menaruh curiga, sesungguhnya para sahabatnya itu sedang merencanakan sesuatu yang sangat jahat terhadapnya.
Bersambung ….
Matahari telah menyelesaikan tugasnya menyinari bumi hari ini. Terang telah berganti gelap, tepatnya waktu menunjukkan pukul 8 malam waktu setempat. Demikian juga dengan Aldo. Ia menggerakkan leher dan tubuhnya untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Sebagai calon CEO termuda, Aldo digadang-gadang akan menjadi billionaire di usia paling muda pula. Karirnya lumayan cemerlang saat ini karena baru-baru ini ia berhasil memenangkan 2 proyek besar untuk perusahaan tersebut. “Pi, aku duluan ya, ada janji sama temen,” pamit Aldo. “Nggak pulang rumah dulu?” “Nggak, Pi. Aldo udah mandi kok.” “Oh, OK. Jangan minum terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan,” pesan Erlan Eduard yang sudah mengetahui kebiasaan putranya itu. “Iya, Pi. Papi belum mau pulang?” “Nanti saja, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.” “Iya sudah, tapi jangan lembur terlalu malam,” nasehat Aldo balik.
“Haha … lagian lo nggak kayak biasa. Ngapain lo bentar-bentar nelepon gue coba?” Deg! Kalimat Aldo terdengar biasa, tapi justru membuat ekspresi Robert berubah tegang seketika. Aldo melengkungkan alis heran. “Kok lo jadi pucat gitu? Ada apa, Bro?” “E ….” “Tunggu, jangan bilang ….” Kalimat Aldo yang bertempo sedikit lambat membuat jantung sahabatnya itu berpacu semakin cepat. “Lo jatuh cinta sama gue?” sambung Aldo menyipit, Robert sampai terbengong mendengar asumsi tersebut namun juga terlihat lega. “Iiih, sana lo jauh-jauh dari gue.” Dorong Aldo seketika. Hal ini jelas mengundang tawa. Robert terkekeh singkat. “Yang benar aja, Bro … masa iya jeruk makan jeruk. Gue masih waras kali,” tanggap Robert kemudian. “Terus kenapa lo nelepon gue terus?” cecar Aldo. “Soal itu … gue hanya mau ngabarin lo, kita nungguin lo di dalam sini.” Akhirnya dia menemukan alasan yang tepat. “Ayo masuk, Bro!” ajaknya mengalihkan topik.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” Aldo nampak begitu kebingungan setelah menerima laporan dari Dave melalui sambungan telepon yang menyatakan bahwa dia telah menandatangani beberapa file penting mengenai pengalihan proyek ke tangan perusahaan lain. Tak hanya itu, selain goresan tangannya juga terdapat cap jarinya. Aldo nampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat hari-hari yang telah berlalu, mungkin ada yang dia lewatkan, sebuah jejak misalnya yang dapat mengungkapkan rasa penasarannya. “Tunggu … pagi itu ….” Sekian detik berpikir keras ia tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, dimana dia bangun dengan tinta biru samar pada ketiga jari kirinya, yakni pada pagi setelah malam penuh nikmat tersebut. Aldo menggeleng kasar. “Nggak mungkin, nggak mungkin mereka yang melakukan semua ini. Lagian untuk apa coba? Masa iya mereka mau menghancurkan aku?” Demikian gumamnya sembari ia menghentikan kendaraannya. Aldo barusan tiba
“Kamu tau tentang itu? Cepat katakan apa yang telah Kalian lakukan, huh?” cecar Aldo dengan nada sedikit meninggi. Dirly jadi semakin gugup saja. “Kami ….” “Kami sengaja menjebakmu malam itu,” terang Recky yang barusan tiba bersama Robert. Aldo sontak melirik ke arah mereka berdua dan beranjak dari tempat duduk. “Kalian …,” sebutnya terjeda. Nafasnya memburu seketika, ia juga menelan saliva pertanda betapa sakit yang dia rasakan saat mendengar pernyataan Recky. “Ternyata memang kalian yang melakukan semua ini, aku benar-benar nggak nyangka,” ujar Aldo lebih lanjut sambil melirik ketiga temannya bergantian. “Atas dasar apa kalian setega ini padaku? Taukah kalian kalau dampak yang terjadi sangat fatal?” Aldo meninggikan nada pada kata fatal membuat mereka semua terlonjak kaget sejenak. “Hahaha.” Recky tertawa singkat, sedangkan Robert memiringkan sudut bibir memperlihatkan senyuman sinis, dan Dirly hanya memasang wajah datar saja. Melihat ekspre
“Mau apa lo? Mau gue tambahin lagi yang di wajah lo, huh? Ayo maju!” tantang Recky. Ucapan Recky membuat Aldo semakin murka, dia mulai terpancing emosi dan hendak maju melakukan penyerangan namun segera dicegah Dave. “Tenangkan diri Anda, Tuan. “Tapi, manusia-manusia kotor seperti mereka harus diberi pelajaran, Dave.” “Justru karena mereka kotor, Anda tidak perlu mengotori tangan Anda lagi dengan menyentuh mereka semua.”Ketiga pria itu terlihat tidak suka mendengar kalimat hinaan dari Dave, Recky yang paling berapi-api. “Lo mau dihajar juga ternyata, huh?” sergahnya menghampiri Dave cepat dan sedang mengangkat kerah pria bertuksido tersebut saat ini sambil tangan kanannya sedang bergerak hendak melayangkan pukulan ke arah wajah Dave. Tap! Dave menanggkap tangan Recky saat tangan besar tersebut akan menyentuh kulitnya kurang satu inci lagi. Dave mencengkram tangan Recky dengan sangat kuat hingga pria itu mengerang kesakitan.
Tidak, bukan hanya itu saja. Aldo mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tempat dia berada saat itu, termasuk langit-langit. Rumah baru tersebut begitu kumuh, dan juga sangat kecil. Bahkan ukuran kamarnya dulu lebih besar dari ukuran secara keseluruhan rumah ini. Hatinya begitu sakit, matanya sampai memerah saking sakitnya yang dia rasakan. Bukan hanya perusahaan yang hancur, tapi seluruh aset telah lenyap. Rumah, mobil, semuanya disita. Sekarang mereka harus tinggal di sebuah kontrakan petak untuk memulai kehidupan yang baru. Keluarga Eduard jatuh miskin. Rasanya Aldo tidak bisa mempercayainya, sekejap saja segala hal berubah total, bagaikan mimpi buruk. “Aldo, papi harap kamu tidak menyalahkan diri sendiri. Semua ini bagian dari takdir.” Demikianlah kalimat Erlan yang selalu bijak. Aldo merasa bangga pada ayahnya itu, hanya saja pada saat itu ia tentu tidak sependapat dengan papinya. “Tidak, Pi. Semua ini memang salahku. Aldo yang udah menyebabkan s
Setelah kejadian yang menimpa keluarga Eduard, pastinya sangat berpengaruh pada kehidupan Aldo. Semuanya berubah, terlebih di dunia kampus. Aldo yang dulunya selalu disegani, orang-orang banyak justru mulai menghinanya. Bahkan di hari pertama dia kembali ke kampus, orang pertama yang mencari masalah dengannya tentu saja Recky dan gengnya. Aldo barusan tiba di kampus. Recky, Robert serta Dirly sudah menghampirinya. Sejujurnya Aldo sangat ingin menghajar orang-orang itu, akan tetapi ia teringat pada pesan Atika dan Erlan, bahkan Dave juga ikut menasehatinya saat perjalanan menuju kampus, supaya ia lebih baik menahan diri. Aldo pun memilik menyingkir dengan mengambil langkah agak menyamping. Namun mereka itu justru menghalangi langkahnya. Mereka juga terbahak melihat Aldo yang sedikit pincang. Tepatnya, Robert dan Recky yang menertawakannya. Sementara Dirly tiba-tiba pamit barusan. Entahlah, dia tidak ingin melibatkan diri untuk membully Aldo. “Lihat, ternyata d
Di kejauhan sana, Robert kembali bangkit. Aldo tentu mengetahui, tapi dia berpura-pura tidak tahu. Pria itu sedang berlari cepat ke arah mereka, sekali lagi Robert hendak menyerang melalui samping. Ia nampaknya sudah menyiapkan strategi lain dengan gerakan yang berbeda, mungkin untuk mewaspadai jika Aldo akan menghalau serangannya seperti awal tadi. Robert cukup antusias, mengira keberhasilannya mengalahkan Aldo bisa mencapai 90 persen karena Aldo nampak lengah baginya. Namun, ketika ia hampir tiba di hadapannya, Aldo tiba-tiba memutar posisi mengejutkan dia, Aldo menjadikan Recky sebagai tameng. Ia mendorong tubuh Recky kuat hingga tubuhnya mundur cepat bertabrakan dengan Robert yang tak mungkin bisa menghindar lagi. Tabrakan yang cukup kuat terjadi seketika, menyebabkan kedua pria tersebut terjatuh saling menimpa. Ringisan serta erangan terdengar dari mulut mereka. Usai melakukan semua itu, Aldo mengibas-ngibas pakaiannya seakan sedang membersihkan kotoran