Sarah tertegun. Sial. Wanita itu mengutuk dirinya dalam hati. Ia kelepasan bicara dan kini baik Frank maupun Adrian menatapnya meminta penjelasan.“Mmm sebenarnya, waktu aku ke luar kota ... aku sempat dirawat di rumah sakit karena sakit perut.” Sarah akhirnya harus berbohong.Pelan-pelan, Sarah mengembuskan napas lega saat Frank terlihat percaya. Ia lalu berusaha mengalihkan perbincangan.“Papa, kalau aku mau menjual emas batangan, bagaimana?”“Untuk apa, Nak? Kamu butuh uang banyak?”“Rencananya Sarah mau melanjutkan kuliah dan membuka bisnis, Pa.”Mata Frank berbinar mendengar rencana menantunya. “Kamu mau melanjutkan sekolah S2?”Sarah mengangguk. “Sebenarnya Sarah sudah pernah mendaftar, tetapi saat itu Ayah sakit, jadi Sarah tunda dulu.”Frank mengangguk mengerti. Ia meminta Adrian mengurus pembelian emas batangan yang dimiliki Sarah saat ini. Asisten cekatan itu langsung mengangguk mengerti.“Memangnya kamu mau melanjutkan kuliah di mana, Nak?”“Rencananya setelah bercerai, Sar
Selembar tisu terjulur ke arah Sarah. Setelah mengusir Sarah dari kamar utama, wanita itu langsung berpamitan pada Frank yang hanya bisa tersenyum prihatin.Sarah mengambil tisu dari tangan Adrian. Asisten pribadi Frank itu mendapat kode dari Bos-nya untuk menemani Sarah. Dan kini mereka sedang berada di mobil.Kadang, Sarah bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagaimana reaksi Lucy jika tau ternyata ia yanng mendonorkan ginjal untuk suaminya?Lalu, Sarah menggeleng. Ia mendonasikan ginjal untuk Frank bukan untuk mencari simpati. Murni karena ia menyayangi Frank sebagai sahabat Ayahnya yang memang selalu baik pada keluarganya.“Om turut prihatin pada semua yang diucapkan Nyonya Lucy padamu.” Adrian kembali menjulurkan tisu pada Sarah.Sarah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sambil menghela napas panjang, ia berkata. “Apa Om percaya bahwa aku adalah wanita pembawa sial?”“Tidak.”“Kenapa tidak?” Sarah terisak pelan lalu melanjutkan. “Setelah melahirkan aku, Ibu jadi sakit-sakitan hi
Tak disangka ternyata Marc pulang tepat waktu. Saat itu, Sarah malah masih bekerja di ruang kerja.“Belum selesai?” Marc masuk ke ruang kerja tanpa mengetuk pintu.“Maaf. Lima belas menit lagi selesai.” Sarah berkata dengan mata tetap pada layar laptop.Marc berjalan ke pojok ruangan. Ia mengangkat sebuah lukisan di dinding. Di balik lukisan itu ternyata ada sebuah brankas besar.Sarah tidak memperhatikan lagi karena bosnya melakukan panggilan videocall. Suara laki-laki dari laptop membuat Marc menoleh.“Kerjamu bagus, Sarah. Mungkin minggu depan kita harus bertemu untuk project selanjutnya. Bagaimana?” Laki-laki itu berkata sesuatu yang membuat Marc mengerutkan dahi.“Selama pertemuan dilakukan di kota ini, saya bersedia, Tuan. Maaf, saya belum bisa pergi jauh.” Sarah menyahut santun.Lima menit, Marc mendengar pembicaraan tersebut. Semuanya memang tentang pekerjaan yang dilakukan Sarah. Namun begitu, Marc merasa hatinya kesal.Saat Sarah selesai, Marc dengan kasar meletakkan sebuah
“Arrggghhhh!”“Praanggg!”“Marsha! Apa-apaan kamu ini!”Tinna melotot pada putrinya yang sedang mengamuk. Isi apartemen mereka berantakan.Sambil menjatuhkan bokongnya di sofa, Marsha memberengut. Ia mengamati Ibunya yang membereskan benda-benda di lantai.“Setelah laptop mahal, sekarang Marc membelikan wanita pembawa sial itu mobil mewah. Bagaimana aku tidak kesal?!”Memdengar pernyataan putrinya, Tinna menghentikan aktifitasnya beres-beres. Ia menoleh dan menatap Marsha.“Sarah dibelikan mobil mewah oleh Marc?” ulangnya dengan nada tak percaya.Marsha tidak menjawab. Ia kembali melempar benda-benda yang berada di dekatnya.“Sudah! Hentikan!” Kemarahanmu tidak akan menyelesaikan masalah.” Tinna berucap nada tinggi.“Huhuhu.” Marsha menangis kesal. “Percuma rasanya pengorbananku.”“Tidak. Semua tidak sia-sia. Kita sekarang lebih dekat dengan keluarga kaya raya itu. Bahkan Lucy sangat mempercayai kita.” Tinna menyangkal pernyataan Marsha.“Tapi, tidak dengan Marc. Ia tetap datar padaku
Demi nama baik keluarga. Kalimat itu terus terngiang di telinga Sarah. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk aktif sebagai istri seorang pebisnis yang terkenal.Dengan bantuan Adrian, Sarah tau kapan Marc mendapat undangan untuk hadir pada pesta-pesta ataupun pertemuan formal. Tidak mau kesempatan itu digunakan Marsha, Sarah mencatat tanggal di mana ia bisa menemani Marc pergi ke berbagai pertemuan dengan para pebisnis.“Minggu depan, Bosku akan datang. Kami ada rapat bersama mengenai sistem informasi yang baru di perusahaan.” Sarah membuka pembicaraan dengan Marc saat mereka makan malam.“Ok.” Marc menjawab singkat.“Bagaimana keadaan Papa hari ini?”“Papa sudah bisa bekerja.”“Syukurlah.”Sarah menghela napas. Sulit sekali bicara dengan manusia kutub yang sialnya adalah suaminya sendiri.Malas berbasa-basi lagi, Sarah hanya menikmati makan malamnya tanpa membuka perbincangan lain.Tak lama mereka selesai makan, telepon Marc berdering. Lelaki itu mengangkat teleponnya dan bicara irit s
Terhuyung Marc berhasil kembali ke rumah. Saat melihat Marsha tanpa busana, gairahnya memang bangkit. Namun entah kenapa ia sadar, Marsha sedang sakit dan memilih berlari keluar.Sampai di kamar, Marc segera melepas pakaian dan masuk ke kamar mandi. Lelaki itu berdiri sambil mendesah di bawah pancuran air dingin.Tak berhasil, Marc mengisi bathtub. Ia merendam dirinya dengan napas memburu cepat. Saat sedang berusaha mengendalikan diri, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk.“Marc? Kamu di dalam? Ada apa? Kamu sakit?”Marc memejamkan mata. Itu suara Sarah. Seketika tubuhnya menegang kembali.“Sial!” Marc mengumpat lalu bangkit dari bathtub.Sarah menoleh saat Marc keluar. Lelaki itu menghampirinya dan tanpa aba-aba menariknya ke ranjang serta mengukungnya.“Marc!” Sarah memberontak.Tentu saja tenaga Marc lebih besar. Tangan Sarah dicekal ke atas dengan satu tangan sementara tangan lainnya membuka pakaian Sarah.Yang Marc dengar saat itu bukanlah rintihan melainkan desahan yang membuatny
Marc tersentak mendengar ucapan ketus Sarah. Biasanya istrinya selalu berkata lembut dan pasrah pada setiap keputusannya. Namun kali ini, Sarah menunjukkan sikap yang bertolak belakang.“Aku juga sedang malas melihatmu.” Setelah berkata demikian, Sarah pergi meninggalkan Marc sendiri di ruang makan.Dengan hati masih membara, Sarah pergi ke ruang kerja. Ia mengambil laptopnya dan mencari tempat agar ia bisa bekerja dengan tenang.Ruang perpustakaan akhirnya menjadi pilihan Sarah. Ia belum pernah masuk ke ruangan ini sebelumnya. Netranya mengamati sekeliling.Salah satu dinding terpajang berbagai pigura penghargaan milik Marc. Sarah mendengus saat membaca semua keterangan di pigura.“Tidak ada penghargaan budi pekerti. Pantas saja prilakunya minus!” desis Sarah dengan mulut mengerucut.Setelah berkelililng sejenak melihat-lihat koleksi buku Marc, Sarah duduk dan mulai membuka laptopnya. Ia membuka aplikasi pesan setelah melihat ada notifikasi.Pesan dari Marc yang mengatakan ia akan be
Marc berdiri di depan sebuah pintu. Ia telah menekan bel, namun seseorang di dalam belum membukakan pintu.Dengan tak sabar, Marc kembali menekan bel berkali-kali. Hingga akhirnya, pinytu mengayun terbuka. Seorang wanita yang masih memakai piyama panjang tertegun.“Marc?”Tanpa dipersilahkan, Marc menerobos masuk. Lelaki itu kini terkaget melihat keadaan apartemen yang cukup berantakan.Baju-baju berantakan di sofa dan meja. Beberapa sepatu di lantai tak tertata. Belum lagi piring dan gelas kotor di ruang makan.Marc juga tampak tercengang melihat Marsha yang sedang berdiri di balkon sambil merokok. Segelas kopi tampak di meja balkon. Sementara Marsha sedang memunggunginya sambil bermain ponsel.“Marc! Maaf, Marsha masih kurang sehat!" Ibu Tinna berteriak kencang membuat Marsha tertegun sejenak.Dengan cepat, Marsha mematikan rokoknya. Memasang wajah lesu dan membalik tubuh.“Marc? Ka – Kamu kesini?” Marsha berucap dengan terbata.Lelaki itu mengacungkan secarik kertas ke atas. Ia men