Tak disangka ternyata Marc pulang tepat waktu. Saat itu, Sarah malah masih bekerja di ruang kerja.“Belum selesai?” Marc masuk ke ruang kerja tanpa mengetuk pintu.“Maaf. Lima belas menit lagi selesai.” Sarah berkata dengan mata tetap pada layar laptop.Marc berjalan ke pojok ruangan. Ia mengangkat sebuah lukisan di dinding. Di balik lukisan itu ternyata ada sebuah brankas besar.Sarah tidak memperhatikan lagi karena bosnya melakukan panggilan videocall. Suara laki-laki dari laptop membuat Marc menoleh.“Kerjamu bagus, Sarah. Mungkin minggu depan kita harus bertemu untuk project selanjutnya. Bagaimana?” Laki-laki itu berkata sesuatu yang membuat Marc mengerutkan dahi.“Selama pertemuan dilakukan di kota ini, saya bersedia, Tuan. Maaf, saya belum bisa pergi jauh.” Sarah menyahut santun.Lima menit, Marc mendengar pembicaraan tersebut. Semuanya memang tentang pekerjaan yang dilakukan Sarah. Namun begitu, Marc merasa hatinya kesal.Saat Sarah selesai, Marc dengan kasar meletakkan sebuah
“Arrggghhhh!”“Praanggg!”“Marsha! Apa-apaan kamu ini!”Tinna melotot pada putrinya yang sedang mengamuk. Isi apartemen mereka berantakan.Sambil menjatuhkan bokongnya di sofa, Marsha memberengut. Ia mengamati Ibunya yang membereskan benda-benda di lantai.“Setelah laptop mahal, sekarang Marc membelikan wanita pembawa sial itu mobil mewah. Bagaimana aku tidak kesal?!”Memdengar pernyataan putrinya, Tinna menghentikan aktifitasnya beres-beres. Ia menoleh dan menatap Marsha.“Sarah dibelikan mobil mewah oleh Marc?” ulangnya dengan nada tak percaya.Marsha tidak menjawab. Ia kembali melempar benda-benda yang berada di dekatnya.“Sudah! Hentikan!” Kemarahanmu tidak akan menyelesaikan masalah.” Tinna berucap nada tinggi.“Huhuhu.” Marsha menangis kesal. “Percuma rasanya pengorbananku.”“Tidak. Semua tidak sia-sia. Kita sekarang lebih dekat dengan keluarga kaya raya itu. Bahkan Lucy sangat mempercayai kita.” Tinna menyangkal pernyataan Marsha.“Tapi, tidak dengan Marc. Ia tetap datar padaku
Demi nama baik keluarga. Kalimat itu terus terngiang di telinga Sarah. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk aktif sebagai istri seorang pebisnis yang terkenal.Dengan bantuan Adrian, Sarah tau kapan Marc mendapat undangan untuk hadir pada pesta-pesta ataupun pertemuan formal. Tidak mau kesempatan itu digunakan Marsha, Sarah mencatat tanggal di mana ia bisa menemani Marc pergi ke berbagai pertemuan dengan para pebisnis.“Minggu depan, Bosku akan datang. Kami ada rapat bersama mengenai sistem informasi yang baru di perusahaan.” Sarah membuka pembicaraan dengan Marc saat mereka makan malam.“Ok.” Marc menjawab singkat.“Bagaimana keadaan Papa hari ini?”“Papa sudah bisa bekerja.”“Syukurlah.”Sarah menghela napas. Sulit sekali bicara dengan manusia kutub yang sialnya adalah suaminya sendiri.Malas berbasa-basi lagi, Sarah hanya menikmati makan malamnya tanpa membuka perbincangan lain.Tak lama mereka selesai makan, telepon Marc berdering. Lelaki itu mengangkat teleponnya dan bicara irit s
Terhuyung Marc berhasil kembali ke rumah. Saat melihat Marsha tanpa busana, gairahnya memang bangkit. Namun entah kenapa ia sadar, Marsha sedang sakit dan memilih berlari keluar.Sampai di kamar, Marc segera melepas pakaian dan masuk ke kamar mandi. Lelaki itu berdiri sambil mendesah di bawah pancuran air dingin.Tak berhasil, Marc mengisi bathtub. Ia merendam dirinya dengan napas memburu cepat. Saat sedang berusaha mengendalikan diri, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk.“Marc? Kamu di dalam? Ada apa? Kamu sakit?”Marc memejamkan mata. Itu suara Sarah. Seketika tubuhnya menegang kembali.“Sial!” Marc mengumpat lalu bangkit dari bathtub.Sarah menoleh saat Marc keluar. Lelaki itu menghampirinya dan tanpa aba-aba menariknya ke ranjang serta mengukungnya.“Marc!” Sarah memberontak.Tentu saja tenaga Marc lebih besar. Tangan Sarah dicekal ke atas dengan satu tangan sementara tangan lainnya membuka pakaian Sarah.Yang Marc dengar saat itu bukanlah rintihan melainkan desahan yang membuatny
Marc tersentak mendengar ucapan ketus Sarah. Biasanya istrinya selalu berkata lembut dan pasrah pada setiap keputusannya. Namun kali ini, Sarah menunjukkan sikap yang bertolak belakang.“Aku juga sedang malas melihatmu.” Setelah berkata demikian, Sarah pergi meninggalkan Marc sendiri di ruang makan.Dengan hati masih membara, Sarah pergi ke ruang kerja. Ia mengambil laptopnya dan mencari tempat agar ia bisa bekerja dengan tenang.Ruang perpustakaan akhirnya menjadi pilihan Sarah. Ia belum pernah masuk ke ruangan ini sebelumnya. Netranya mengamati sekeliling.Salah satu dinding terpajang berbagai pigura penghargaan milik Marc. Sarah mendengus saat membaca semua keterangan di pigura.“Tidak ada penghargaan budi pekerti. Pantas saja prilakunya minus!” desis Sarah dengan mulut mengerucut.Setelah berkelililng sejenak melihat-lihat koleksi buku Marc, Sarah duduk dan mulai membuka laptopnya. Ia membuka aplikasi pesan setelah melihat ada notifikasi.Pesan dari Marc yang mengatakan ia akan be
Marc berdiri di depan sebuah pintu. Ia telah menekan bel, namun seseorang di dalam belum membukakan pintu.Dengan tak sabar, Marc kembali menekan bel berkali-kali. Hingga akhirnya, pinytu mengayun terbuka. Seorang wanita yang masih memakai piyama panjang tertegun.“Marc?”Tanpa dipersilahkan, Marc menerobos masuk. Lelaki itu kini terkaget melihat keadaan apartemen yang cukup berantakan.Baju-baju berantakan di sofa dan meja. Beberapa sepatu di lantai tak tertata. Belum lagi piring dan gelas kotor di ruang makan.Marc juga tampak tercengang melihat Marsha yang sedang berdiri di balkon sambil merokok. Segelas kopi tampak di meja balkon. Sementara Marsha sedang memunggunginya sambil bermain ponsel.“Marc! Maaf, Marsha masih kurang sehat!" Ibu Tinna berteriak kencang membuat Marsha tertegun sejenak.Dengan cepat, Marsha mematikan rokoknya. Memasang wajah lesu dan membalik tubuh.“Marc? Ka – Kamu kesini?” Marsha berucap dengan terbata.Lelaki itu mengacungkan secarik kertas ke atas. Ia men
“Kenapa kamu tidak menolaknya?” Sarah mengomel pada Marc dengan bibir mengerucut.Marc mengambil kesempatan untuk pulang berdua Sarah. Awalnya Sarah menolak dengan alasan ia juga membawa mobil. Namun, Frank mengusulkan mobil Sarah dibawa supir kantor dan diantarkan ke rumah.Hingga akhirnya mereka kini berdua di dalam mobil sport milik Marc. Sepanjang jalan, Sarah memprotes sikap Marc yang menurut saja saat Frank menyarankan mereka untuk segera bulan madu.“Papa akan curiga jika kita menolak, Sarah. Lagipula kamu dengar sendiri, Papa memang sudah mempersiapkan hadiah bulan madu untuk kita.” Marc memberikan alasan.Mulut Sarah mengerucut kembali. Bukan saja malas berduaan dengan Marc, ia juga masih bekerja dan baru memulai bisnis.“Pekerjaanmu kan bisa dilakukan di mana saja. Jadi, aku rasa tidak ada kendala.” Marc menambahkan.“Aku juga memikirkan bisnisku. Kasihan ‘kan temanku jika aku tinggal, padahal ia sedang sangat bersemangat.” Sarah menggeleng kesal.“Nanti aku bantu.”Akhirnya
Sarah menanggapi dengan tersenyum penuh arti. Ia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian pada buku menu.Setelah memesan makanan, kecanggungan kembali terjadi. Hingga akhirnya, Irwan menjulurkan sebuah berkas.“Baca lah.” Irwan berucap singkat.Sarah mengangguk, lalu membuka map. Ternyata isinya adalah laporan tentang kinerjanya selama menjadi pegawai remote di perusahaan teknologi terkenal itu.“Review atas hasil pekerjaanmu sangat baik, Aku memutuskan mengangkatmu sebagai kepala proyek selanjutnya.” Irwan saling menautkan jari-jari tangan kiri dan kanannya di atas meja.Sungguh tawaran yang menarik. Jika saja ia masih single. Saat ini sepertinya ia tidak mungkin bekerja full time.“Artinya saya harus ke kantor?”Irwan mengangguk. “Kamu akan menjadi pegawai tetap dengan jabatan dan mendapat banyak fasilitas.”Dahi Sarah berkerut. Ia terpikir untuk menelepon Frank dan menanyakan pendapat Papa mertuanya tersebut.“Kapan aku bisa mulai?”“Minggu depan? Kami harus menyiapkan ruangan unt
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk
“Vivi sudah tidur, Sayang.” Marc membela diri. “Tapi, kami takut kamu marah.”Sarah mendengus pelan. Ia lalu pindah ke sisi Vivi dan mengamati putrinya. “Bisa-bisanya anak bayi ini berakting.”“Vivi sudah bisa pura-pura nangis, tertawa dan tidur lho, Sayang.” Marc dengan bangga berkata pada istrinya.“Iya, aku sudah tau. Tetapi, tidak menyangka ia menuruti permintaanmu untuk pura-pura tidur saat aku masuk dan ia berhasil.”Ternyata Vivi memang sedang rewel. Setelah diajak bermain sebentar lalu menyusu, Vivi baru tertidur. Perlahan, Sarah dan Marc pindah ke kamar mereka.Sarah dan Marc kini sudah berbaring di ranjang dengan piyama yang senada. Sarah meletakkan kepalanya di dada Marc hingga ia bisa mendengar detak jantung sang suami. Ia menceritakan percakapannya dengan Arzan barusan.“Anak itu tau mana yang paling menyayanginya.”Tangan Sarah memukul dada Marc. “Jangan begitu. Sudah kubilang kita tidak tau apa yang terjadi hingga Vania meninggalkan bayinya. Jangan selalu berpikiran neg