Selembar tisu terjulur ke arah Sarah. Setelah mengusir Sarah dari kamar utama, wanita itu langsung berpamitan pada Frank yang hanya bisa tersenyum prihatin.Sarah mengambil tisu dari tangan Adrian. Asisten pribadi Frank itu mendapat kode dari Bos-nya untuk menemani Sarah. Dan kini mereka sedang berada di mobil.Kadang, Sarah bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagaimana reaksi Lucy jika tau ternyata ia yanng mendonorkan ginjal untuk suaminya?Lalu, Sarah menggeleng. Ia mendonasikan ginjal untuk Frank bukan untuk mencari simpati. Murni karena ia menyayangi Frank sebagai sahabat Ayahnya yang memang selalu baik pada keluarganya.“Om turut prihatin pada semua yang diucapkan Nyonya Lucy padamu.” Adrian kembali menjulurkan tisu pada Sarah.Sarah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sambil menghela napas panjang, ia berkata. “Apa Om percaya bahwa aku adalah wanita pembawa sial?”“Tidak.”“Kenapa tidak?” Sarah terisak pelan lalu melanjutkan. “Setelah melahirkan aku, Ibu jadi sakit-sakitan hi
Tak disangka ternyata Marc pulang tepat waktu. Saat itu, Sarah malah masih bekerja di ruang kerja.“Belum selesai?” Marc masuk ke ruang kerja tanpa mengetuk pintu.“Maaf. Lima belas menit lagi selesai.” Sarah berkata dengan mata tetap pada layar laptop.Marc berjalan ke pojok ruangan. Ia mengangkat sebuah lukisan di dinding. Di balik lukisan itu ternyata ada sebuah brankas besar.Sarah tidak memperhatikan lagi karena bosnya melakukan panggilan videocall. Suara laki-laki dari laptop membuat Marc menoleh.“Kerjamu bagus, Sarah. Mungkin minggu depan kita harus bertemu untuk project selanjutnya. Bagaimana?” Laki-laki itu berkata sesuatu yang membuat Marc mengerutkan dahi.“Selama pertemuan dilakukan di kota ini, saya bersedia, Tuan. Maaf, saya belum bisa pergi jauh.” Sarah menyahut santun.Lima menit, Marc mendengar pembicaraan tersebut. Semuanya memang tentang pekerjaan yang dilakukan Sarah. Namun begitu, Marc merasa hatinya kesal.Saat Sarah selesai, Marc dengan kasar meletakkan sebuah
“Arrggghhhh!”“Praanggg!”“Marsha! Apa-apaan kamu ini!”Tinna melotot pada putrinya yang sedang mengamuk. Isi apartemen mereka berantakan.Sambil menjatuhkan bokongnya di sofa, Marsha memberengut. Ia mengamati Ibunya yang membereskan benda-benda di lantai.“Setelah laptop mahal, sekarang Marc membelikan wanita pembawa sial itu mobil mewah. Bagaimana aku tidak kesal?!”Memdengar pernyataan putrinya, Tinna menghentikan aktifitasnya beres-beres. Ia menoleh dan menatap Marsha.“Sarah dibelikan mobil mewah oleh Marc?” ulangnya dengan nada tak percaya.Marsha tidak menjawab. Ia kembali melempar benda-benda yang berada di dekatnya.“Sudah! Hentikan!” Kemarahanmu tidak akan menyelesaikan masalah.” Tinna berucap nada tinggi.“Huhuhu.” Marsha menangis kesal. “Percuma rasanya pengorbananku.”“Tidak. Semua tidak sia-sia. Kita sekarang lebih dekat dengan keluarga kaya raya itu. Bahkan Lucy sangat mempercayai kita.” Tinna menyangkal pernyataan Marsha.“Tapi, tidak dengan Marc. Ia tetap datar padaku
Demi nama baik keluarga. Kalimat itu terus terngiang di telinga Sarah. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk aktif sebagai istri seorang pebisnis yang terkenal.Dengan bantuan Adrian, Sarah tau kapan Marc mendapat undangan untuk hadir pada pesta-pesta ataupun pertemuan formal. Tidak mau kesempatan itu digunakan Marsha, Sarah mencatat tanggal di mana ia bisa menemani Marc pergi ke berbagai pertemuan dengan para pebisnis.“Minggu depan, Bosku akan datang. Kami ada rapat bersama mengenai sistem informasi yang baru di perusahaan.” Sarah membuka pembicaraan dengan Marc saat mereka makan malam.“Ok.” Marc menjawab singkat.“Bagaimana keadaan Papa hari ini?”“Papa sudah bisa bekerja.”“Syukurlah.”Sarah menghela napas. Sulit sekali bicara dengan manusia kutub yang sialnya adalah suaminya sendiri.Malas berbasa-basi lagi, Sarah hanya menikmati makan malamnya tanpa membuka perbincangan lain.Tak lama mereka selesai makan, telepon Marc berdering. Lelaki itu mengangkat teleponnya dan bicara irit s
Terhuyung Marc berhasil kembali ke rumah. Saat melihat Marsha tanpa busana, gairahnya memang bangkit. Namun entah kenapa ia sadar, Marsha sedang sakit dan memilih berlari keluar.Sampai di kamar, Marc segera melepas pakaian dan masuk ke kamar mandi. Lelaki itu berdiri sambil mendesah di bawah pancuran air dingin.Tak berhasil, Marc mengisi bathtub. Ia merendam dirinya dengan napas memburu cepat. Saat sedang berusaha mengendalikan diri, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk.“Marc? Kamu di dalam? Ada apa? Kamu sakit?”Marc memejamkan mata. Itu suara Sarah. Seketika tubuhnya menegang kembali.“Sial!” Marc mengumpat lalu bangkit dari bathtub.Sarah menoleh saat Marc keluar. Lelaki itu menghampirinya dan tanpa aba-aba menariknya ke ranjang serta mengukungnya.“Marc!” Sarah memberontak.Tentu saja tenaga Marc lebih besar. Tangan Sarah dicekal ke atas dengan satu tangan sementara tangan lainnya membuka pakaian Sarah.Yang Marc dengar saat itu bukanlah rintihan melainkan desahan yang membuatny
Marc tersentak mendengar ucapan ketus Sarah. Biasanya istrinya selalu berkata lembut dan pasrah pada setiap keputusannya. Namun kali ini, Sarah menunjukkan sikap yang bertolak belakang.“Aku juga sedang malas melihatmu.” Setelah berkata demikian, Sarah pergi meninggalkan Marc sendiri di ruang makan.Dengan hati masih membara, Sarah pergi ke ruang kerja. Ia mengambil laptopnya dan mencari tempat agar ia bisa bekerja dengan tenang.Ruang perpustakaan akhirnya menjadi pilihan Sarah. Ia belum pernah masuk ke ruangan ini sebelumnya. Netranya mengamati sekeliling.Salah satu dinding terpajang berbagai pigura penghargaan milik Marc. Sarah mendengus saat membaca semua keterangan di pigura.“Tidak ada penghargaan budi pekerti. Pantas saja prilakunya minus!” desis Sarah dengan mulut mengerucut.Setelah berkelililng sejenak melihat-lihat koleksi buku Marc, Sarah duduk dan mulai membuka laptopnya. Ia membuka aplikasi pesan setelah melihat ada notifikasi.Pesan dari Marc yang mengatakan ia akan be
Marc berdiri di depan sebuah pintu. Ia telah menekan bel, namun seseorang di dalam belum membukakan pintu.Dengan tak sabar, Marc kembali menekan bel berkali-kali. Hingga akhirnya, pinytu mengayun terbuka. Seorang wanita yang masih memakai piyama panjang tertegun.“Marc?”Tanpa dipersilahkan, Marc menerobos masuk. Lelaki itu kini terkaget melihat keadaan apartemen yang cukup berantakan.Baju-baju berantakan di sofa dan meja. Beberapa sepatu di lantai tak tertata. Belum lagi piring dan gelas kotor di ruang makan.Marc juga tampak tercengang melihat Marsha yang sedang berdiri di balkon sambil merokok. Segelas kopi tampak di meja balkon. Sementara Marsha sedang memunggunginya sambil bermain ponsel.“Marc! Maaf, Marsha masih kurang sehat!" Ibu Tinna berteriak kencang membuat Marsha tertegun sejenak.Dengan cepat, Marsha mematikan rokoknya. Memasang wajah lesu dan membalik tubuh.“Marc? Ka – Kamu kesini?” Marsha berucap dengan terbata.Lelaki itu mengacungkan secarik kertas ke atas. Ia men
“Kenapa kamu tidak menolaknya?” Sarah mengomel pada Marc dengan bibir mengerucut.Marc mengambil kesempatan untuk pulang berdua Sarah. Awalnya Sarah menolak dengan alasan ia juga membawa mobil. Namun, Frank mengusulkan mobil Sarah dibawa supir kantor dan diantarkan ke rumah.Hingga akhirnya mereka kini berdua di dalam mobil sport milik Marc. Sepanjang jalan, Sarah memprotes sikap Marc yang menurut saja saat Frank menyarankan mereka untuk segera bulan madu.“Papa akan curiga jika kita menolak, Sarah. Lagipula kamu dengar sendiri, Papa memang sudah mempersiapkan hadiah bulan madu untuk kita.” Marc memberikan alasan.Mulut Sarah mengerucut kembali. Bukan saja malas berduaan dengan Marc, ia juga masih bekerja dan baru memulai bisnis.“Pekerjaanmu kan bisa dilakukan di mana saja. Jadi, aku rasa tidak ada kendala.” Marc menambahkan.“Aku juga memikirkan bisnisku. Kasihan ‘kan temanku jika aku tinggal, padahal ia sedang sangat bersemangat.” Sarah menggeleng kesal.“Nanti aku bantu.”Akhirnya
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu