"Apa kau gila," sergah Marren yang membuat Aeland terkekeh seraya mengacungkan jari telunjuknya kepada Marren untuk tenang. "Tenang saja, Sayang," sahut Arland seraya bangkit berdiri menjauh dan membuka saluran pembicaraan. Dengan perasaan was was Marren dan Madya menunggu dalam diam, sementara Arland pergi ke halaman rumah agar leluasa berbicara dengan Arsan. Sesekali Marren menatap kepada ibunya yang menggenggam erat Marren seolah menguatkannya saat mereka mendengar suara Arland meninggi dan berdebat. Dua puluh lima menit berlalu akhirnya Arland mengakhiri panggilan tersebut. Dengan menghela napas kesal pria itu perlahan memasuki rumah."Maafkan aku, aku sengaja tak ingin memperdengarkan pembicaraan kami agar kamu dan Mama tak serta merta ikut menyahut perkataannya," ucap Arland menatap Marren dan Madya bergantian."Ya, kamu benar dan saya setuju seperti itu," sahut Marren mengangguk dengan canggung. "Apa kau ingin tahu kabarnya?" sela Arland tersenyum melihat sikap Marren yan
"Bukan, Dok, dia ini adik saya. Ayah si jabang bayi sedang ada di luar kota. Ini juga sebenarnya kami kemari dalam perjalanan liburan," papar Arland mencoba mencairkan suasana. Mereka pun tertawa, karena dokter itu meminta maaf atas kesalahpahamannya."Iya, Dokter, ini saja saya tidak tahu kalau saya sedang mengandung, karena saya pikir cuma masuk angin kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh," saltut Marren menimpali. Dokter dan perawat perempuan itu pun tersenyum tanda paham lalu dokter wanita itu memberikan wejangan kepada Marren untuk menjaga kondisi kesehatannya dan si jabang bayi yang ada dalam kandungannya. Karena umurnya yang masih relatif muda akan rentan dengan keguguran. "Mommy, akan menjaga, Marren. Jadi semoga tak akan terulang lagi seperti yang sudah sudah," ucap Madya memeluk pundak Marren dan mencium pipi Marren dengan sayang. Marren pun membalas hal yang sama pada ibunya. Lalu setelah mereka menyelesaikan administrasi pembayaran dan obat-obatan untuk Marren,
Marren yang awalnya menolak halus ajakan Aksa, mau tak mau harus menurut dan menerima penawaran Arland, karena permintaan ibunya dan memikirkan si jabang bayi yang sedang dikandungnya. Walau dengan berat hati akhirnya Marren menyetujui untuk ikut dengan Arland. Kini mereka telah melakukan perjalanan dari rumah, bandara hingga kembali menapaki salah satu apartemen mewah di bilangan kota Bandung. Milik Aralnd pribadi. Melihat keadaan payah Marren yang hampir sepanjang perjalanan terus mengalami mual dan kesakitan, membuat Aralnd mau tak mau harus membopongnya saat hendak memasuki bangunan mewah itu. Selain demi kesehatan Marren, itu juga dilakukan demi menghindari orang-orang Arsan yang bisa saja berada di sekitar apartemen pribadi Aralnd. "Sudah, Kak Arland, Saya, maksud Saya terima kasih, Saya sudah tidak apa-apa," ucap Marren ingin turun dari gendongan Arland dengan perasaan tak enak hati. "Tidak apa-apa sebentar lagi kita sampai," sahut Arland tak mengindahkan ucapan Marren."A
Walaupun Marren sempat terkejut dengan ucapan Arland yang legi-lagi penuh dengan teka-teki, namun Marren yang sempat enggan melakukan jadwal pemeriksaan itu, kini berkat dorongan ibundanya.Marren akhirnya mau berangkat ke dokter kandungan bersama Arland, Madya pun mau tak mau harus ikut mendampingi Marren. "Sayang, ayolah, jangan seperti itu, Nak. Justru dengan begini kita akan tahu kondisi kesehatanmu dan anak yang ada dalam kandunganmu. Dan dengan begini, dokter bisa saja memberikan vitamin agar kamu tak sering sering mual yang terlalu parah lagi," bujuk Madya dengan lembut pada Marren yang akhirnya menuruti permintaan ibunya. "Tetapi, apakah perjalanannya akan aman? Marren takut ada orang-orang suruhan Arsan yang menemukan kita, Mom," elak Marren walau kini mereka telah berada di dalam lift. "Tenang saja, semua sudah aku atasi. Lagi pula, Arsan dan Kakek sedang melakukan perjalanan bisnis ke Eropa. Jadi, mereka akan sedikit lengah untuk beberapa hari ini," papar Arland dengan
Tanpa terasa usia kandungan Marren memasuki delapan bulan, dan dengan perasaan bahagia, ia ingin mempersiapkan kelahiran anak pertamanya yang akan ia jalani tiga hingga empat minggu ke depan.Marren menatap perutnya yang membuncit di depan cermin lemari besar yang ada di sudut kamar. Wanita itu mengelus perutnya seraya tersenyum, namun lagi-lagi air mata meleleh membasahi kedua pipinya yang tirus. 'Arsan, sebentar lagi anak kita akan terlahir, apa kamu tahu itu?' gumam Marren dalam hatinya yang terasa pilu.Masih teringat jelas bagaimana sedihnya ia di bulan-bulan sebelumnya karena selalu teringat pada Arsan, apalagi dengan perutnya yang makin membesar. la pada akhirnya bisa merajut berkat kesabaran ibunya yang melatihnya dan karena kerja keras dia sebagai pengalihan rasa rindu pada Arsan.Marren meraih sebuah syal rajut berwarna bitu gelap dengan aksen bergaris putih. Benang-benang itu saksi bisu bagaimana ia menuangkan perasaan rindu, cinta dan rasa bersalahnya pada Arsan. la i
Marren tersentak dari tidurnya, ia memindai ruangan tempatnya terbaring. Sebuah kamar yang serba putih dan bersih. Akan tetapi Marren memastikan ia tidak sedang berada di sebuah kamar rumah sakit. Karena tak ada fasilitas medis apa pun di sana. Hanya ranjang tempatnya berbaring, sofa panjang dan meja. Bahkan jendela kamat pun tidak ada. 'Oh, ini di mana? Kamar ini bukan di rumah sakit. Walau bersih, tapi masih terasa bau debu dan apek. Ya Tuhan, ini di mana? Dan siapa orang-orang yang menculik saya? Apakah mereka orang-orang suruhan Arsan?' pikir Marren dalam hatinya. 'Tak ada petunjuk apa pun di sini. Tentu saja! Orang-orang itu terlihat orang-orang profesional. Jadi, sebisa mungkin mereka tak akan mengungkapkan identitas pelaku dengan mudahnya 'kan?' hela Marren dalam benaknya menjawab segala kerisauan dan pertanyaan yang terus mendera benaknya. Saat pikiran Marren berkecamuk tak menentu, tiba-tiba pintu terbuka dan memperdengarkan pembicaraan dua orang pria dan wanita dengan
"Lani! Hentikan!" sergah Black menghardik seraya menghambur ke hadapan Lani untuk menghalangi upaya Lani yang ingin menyerang Marren. Tuan Black segera berupaya mencegah perbuaten Lani yang hendak menyakiti Marren atau bahkan membunuhnya. Lalu serta merta, pria berbadan kekar itu memerintahkan pengawal yang menjaga Lani membawa puterinya untuk keluar dari ruangan tersebut. "TIDAK PAPAAAA! JANGAN HALANGI AKU!"Pekikan Lani meraung keras dan mencoba berontak dari dekapan papanya. Akan tetapi Lani begitu bersikeras tak ingin meninggalkan ruangan Kini dengan ancaman kemarahan papanya, Lani dipaksa duduk dengan tangan tetap dalam genggaman pengawal. "Lihat Bahkan Papa pun membentakku gara-gara dia. Papa lebih membela dia daripada aku, anakmu sendiri?" keluh Lani dengan lemah dan mulai berurai air mata. "Kau tahu Papa tidak seperti itu, Sayang. Papa minta kau tetap tenang sampai semua permasalahan ini diketahui dengan jelas duduk perkaranya. Papa hanya ingin tahu kebenarannya sebelum
Marren menjerit takut bukan kepalang, ia menatap beberapa orang di hadapannya tergeletak bergelimpangan dengan darah terciprat di mana-mana akibat tembakan dari beberapa arah. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?" pekik Marren seraya berural air mata."Tolong! Ya, Tuhan, tolonglah saya, tolong....!" Imbuhnya dengan wajah ketakutan dan berusaha bangkit. Wanita itu kembali bersembunyi di balik kamar dengan tergopoh-gopoh, ia hanya bisa menangis menahan sakit dan ketakutan yang luar biasa dengan semua yang terpampang di hadapannya. "Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tiba tiba ada peperangan seperti itu? Ya Tuhan.... Mommy, Arsan, apa saya akan mati? Saya akan mati! Oh sayang" ujar Marren mengelus perutnya yang membuncit."Arsam Anak kita," lirih Marren yang lelah berputus asa.Marren semakin terisak ketakutan dan terus berdo'a dalam hati. Dengan sekuat tenaga ia mendorong pintu kamar dan menutupnya. Namun, alangkah terkejutnya saat is melihat sebuah sepatu panto