Beberapa hari telah terlewati dan hampir setiap tengah malam Marren selalu terbangun dan menangis. Hingga pagi itu Marren terbangun dengan kepala berat dan berdenyut denyut. Madya yang diam diam mengetahui kesedihan Marren hanya bisa mendukungnya dengan memberinya perhatian lebih. "Sayang, ayo kita sarapan dulu, nanti Marren bisa tidur lagi kalau memang masih mengantuk," ucap Madya membangunkan Marren yang masih tergolek lemah di kasur. "Iya, Mom. Sebentar," sahut Marren bangkit dari rebahnya dengan perlahan-lahan karena merasakan denyut di kepalanya vang cukup kuat. Demi agar tak mengetahui kegelisahannya, Marren menuruti ajakan ibunya yang telah menyiapkan sarapan yang dibawakan oleh Naya. Akan tetapi, baru satu suapan Marren merasa sangat mual dan berasa ingin muntah. Madya menghele napas panjang seraya memberikan jamu masuk angin kepada Marren tanpa berkomentar panjang. "Minumlah, kamu pasti asam lambung. Sudahlah Sayang, jangan terlalu di pikirkan. Ada Momm
"Apa kau gila," sergah Marren yang membuat Aeland terkekeh seraya mengacungkan jari telunjuknya kepada Marren untuk tenang. "Tenang saja, Sayang," sahut Arland seraya bangkit berdiri menjauh dan membuka saluran pembicaraan. Dengan perasaan was was Marren dan Madya menunggu dalam diam, sementara Arland pergi ke halaman rumah agar leluasa berbicara dengan Arsan. Sesekali Marren menatap kepada ibunya yang menggenggam erat Marren seolah menguatkannya saat mereka mendengar suara Arland meninggi dan berdebat. Dua puluh lima menit berlalu akhirnya Arland mengakhiri panggilan tersebut. Dengan menghela napas kesal pria itu perlahan memasuki rumah."Maafkan aku, aku sengaja tak ingin memperdengarkan pembicaraan kami agar kamu dan Mama tak serta merta ikut menyahut perkataannya," ucap Arland menatap Marren dan Madya bergantian."Ya, kamu benar dan saya setuju seperti itu," sahut Marren mengangguk dengan canggung. "Apa kau ingin tahu kabarnya?" sela Arland tersenyum melihat sikap Marren yan
"Bukan, Dok, dia ini adik saya. Ayah si jabang bayi sedang ada di luar kota. Ini juga sebenarnya kami kemari dalam perjalanan liburan," papar Arland mencoba mencairkan suasana. Mereka pun tertawa, karena dokter itu meminta maaf atas kesalahpahamannya."Iya, Dokter, ini saja saya tidak tahu kalau saya sedang mengandung, karena saya pikir cuma masuk angin kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh," saltut Marren menimpali. Dokter dan perawat perempuan itu pun tersenyum tanda paham lalu dokter wanita itu memberikan wejangan kepada Marren untuk menjaga kondisi kesehatannya dan si jabang bayi yang ada dalam kandungannya. Karena umurnya yang masih relatif muda akan rentan dengan keguguran. "Mommy, akan menjaga, Marren. Jadi semoga tak akan terulang lagi seperti yang sudah sudah," ucap Madya memeluk pundak Marren dan mencium pipi Marren dengan sayang. Marren pun membalas hal yang sama pada ibunya. Lalu setelah mereka menyelesaikan administrasi pembayaran dan obat-obatan untuk Marren,
Marren yang awalnya menolak halus ajakan Aksa, mau tak mau harus menurut dan menerima penawaran Arland, karena permintaan ibunya dan memikirkan si jabang bayi yang sedang dikandungnya. Walau dengan berat hati akhirnya Marren menyetujui untuk ikut dengan Arland. Kini mereka telah melakukan perjalanan dari rumah, bandara hingga kembali menapaki salah satu apartemen mewah di bilangan kota Bandung. Milik Aralnd pribadi. Melihat keadaan payah Marren yang hampir sepanjang perjalanan terus mengalami mual dan kesakitan, membuat Aralnd mau tak mau harus membopongnya saat hendak memasuki bangunan mewah itu. Selain demi kesehatan Marren, itu juga dilakukan demi menghindari orang-orang Arsan yang bisa saja berada di sekitar apartemen pribadi Aralnd. "Sudah, Kak Arland, Saya, maksud Saya terima kasih, Saya sudah tidak apa-apa," ucap Marren ingin turun dari gendongan Arland dengan perasaan tak enak hati. "Tidak apa-apa sebentar lagi kita sampai," sahut Arland tak mengindahkan ucapan Marren."A
Walaupun Marren sempat terkejut dengan ucapan Arland yang legi-lagi penuh dengan teka-teki, namun Marren yang sempat enggan melakukan jadwal pemeriksaan itu, kini berkat dorongan ibundanya.Marren akhirnya mau berangkat ke dokter kandungan bersama Arland, Madya pun mau tak mau harus ikut mendampingi Marren. "Sayang, ayolah, jangan seperti itu, Nak. Justru dengan begini kita akan tahu kondisi kesehatanmu dan anak yang ada dalam kandunganmu. Dan dengan begini, dokter bisa saja memberikan vitamin agar kamu tak sering sering mual yang terlalu parah lagi," bujuk Madya dengan lembut pada Marren yang akhirnya menuruti permintaan ibunya. "Tetapi, apakah perjalanannya akan aman? Marren takut ada orang-orang suruhan Arsan yang menemukan kita, Mom," elak Marren walau kini mereka telah berada di dalam lift. "Tenang saja, semua sudah aku atasi. Lagi pula, Arsan dan Kakek sedang melakukan perjalanan bisnis ke Eropa. Jadi, mereka akan sedikit lengah untuk beberapa hari ini," papar Arland dengan
Tanpa terasa usia kandungan Marren memasuki delapan bulan, dan dengan perasaan bahagia, ia ingin mempersiapkan kelahiran anak pertamanya yang akan ia jalani tiga hingga empat minggu ke depan.Marren menatap perutnya yang membuncit di depan cermin lemari besar yang ada di sudut kamar. Wanita itu mengelus perutnya seraya tersenyum, namun lagi-lagi air mata meleleh membasahi kedua pipinya yang tirus. 'Arsan, sebentar lagi anak kita akan terlahir, apa kamu tahu itu?' gumam Marren dalam hatinya yang terasa pilu.Masih teringat jelas bagaimana sedihnya ia di bulan-bulan sebelumnya karena selalu teringat pada Arsan, apalagi dengan perutnya yang makin membesar. la pada akhirnya bisa merajut berkat kesabaran ibunya yang melatihnya dan karena kerja keras dia sebagai pengalihan rasa rindu pada Arsan.Marren meraih sebuah syal rajut berwarna bitu gelap dengan aksen bergaris putih. Benang-benang itu saksi bisu bagaimana ia menuangkan perasaan rindu, cinta dan rasa bersalahnya pada Arsan. la i
Marren tersentak dari tidurnya, ia memindai ruangan tempatnya terbaring. Sebuah kamar yang serba putih dan bersih. Akan tetapi Marren memastikan ia tidak sedang berada di sebuah kamar rumah sakit. Karena tak ada fasilitas medis apa pun di sana. Hanya ranjang tempatnya berbaring, sofa panjang dan meja. Bahkan jendela kamat pun tidak ada. 'Oh, ini di mana? Kamar ini bukan di rumah sakit. Walau bersih, tapi masih terasa bau debu dan apek. Ya Tuhan, ini di mana? Dan siapa orang-orang yang menculik saya? Apakah mereka orang-orang suruhan Arsan?' pikir Marren dalam hatinya. 'Tak ada petunjuk apa pun di sini. Tentu saja! Orang-orang itu terlihat orang-orang profesional. Jadi, sebisa mungkin mereka tak akan mengungkapkan identitas pelaku dengan mudahnya 'kan?' hela Marren dalam benaknya menjawab segala kerisauan dan pertanyaan yang terus mendera benaknya. Saat pikiran Marren berkecamuk tak menentu, tiba-tiba pintu terbuka dan memperdengarkan pembicaraan dua orang pria dan wanita dengan
"Lani! Hentikan!" sergah Black menghardik seraya menghambur ke hadapan Lani untuk menghalangi upaya Lani yang ingin menyerang Marren. Tuan Black segera berupaya mencegah perbuaten Lani yang hendak menyakiti Marren atau bahkan membunuhnya. Lalu serta merta, pria berbadan kekar itu memerintahkan pengawal yang menjaga Lani membawa puterinya untuk keluar dari ruangan tersebut. "TIDAK PAPAAAA! JANGAN HALANGI AKU!"Pekikan Lani meraung keras dan mencoba berontak dari dekapan papanya. Akan tetapi Lani begitu bersikeras tak ingin meninggalkan ruangan Kini dengan ancaman kemarahan papanya, Lani dipaksa duduk dengan tangan tetap dalam genggaman pengawal. "Lihat Bahkan Papa pun membentakku gara-gara dia. Papa lebih membela dia daripada aku, anakmu sendiri?" keluh Lani dengan lemah dan mulai berurai air mata. "Kau tahu Papa tidak seperti itu, Sayang. Papa minta kau tetap tenang sampai semua permasalahan ini diketahui dengan jelas duduk perkaranya. Papa hanya ingin tahu kebenarannya sebelum
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau