Enjoy reading ... Maaf telat up. Author lagi di Yogya.
"Semakin sering kamu minta cerai, maka semakin lama pula kamu jadi istriku. Jadi, nurut aja!"Tidak ada yang bisa kukatakan selain diam saja sembari menikmati pelukan hangat Lois. Sungguh kepalaku sangat pening dan ragaku lemas sekali. Tangan Lois bergerak pelan mengusap rambutku dan kembali memberi ciuman di sana. Sialan sekali suami di atas kertasku ini. Apa dia ingin membuatku mati merana karena mencintainya tapi tidak bisa memilikinya?Tidak berapa lama, Pak Wawan datang ke kamar Lois. Membawa menu makan malam yang sehat untukku. Kemudian ia undur diri setelah menata semua makanan itu di atas meja. "Ly, makan dulu. Biar aku suapin."Disuapi Lois? Yang benar saja dia. Sikap manisnya itu mengapa datang di saat aku ingin nelepaskan diri darinya. Kepalaku menggeleng pelan. "Aku bisa sendiri, Lois. Aku mau kita ada batasan biar aku nggak terbawa perasaan."Lagi-lagi, Lois tidak mengindahkan ucapanku. Dia justru membantuku duduk di atas ranjang king sizenya. Lalu memposisikan diri d
"Maaf, Lois. Badanku masih lemas." Kemudian aku memalingkan wajah untuk menghindari belaian tangannya di wajahku. Lalu berusaha berdiri dari pangkuannya dan melangkah ke sisi kiri ranjang. Tempatku tadi berbaring. Hingga aku merebahkan tubuh, Lois tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia hanya menatap gerak-gerikku dengan bertelanjang dada dan handuk yang meliliti pinggangnya saja. Biarlah aku menolak permintaannya sebagai seorang suami karena aku benar-benar tidak siap. Andai dia benar-benar meminta haknya lalu kembali pergi meninggalkanku seorang diri seperti kemarin, sumpah demi apapun aku tidak siap menjalaninya. Ketika aku setengah terlelap dalam posisi miring, tiba-tiba sebuah pelukan melingkari perutku. Lampu kamar juga sudah dimatikan dan berganti lampu tidur yang redup. Begitu aku terkejut dan akan menyingkirkan tangannya, Lois justru menciumi leherku lalu tangannya bergerak menahan pundakku. "Lois! Hentikan!" peringatku sambil menyingkirkan tangannya. Bukannya
"Gi, Nin, gue pamit dulu ya?" Lebih baik berpamitan pada kedua temanku ini jika tidak bisa kembali satu bis dengan mereka. Dari pada nanti mereka kembali memarahiku karena menghilang tanpa pesan. "Kemana, Ly?" tanyanya dengan nada heran. Kami sedang di toko oleh-oleh Malioboro bersama rombongan kantor. Aku membasahi bibir dengan mata mengerjap cepat berulang kali. "Ehm ... itu ... suami gue ... ternyata dia belum balik. Barusan ngirim pesan kalau dia pengen ngobrol bentar katanya," kilahku."Lama nggak? Soalnya satu jam lagi kata panitia kita harus balik ke hotel, Ly.""Ehm ... sebelum nanti malam, gue pastiin udah balik ke hotel biar bisa satu bis sama kalian." "Lo diantar suami ke hotel?" Kepalaku mengangguk sekenanya agar Gia dan Nina tidak curiga dengan kebohonganku. Bisa menjadi gossip menggelegar jika mereka tahu bila aku akan bertemu dengan Pak Presdir.Lalu kepala Gia dan Nina melongok ke keluar toko untuk mencari sosok suamiku yang sebenarnya tidak ada. Itu hanya keboho
"Permisi, Pak Presdir. Saya undur diri." Usai mengucap salam dan membungkuk hormat pada beliau, aku melangkah keluar lounge dengan sesak di dada. Persetan dengan cek setengah milyar yang kukembalikan pada beliau. Di tengah langkah kaki, mana yang harus kupilih? Tetap bertahan dengan pernikahan ini seperti keinginan Lois atau mengakhirinya sesuai permintaan Pak Presdir? *** Tepat pukul dua siang, aku sudah berada di hotel menggunakan ojek online. Lalu segera menuju kamar Lois karena di sanalah tasku berada. Aku segera mengemasi semua pakaian ke dalam tas lalu meninggalkan kamar itu. Rencananya pukul tiga sore kami harus meninggalkan hotel dan langsung bertolak ke Ibu Kota. Sembari menunggu Gia dan Nina yang mungkin sedang mengemasi pakaiannya, aku menunggu kedatangan mereka di lobby hotel. Tidak berapa lama kemudian, satu demi satu rombongan keluar dari kamar menuju bis masing-masing. "Gimana, Ly? Suami lo ngomong apaan?" tanya Nina. Aku tersenyum tipis, "Antara cerai atau
Sejak tadi aku pura-pura terlelap padahal telingaku bisa mendengar apa yang Lois bicarakan dengan asistennya. Kadang suara mereka terdengar jelas kadang terdengar samar hingga aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. "Baik, Den Mas. Saya akan pastikan ketika Mbak Lilyah sudah keluar dari rumah sakit, semuanya sudah siap sesuai keinginan Den Mas. Jangan khawatir." "Mungkin dua hari lagi Lilyah bisa pulang. Jangan lupa ambil Bu Sri. Terserah Pak Wawan mau pakai alasan apa kalau kepala pelayan tanya." Kepala pelayan? Maksudnya apa? "Baik, Den Mas. Malam ini juga saya akan menyusun rencananya." "Bagus. Oke, sementara itu aja. Pak Wawan bisa kembali pulang. Terima kasih untuk semuanya. Aku bangga punya asisten kayak Pak Wawan." Pak Wawan membungkuk hormat di hadapan Lois. "Sama-sama, Den Mas. Saya juga senang bisa melayani Den Mas. Suatu kehormatan bisa mengabdi pada keluarga Hartadi yang berjasa banyak pada keluarga saya." Pernah kah kalian melihat seorang kasim yang setia pada p
"Jangan nekat kalau butuh apa-apa, kamu cukup tekan tombol hijau itu lalu bilang sama perawat."Lois berucap dengan wajah sedekat ini dengan wajahku. Belum lagi kedua tangannya masih bertumpu di kanan kiri tubuhku di ranjang pesakitan yang kududuki. Tubuhku seperti dipenjara Lois dengan cara yang elegan dan manis. Aku merasa diterbangkan ke langit namun tidak siap andai kembali dijatuhkan ke bumi. "Aku berangkat ke Bandung dulu. Kalau boring di kamar sendirian, kamu bisa telfon Gia dan Nina, biar mereka jengukin kamu kesini." Kedua alisku berkerut mendengar ucpannya, "Gimana caranya kamu bisa tahu kalau Gia dan Nina itu sahabatku?" "Rahasia umum." "Kamu mengintai gerak-gerikku?" "Pekerjaanku terlalu padat untuk ngawasin kamu. Jadi, jangan besar rasa." Aku menghela nafas panjang lalu kemudian membuang muka. Memangnya, aku ini sespesial apa sampai berharap Lois mengintai gerak gerikku? Benar katanya, aku terlalu besar rasa dengan menganggapnya mencintaiku. Bodohnya aku ini."Kal
Baru memasuki gerbang kawasan perumahan parlente ini, kami sudah dihadang oleh tiga orang satpam yang meminta kartu identitas pemilik rumah. Asisten Lois, Pak Wawan, segera mengangsurkan sebuah kartu lalu satpam itu mencocokkannya dengan mesin pengecek otomatis. Bahwa tidak boleh ada orang tanpa kartu identitas yang boleh masuk ke kawasan perumahan ini bila tidak memiliki kartu pengenal khusus. Ketika mobil MPV premium ini kembali dilajukan oleh sopir, Lois masih memejamkan mata dengan erat. Selelah itukah dirinya? "Permisi, Pak Wawan, kita mau kemana ya?" tanyaku dengan suara pelan. Pak Wawan hanya tersenyum tipis. "Nanti Mbak Lilyah akan tahu sendiri." "Tapi, Lois masih tidur." "Tidak apa-apa, Mbak. Den Mas mungkin kelelahan dengan aktivitas di pabrik dan sudah ketentuan dokter jika beliau sudah lepas dari pekerjaan harus segera tidur." Alisku sedikit berkerut mendengar penuturan Pak Wawan. "Ehm ... apa Lois memiliki gangguan kesehatan?" "Ceritanya panjang, Mbak. Kita
Di rumah Lois yang tidak megah namun segala fasilitas ada, aku mendadak seperti putri mahkota yang mendapat banyak kenyamanan. Baru bangun tidur saja, sudah ada susu yang disiapkan Lois. Sudah ada pelayan yang membersihkan dan merapikan kamarku. Bahkan jika mau, aku tinggal menunjuk mana pakaian yang akan kukenakan lalu mereka akan mengambilkannya. “Saya bisa ambil baju sendiri, Bu Sri.” “Apa Mbak Lilyah sudah sehat sungguhan? Kalau belum sehat, pelayan bisa mengambilkannya.” “Saya udah lebih baik, Bu Sri,” ucapku sambil duduk di tepi ranjang. “Kalau belum sehat lebih baik Mbak Lilyah bilang. Kalau ada apa-apa nanti saya takut Den Mas Lubis marah besar,” jelasnya dengan wajah khawatir. “Saya benar-benar udah jauh lebih baik, Bu Sri.” Akan mandi saja, pelayan rumah ini sudah menyiapkan air hangat di dalam bath up beserta aromaterapi dan bunga di dalamnya. “Bu Sri tidak perlu repot-repot. Saya bisa menyiapkan airnya sendiri.” “Sudah kewajiban pelayan, Mbak. Jangan merasa tidak