enjoy reading ...
“Aku pernah janji ke Lois. Kalau dia bantuin aku nyari tahu kebenaran siapa pemfitnah foto dan video syurku, aku janji nggak akan balik ke Ishak. Tapi, begitu kenyataan terungkap, aku malah ingkar janji karena masih cinta Ishak.” Bu Sri menatapku penuh keterkejutan. “Aku ninggalin Lois demi Ishak didepan mata Lois langsung, Bu Sri. Itu kesalahan terbodohku.” “Astaga, Mbak Lilyah. Lalu, kenapa kalian masih bisa bersama setelah pengkhianatan itu?” “Karena Lois nggak pernah menjatuhkan talaknya meski aku berkhianat.” “Baru kali ini Bu Sri tahu Den Mas Lubis sesabar ini, Mbak." Kepalaku mengangguk, "Dia sangat sabar menghadapiku dan sangat sabar meremukkan hatiku dengan cara yang dia mau." "Mbak Lilyah nggak boleh bilang gitu." Kepalaku kembali mengangguk saja karena sadar akan kesalahan diri sendiri. "Kalau boleh tahu, apa alasan Den Mas berbuat gitu, Mbak?” “Dia pengen lihat aku nggak bisa sama lelaki manapun. Dia pengen lihat aku tersiksa nggak bisa bersama lelaki yang kucinta
21.45 WIB "Udah malam banget ternyata. Tapi kenapa Lois belum pulang juga?" gumamku sambil menatap keluar jendela. Aku tengah bersantai di sofa ruang kerja Lois sambil menikmati home theatre yang ada di sini. Lengkap dan terhubung dengan segala macam siaran. Sejak tadi siang aku sudah berdiam di sini sambil menghabiskan waktu. Cukup membosankan karena biasanya mulai pagi hingga siang aku sibuk bekerja, bukan sibuk menonton drama atau film action hingga sebosan ini rasanya. "Enaknya dichat duluan atau nunggu Lois ngechat duluan ya?" Gengsi rasanya jika aku harus mulai menghubunginya lebih dulu apalagi hanya sekedar bertanya pukul berapa dia pulang. "Kayak aku tuh bucin banget. Belum lagi kalau nanti dia ngolok-ngolok aku karena ketahuan peduli banget. Ah ... nggak jadi aja lah." Aku kembali meletakkan ponsel di meja kemudian tepat pukul sepuluh malam, ketukan di pintu ruang kerja membuatku menoleh. Bu Sri pelakunya. "Kenapa, Bu Sri?" Ia berjalan sopan ke arahku. "Maaf, Mbak L
"Buka pintu lemarinya dulu," ucap Lois pelan sambil menuntun tangan kananku melakukannya. Usai terbuka, dia kembali menuntun tanganku masuk ke dalam lemari. Tepatnya di belakang baju yang terlipat ada sebuah kotak kecil berwarna coklat dengan uliran angka stainless di depannya. Mirip brankas mini. "Sekarang tekan sandinya seperti instruksiku," ucapnya lagi persis di depan telingaku. Tapi kini, tangan kanan dan kiri Lois justru bertengger di pinggangku. Sesekali ibu jarinya bergerak pelan seperti memberi usapan lembut. Badanku mendadak panas dingin, geli, dan jantungku seperti bekerja diluar kewajaran. "Delapan enam tujuh satu tiga empat dua enam," ucap Lois lirih. Dengan posisi punggungku menempel sempurna di dadanya dan wajahnya yang berada tepat di sebelah kanan wajahku, mana mungkin aku bisa berkonsentrasi. Tit! Tit! Tit! "Ke ... kenapa nggak mau lanjut, Lois?" tanyaku dengan hanya melirik wajahnya saja. "Kamu salah nekan angka, Ly." "Oh ... " "Kenapa bisa salah padahal u
Pak Wahyu menatap Pak Presdir dengan sorot sedikit bingung dan ponsel masih menempel di telinga. Entah Lois berkata apa pada asisten Romonya itu. "Baik, Den Mas. Baik." Kemudian Pak Wahyu mendekat ke sebelah kanan Pak Presdir dengan membawa ponselnya. "Maaf, Pak Presdir. Den Mas ingin berbicara. Penting sekali katanya." Alis Pak Presdir sedikit berkerut lalu mengambil ponsel Pak Wahyu yang diulurkan dengan begitu sopan. "Halo, Lubis?" " ... " Aku hanya bisa memandang Pak Presdir dengan tatapan harap-harap cemas. Ya Tuhan, apa yang Lois katakan sekarang? Lalu kedua mata Pak Presdir menatapku dengan sorot tajam hingga aku memutuskan menundukkan pandangan dan menelan saliva bulat-bulat. "Apa istimewa perempuan kotor yang ada di hadapanku ini sampai kamu bela mati-matian, Lubis?" tanya Pak Presdir dengan nada ketus. Kepalaku masih menunduk sedang Pak Presdir terus menatapku dengan ponsel yang masih terhubung dengan Lois yang sudah berada jauh di sana. " ... " "Kamu benar-benar
“Oke. Take your time, Ly.” Usai Lois berucap dengan nada pasrah, aku segera menuju kamar lalu menutup pintu sesegera mungkin. Kusandarkan tubuh di pintu kamar hingga raga ini merosot lalu terduduk di lantai. Dengan tangan menyentuh dada yang terasa begitu sesak menjalani takdir hidup seperti roller coaster, air mataku kembali berurai mengingat ancaman Pak Presdir dan istrinya. Jika mereka memaksaku agar meminta cerai dari Lois, lalu apa yang harus kulakukan jika Lois sendiri memberiku ancaman yang sama tidak main-mainnya jika berani meminta cerai? Pak Presdir memaksa kami bercerai sedang Lois memaksaku untuk bertahan dengan pernikahan ini. Lalu apa yang harus kulakukan? *** Kesedihan yang menggulung hati rupanya membuatku kelelahan hingga tidak sadar tertidur di lantai kamar. Lalu aku terjaga begitu merasakan tubuh ini melayang pelan begitu saja. Begitu aku membuka mata pelan dan menoleh untuk mencari tahu ada apa, wajahku sudah berada di depan pundak Lois. "Jangan tidur di la
Sesuai perjanjian dengan Lois semalam, aku menurut kala ia memutuskan agar aku tetap berada di rumahnya. Tidak kembali bekerja dengan alasan aku sakit.Hanya menghabiskan waktu dengan menonton film melalui siaran berbayar unlimited sambil menghubungi Gia. "Lo nggak masuk lagi, Ly?" "Gue masih kurang enak badan, Gi." Padahal aku sedang merebahkan diri di sofa ruang kerja Lois yang empuk sambil menghidupkan layar televisi yang menampilkan film action baru rilis. "Entar gue jengukin sama Nina habis pulang kerja." Aku langsung terbangun dengan wajah terkejut. "Jangan! Eh ... maksud gue jangan sekarang, Gi." "Ya iyalah nggak sekarang tapi nanti sore." "Bu ... bukan itu. Maksud gue ... eh ... nanti sore kayaknya gue ... mau periksa. Iya, gue mau periksa." Bagaimana mungkin aku mengatakan dimana tempat tinggalku pada Gia dan Nina. Yang ada jika mereka tahu aku tinggal di cluster perumahan menengah ke atas dan tahu ini adalah rumah putra Pak Presdir, mungkin mereka bisa pingsan berdir
Lois itu ... santun. Kalau tidur. Sudah beberapa malam ini ketika aku terbangun, dia hanya tidur di sisiku tanpa tangan yang melingkari perutku. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala dan tangan kirinya diletakkan di atas perut. Bulu matanya saat terpejam sangat lentik. Belum lagi wajahnya yang kini berubah lebih terawat dan bersih karena mobilitasnya selalu menggunakan mobil yang nyaman. Ketika Lois merasa aku sudah terlelap, dia akan memberiku ciuman di pipi lalu memeluk dari belakang. Padahal ketika dia melakukan itu, sebenarnya aku masih terjaga. Memangnya perempuan mana yang bisa tidur cepat dengan lelaki yang dicintai tidur di sampingnya. Meski lelaki itu masih belum memiliki rasa cinta sekalipun. Tetap saja jantungku berdebar tidak karuan. Lalu entah pukul berapa Lois melepas pelukannya karena ketika pagi hari saat aku membuka mata hanya mendapati dia sudah begitu rapi. Seperti pagi ini contohnya. "Kamu udah rapi, Lois?" tanyaku dengan suara serak.Mataku mengerjap le
"Apa maksud Romo?" "Lihat aja nanti. Karena yang pasti, penerus keluarga bangsawan Hartadi harus dari keluarga yang berkualitas." "Apa Romo bakal jodohin aku?" "Apa kamu nggak lihat, kedua Mbakmu juga nyatanya bahagia sama laki-laki pilihan Romo dan Ibumu. Mereka hidup bahagia, mapan, dan satu visi dengan keluarga kita. Karena orang yang berasal dari keluarga terdidik akan melahirkan generasi yang terdidik pula." "Lagi-lagi masalah harta dan status sosial." "Apa kamu lupa kalau Romo dan Ibumu punya yayasan anak yatim piatu? Apa kamu pikir Romo dan Ibumu ini selalu melihat segala sesuatu dari uang? Bukan, Lubis. Tapi dari bibit, bebet, bobot yang berkualitas. Itu adalah tradisi yang keluarga besar kita sejak dulu." "Tapi nyatanya Romo salah menilai Lilyah." "Perempuan itu mau sampai kapanpun rekam digitalnya akan selalu ada. Apa yang orang lain katakan kalau tahu keluarga kita memiliki menantu ko-tor? Kamu terlalu awam untuk ngerti masalah rumah tangga. Kamu masih berapi-api samp