1643 kata .... double up gantinya kemarin. Semoga berkenan. Enjoy reading ...
Bu Sri menatapku dengan raut bingung harus menjawab apa. Sedang aku sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Ya Tuhan, Lois, betapa teganya kamu tidak memberitahuku lebih dulu jika Eyangmu akan bertamu kemari!Apa Lois sengaja ingin membuat hariku makin suram saja?!"Kok kompak diam? Atau ada yang kalian sembunyikan?" Bu Sri dan aku bersamaan menatap Eyangnya Lois dengan ekspresi terkejut dan gugup luar biasa. Dengan sikap tetap membungkuk hormat, Bu Sri membuka suara."Ti ... tidak ada, Eyang. Memang ... ee ...," Bu Sri melirikku seakan meminta bantuan untuk menjawabnya. "S ... saya ... itu Eyang, e ... pembantu baru."Setelah melalui pemikiran kilat, akhirnya otak dan hatiku sepakat untuk memilih status sebagai pembantu baru saja. Eyang adalah keluarga besar Lois dan sudah barang pasti beliau mengerti dengan pakem aturan pemilihan menantu dari segi bibit, bebet, dan bobot. Lagipula, aku dan Lois sebelumnya sudah sepakat untuk menyembunyikan pernikahan kami dari siapapun. Jik
"Aku kesal karena udah satu minggu ini Lubis nggak datang ke rumah. Bilangnya sibuk lah, apa lah. Ya udah, aku suruh orang mata-matai dimana Lubis tinggal. Dan ternyata di sini." "Ada rasa bangga waktu lihat rumahnya ini, Sri. Jiwa sederhananya tetap ada meski sama Romonya udah dikasih banyak hak istimewa." "Oh ya, tolong kamu siapin kamar buat aku ya? Masih ada tempat 'kan?" Kepala Bu Sri mengangguk pelan, "Masih ada kamar kosong, Eyang." Apakah Eyang akan menginap? Ya, Tuhan. Habislah aku! Masalahnya nanti aku akan tidur dimana jika Eyang tidur di rumah ini? Tidur di kamarku dan Lois? Yang ada bisa terjadi perang dunia empat! Lalu bagaimana dengan esok hari waktu aku akan berangkat bekerja? Eyang pasti tahu siapa aku di rumah ini. Dan aku berani jamin, yang ada aku akan kembali diusir dan mendapat hinaan. "Terus hari ini Lubis pamitnya kemana?" Bu Sri kemudian melirikku yang berada di sebelah kanannya. Ya Tuhan, apakah ia menyuruhku menjawab pertanyaan Eyang? "Kok kamu di
"Mbak Lilyah ini kalau nggak salah pernah menyelamatkan nyawa Eyang. Kejadiannya sudah lama sekali," ucap perawatnya Eyang. "Menyelamatkan yang gimana?" tanya Eyang dengan mengerutkan alisnya. "Mungkin Eyang lupa karena faktor usia, tapi saya masih ingat. Waktu itu kalau nggak salah kita ke rumah sakit untuk cek up kesehatan Eyang. Selang oksigen Eyang kebetulan belum saya lepas tapi kursi roda Eyang sudah turun dari mobil. Waktu mobil mau jalan untung Mbak Lilyah tahu lalu mobil Eyang diteriaki Mbak Lilyah biar berhenti.""Benarkah?!" Kepala perawat itu mengangguk tegas, "Kalau bukan karena Mbak Lilyah, mungkin Eyang bisa jatuh dari kursi roda atau terseret bersamaan dengan kursi roda." Eyang nampak mengingat-ingat kejadian lama itu. "Apa Eyang ingat?"Kepala Eyang menggeleng, "Eyang lupa, kebanyakan ke rumah sakit sampai lupa yang mana.""Tapi saya masih ingat banget, Eyang. Makanya dari tadi Mbak Lilyah saya perhatiin kayak pernah kenal. Dan ternyata emang pernah bertemu. Bahka
Hanya ada aku sendiri di dapur usai menguping pembicaraan Lois dan Eyangnya. Semua penghuni rumah sepertinya sudah kembali ke kamar masing-masing karena ini sudah hampir pukul sembilan malam. Niat hati ingin membuat minuman hangat dan kembali makan malam sendirian, tapi percakapan Lois dan Eyangnya tadi membuat banyak tanda tanya di otak. Sambil berdiri dan menumpukan kedua tangan di bibir wastafel dapur yang sudah bersih dan mengkilap seperti semula, tiba-tiba lamunanku dikejutkan dengan sebuah bisikan di telinga kanan. "Kenapa belum tidur?" Begitu aku menoleh, Lois tidak memundurkan wajahnya sama sekali hingga hidung dan bibirnya sedikit bergesekan dengan pipiku. Karena jarak wajah kami yang terlalu dekat seperti ini, akhirnya aku yang memundurkan wajah. Kakiku sudah tidak bisa mundur lagi karena terhalang oleh wastafel. "Eh ... aku ... aku mau bikin teh." "Oh ... " "Apa kamu mau?" Lalu Lois mengarahkan kedua tangannya di sisi kanan kiri tubuhku dengan bertumpu pada wastaf
Kepalaku menggeleng tegas sambil menatap tangan yang digenggam Lois.“Aku takut, Lois. Aku ini cuma perempuan biasa tanpa kekuasaan apapun. Melawan keluargamu itu sama kayak aku cari mati. Aku nggak sanggup dan nggak sekuat itu, Lois.”“Lalu gimana sama janjimu? Kesepakatan kita? Apa mau ingkari lagi?!”Aku terdiam dengan kepala tetap menunduk.Sungguh, aku ingin sekali memperjuangkan Lois yang mulai mau membuka hatinya untukku, namun menghadapi keluarga Hartadi itu bukan hal yang bisa dilakukan oleh perempuan lemah sepertiku. "Lois, aku ... "Lalu Lois sedikit menarik tanganku dengan mencengkeramnya.“Aku nggak pernah sekalipun ingkar sama janjiku ke kamu, Ly. Tapi kamu malah mau ingkar untuk yang kedua kalinya. Apa kurang hukuman yang selama ini aku berikan sampai kamu mau ingkar untuk yang kedua kalinya?""Bukan begitu, Lois.""Aku benar-benar nggak terima, Ly. Dan kalau aku sakit hati, jangan salahin siapa-siapa kalau orang terdekatmu sekalipun bakal kena sasaranku!”Ancaman Lois
Sebenarnya di rumah Romonya Lois masih ada acara berkumpul bersama untuk membicarakan banyak hal. Tapi, aku merasa sangat tertekan berada di antara mereka usai makan malam. Akhirnya aku pura-pura ke kamar mandi untuk menunaikan hajat kecil. Padahal aku tengah memberanikan diri untuk menghubungi Lois. "Apa, Ly?" tanyanya dengan suara tenang. "Bisakah kita pulang sekarang, Lois?" tanyaku berbisik di dalam kamar mandi. Terdengar suara bincang-bincang antar keluarga besar Lois melalui sambungan telfon. "Setengah jam lagi, gimana?" "Aku nggak kuat, Lois." "Kenapa?" "Aku ... nggak nyaman sama anggota keluarga besarmu. Tolong, Lois, jangan tekan aku lebih dari ini. Aku nggak sanggup." Lois menghela nafas lalu kembali bersuara. "Yang namanya menghadapi tantangan tuh ya kayak gini, Ly." "Aku nggak kuat, Lois. Please!" Akhirnya kalimat terakhir penuh penekanan itu menjadi senjata terakhirku memohon pada Lois untuk memulangkanku. "Oke," ucapnya dengan berat hati. Hatiku melega
Baru kali itu Lois menciumku selembut dan selama itu. Serasa aku benar-benar diinginkan olehnya dan ... apakah Lois sudah mencintaiku? Ah ... aku malu sekali dan bukankah kalau terlalu besar rasa nanti justru bisa merubah keadaan yang sudah tertata rapi menjadi berantakan. Seakan mendahului takdir. Namun, ada yang berbeda dengan hari ini karena sudah pukul lima pagi tapi Lois masih bergelung nyaman di dalam selimut dengan posisi membelakangiku. Lampu kamar pun masih redup. "Lois, kamu nggak kerja?" tanyaku sambil menggoyang lengannya. "Hem? Apa, Ly?" tanyanya dengan suara serak. "Kamu nggak kerja?" "Izin sehari." Lalu Lois kembali bergelung di bawah selimut, melanjutkan tidurnya yang terputus karena pertanyaanku. Ingin bertanya apa alasannya, aku tidak tega membangunkan dia yang nampaknya sangat menikmati lelapnya. Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar mandi lalu membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan. Bertepatan dengan itu, Pak Wawan, asistennya Lois, juga berada d
"Lois ke China? Menyembuhkan diri? Apa maksudnya, Pak Wawan?" tanyaku dengan menatap Pak Wawan serius. Sepertinya aku melewatkan banyak hal yang tak pernah kuketahui tentang kabar Lois selama kami tidak berkomunikasi tiga tahun. Pak Wawan seperti menimbang-nimbang apa yang akan diucapkan. Apa dia tidak berniat mengatakan segalanya padaku? Masih ingin menyembunyikan fakta besar dariku tentang Lois? "Pak Wawan, aku mohon jangan sembunyiin apapun dariku. Cukup tiga tahun aku nggak tahu sama sekali kabar Lois. Dan sekarang, tolong jangan biarin aku terus nggak tahu apapun tentang kehidupannya kala itu," mohonku dengan mengatupkan kedua tangan. Keraguan dan ketidakyakinan untuk mengatakan segalanya padaku tergambar jelas di wajah Pak Wawan. "Kalau Pak Wawan takut dimarahi Lois, aku janji bakal simpan rahasia ini baik-baik. Kalau sampai Lois macam-macam biar aku yang maju di depan Pak Wawan." Sepertinya dengan menawarkan diriku sebagai benteng pertahanan agar Pak Wawan mau mengatakan
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.