1784 kata ... enjoy reading ...
Kepalaku menggeleng tegas sambil menatap tangan yang digenggam Lois.“Aku takut, Lois. Aku ini cuma perempuan biasa tanpa kekuasaan apapun. Melawan keluargamu itu sama kayak aku cari mati. Aku nggak sanggup dan nggak sekuat itu, Lois.”“Lalu gimana sama janjimu? Kesepakatan kita? Apa mau ingkari lagi?!”Aku terdiam dengan kepala tetap menunduk.Sungguh, aku ingin sekali memperjuangkan Lois yang mulai mau membuka hatinya untukku, namun menghadapi keluarga Hartadi itu bukan hal yang bisa dilakukan oleh perempuan lemah sepertiku. "Lois, aku ... "Lalu Lois sedikit menarik tanganku dengan mencengkeramnya.“Aku nggak pernah sekalipun ingkar sama janjiku ke kamu, Ly. Tapi kamu malah mau ingkar untuk yang kedua kalinya. Apa kurang hukuman yang selama ini aku berikan sampai kamu mau ingkar untuk yang kedua kalinya?""Bukan begitu, Lois.""Aku benar-benar nggak terima, Ly. Dan kalau aku sakit hati, jangan salahin siapa-siapa kalau orang terdekatmu sekalipun bakal kena sasaranku!”Ancaman Lois
Sebenarnya di rumah Romonya Lois masih ada acara berkumpul bersama untuk membicarakan banyak hal. Tapi, aku merasa sangat tertekan berada di antara mereka usai makan malam. Akhirnya aku pura-pura ke kamar mandi untuk menunaikan hajat kecil. Padahal aku tengah memberanikan diri untuk menghubungi Lois. "Apa, Ly?" tanyanya dengan suara tenang. "Bisakah kita pulang sekarang, Lois?" tanyaku berbisik di dalam kamar mandi. Terdengar suara bincang-bincang antar keluarga besar Lois melalui sambungan telfon. "Setengah jam lagi, gimana?" "Aku nggak kuat, Lois." "Kenapa?" "Aku ... nggak nyaman sama anggota keluarga besarmu. Tolong, Lois, jangan tekan aku lebih dari ini. Aku nggak sanggup." Lois menghela nafas lalu kembali bersuara. "Yang namanya menghadapi tantangan tuh ya kayak gini, Ly." "Aku nggak kuat, Lois. Please!" Akhirnya kalimat terakhir penuh penekanan itu menjadi senjata terakhirku memohon pada Lois untuk memulangkanku. "Oke," ucapnya dengan berat hati. Hatiku melega
Baru kali itu Lois menciumku selembut dan selama itu. Serasa aku benar-benar diinginkan olehnya dan ... apakah Lois sudah mencintaiku? Ah ... aku malu sekali dan bukankah kalau terlalu besar rasa nanti justru bisa merubah keadaan yang sudah tertata rapi menjadi berantakan. Seakan mendahului takdir. Namun, ada yang berbeda dengan hari ini karena sudah pukul lima pagi tapi Lois masih bergelung nyaman di dalam selimut dengan posisi membelakangiku. Lampu kamar pun masih redup. "Lois, kamu nggak kerja?" tanyaku sambil menggoyang lengannya. "Hem? Apa, Ly?" tanyanya dengan suara serak. "Kamu nggak kerja?" "Izin sehari." Lalu Lois kembali bergelung di bawah selimut, melanjutkan tidurnya yang terputus karena pertanyaanku. Ingin bertanya apa alasannya, aku tidak tega membangunkan dia yang nampaknya sangat menikmati lelapnya. Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar mandi lalu membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan. Bertepatan dengan itu, Pak Wawan, asistennya Lois, juga berada d
"Lois ke China? Menyembuhkan diri? Apa maksudnya, Pak Wawan?" tanyaku dengan menatap Pak Wawan serius. Sepertinya aku melewatkan banyak hal yang tak pernah kuketahui tentang kabar Lois selama kami tidak berkomunikasi tiga tahun. Pak Wawan seperti menimbang-nimbang apa yang akan diucapkan. Apa dia tidak berniat mengatakan segalanya padaku? Masih ingin menyembunyikan fakta besar dariku tentang Lois? "Pak Wawan, aku mohon jangan sembunyiin apapun dariku. Cukup tiga tahun aku nggak tahu sama sekali kabar Lois. Dan sekarang, tolong jangan biarin aku terus nggak tahu apapun tentang kehidupannya kala itu," mohonku dengan mengatupkan kedua tangan. Keraguan dan ketidakyakinan untuk mengatakan segalanya padaku tergambar jelas di wajah Pak Wawan. "Kalau Pak Wawan takut dimarahi Lois, aku janji bakal simpan rahasia ini baik-baik. Kalau sampai Lois macam-macam biar aku yang maju di depan Pak Wawan." Sepertinya dengan menawarkan diriku sebagai benteng pertahanan agar Pak Wawan mau mengatakan
Akhirnya aku memaksakan diri segera meraih ponsel yang masih berada di dalam tas kerja usai buru-buru mengusap air mata. Juga berdehem berulang kali agar suaraku tidak terdengar kacau di telinga Lois. Malu jika ia mengerti aku sedang berurai air mata. “Halo, Lois,” ucapku pelan dengan suara kubuat senormal mungkin. “Kenapa baru angkat telfonku?” Aku mengambil nafas banyak lalu menghembuskannya perlahan. “Masih ke kamar mandi.” “Oh …” “Emangnya … ada apa kamu nelfon? Ada yang penting?” Sejenak dia tidak langsung menjawab pertanyaanku lalu terdengar obrolan samar-samar. Mungkin Lois sedang bersama teman-teman bandnya. “Kamu habis nangis?” Dia justru balik bertanya. Aku mengerjap mata cepat karena akhirnya Lois menyadari ada yang berbeda dengan suaraku. “Itu … aku flu. Kebanyakan minum es,” kilahku. “Aku pikir kamu nangis,” ucapnya tanpa tedeng aling-aling. “Enggak kok.” “Baguslah kalau gitu. Oh ya, Ly, kayaknya … malam ini aku pulang telat.” Kepalaku mengangguk meski dia t
Biasanya aku akan tiba di rumah pukul lima sore. Tapi kali ini aku baru tiba pukul tujuh malam. Alasannya sudah pasti karena aku baru saja menemui Ishak lalu membeli sesuatu sesuai sarannya. Ini terdengar gila dan ... menggelikan namun aku percaya jika Ishak adalah lelaki yang tulus memberi saran. Meski kami tidak berjodoh tapi dia sudah mengikhlaskan hubungan kami harus berakhir karena Lois menunjukkan taringnya yang tidak main-main. Yaitu menghabisi karir Ishak bahkan sampai akarnya jika nekat menghubungiku lagi. Maklum Lois itu pewaris berharta ratusan milyaran, mudah kalau hanya untuk membabat habis lawannya.Masih memakai setelan kerja dengan membawa sebuah paper bag warna putih berisi sesuatu yang tadi kubeli, aku segera menekan bel pintu rumah. Dalam hitungan detik saja pintu sudah terbuka lebar. "Ya Tuhan, Mbak Lilyah. Kenapa baru pulang?" tanya Bu Sri cemas. Aku sedikit keheranan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat berlebihan. Lalu tanganku mengangkat paper bag di had
Sambil menatap kedua mata Lois di tengah lampu kamar kami yang temaram, perlahan namun pasti, aku melepas tali bathrobe yang sejak tadi melapisi gaun tidurku. Yeah, Ishak memberi saran agar aku membeli sebuah pakaian tidur yang sangat seksi untuk memikat nafsu Lois. Aku menepikan rasa ragu dan takut akan masa depan yang masih menjadi misteri. Dan malam ini aku harus bisa memainkan peranku sebagai seorang istri dan menantu keluarga Hartadi meski masih dianggap 'rumput liar' bahkan 'parasit'! Usai melepas tali bathrobe, aku menanggalkan jubah mandi warna putih itu lalu teronggok di lantai begitu saja. Meski lampu kamar kami temaram, tapi aku yakin Lois masih bisa melihat dengan jelas gaun tidur berenda warna merah yang begitu tipis ini melekat di tubuhku untuk menyenangkannya. Matanya menatapku lekat bahkan seperti jarang berkedip. Inginkah Lois malam ini melewati malamnya bersamaku? Kemudian aku melangkah pelan mendekatinya tanpa memutus tatapan kami. Agar Lois tahu jika malam in
“Urusan cowok,” ucap Lois santai dengan mengusapkan gel di rambutnya. Kedua alisku masih berkerut bingung dengan jawabannya. Kemudian berspekulasi apakah dia akan … Dengan mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosku yang baru saja dinikmati Lois hingga sebatas dada, aku duduk di atas ranjang dengan menatapnya intens. “Maksudnya apa, Lois?” “Kepo.” Ingin sekali kutendang pantat Lois. Sudah diberi kepuasan dua kali sekarang justru membuatku penasaran. “Lois, Ishak nggak salah apapun. Sumpah demi Tuhan, kemarin kita nggak ngelakuin apa-apa. Kita cuma ngobrol singkat aja. Kamu jangan salah paham,” terangku dengan menatapnya lekat. Usai menyisir rambut dengan begitu rapi, Lois melatakkan sisir lalu tangannya bergerak di depan sensor lampu hingga kamar kami terlihat terang benderang. Sedang di luar masih gelap. Aduh … malu sekali rasanya aku hanya mengenakan selimut sebatas dada untuk menutupi tubuh polosku. Belum lagi rambutku yang acak-acakan karena percintaan semalam kami. “K