1785 kata ... enjoy reading ... Terima kasih banyak untuk dukungan kakak semua atas novel ini.
Akhirnya aku memaksakan diri segera meraih ponsel yang masih berada di dalam tas kerja usai buru-buru mengusap air mata. Juga berdehem berulang kali agar suaraku tidak terdengar kacau di telinga Lois. Malu jika ia mengerti aku sedang berurai air mata. “Halo, Lois,” ucapku pelan dengan suara kubuat senormal mungkin. “Kenapa baru angkat telfonku?” Aku mengambil nafas banyak lalu menghembuskannya perlahan. “Masih ke kamar mandi.” “Oh …” “Emangnya … ada apa kamu nelfon? Ada yang penting?” Sejenak dia tidak langsung menjawab pertanyaanku lalu terdengar obrolan samar-samar. Mungkin Lois sedang bersama teman-teman bandnya. “Kamu habis nangis?” Dia justru balik bertanya. Aku mengerjap mata cepat karena akhirnya Lois menyadari ada yang berbeda dengan suaraku. “Itu … aku flu. Kebanyakan minum es,” kilahku. “Aku pikir kamu nangis,” ucapnya tanpa tedeng aling-aling. “Enggak kok.” “Baguslah kalau gitu. Oh ya, Ly, kayaknya … malam ini aku pulang telat.” Kepalaku mengangguk meski dia t
Biasanya aku akan tiba di rumah pukul lima sore. Tapi kali ini aku baru tiba pukul tujuh malam. Alasannya sudah pasti karena aku baru saja menemui Ishak lalu membeli sesuatu sesuai sarannya. Ini terdengar gila dan ... menggelikan namun aku percaya jika Ishak adalah lelaki yang tulus memberi saran. Meski kami tidak berjodoh tapi dia sudah mengikhlaskan hubungan kami harus berakhir karena Lois menunjukkan taringnya yang tidak main-main. Yaitu menghabisi karir Ishak bahkan sampai akarnya jika nekat menghubungiku lagi. Maklum Lois itu pewaris berharta ratusan milyaran, mudah kalau hanya untuk membabat habis lawannya.Masih memakai setelan kerja dengan membawa sebuah paper bag warna putih berisi sesuatu yang tadi kubeli, aku segera menekan bel pintu rumah. Dalam hitungan detik saja pintu sudah terbuka lebar. "Ya Tuhan, Mbak Lilyah. Kenapa baru pulang?" tanya Bu Sri cemas. Aku sedikit keheranan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat berlebihan. Lalu tanganku mengangkat paper bag di had
Sambil menatap kedua mata Lois di tengah lampu kamar kami yang temaram, perlahan namun pasti, aku melepas tali bathrobe yang sejak tadi melapisi gaun tidurku. Yeah, Ishak memberi saran agar aku membeli sebuah pakaian tidur yang sangat seksi untuk memikat nafsu Lois. Aku menepikan rasa ragu dan takut akan masa depan yang masih menjadi misteri. Dan malam ini aku harus bisa memainkan peranku sebagai seorang istri dan menantu keluarga Hartadi meski masih dianggap 'rumput liar' bahkan 'parasit'! Usai melepas tali bathrobe, aku menanggalkan jubah mandi warna putih itu lalu teronggok di lantai begitu saja. Meski lampu kamar kami temaram, tapi aku yakin Lois masih bisa melihat dengan jelas gaun tidur berenda warna merah yang begitu tipis ini melekat di tubuhku untuk menyenangkannya. Matanya menatapku lekat bahkan seperti jarang berkedip. Inginkah Lois malam ini melewati malamnya bersamaku? Kemudian aku melangkah pelan mendekatinya tanpa memutus tatapan kami. Agar Lois tahu jika malam in
“Urusan cowok,” ucap Lois santai dengan mengusapkan gel di rambutnya. Kedua alisku masih berkerut bingung dengan jawabannya. Kemudian berspekulasi apakah dia akan … Dengan mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosku yang baru saja dinikmati Lois hingga sebatas dada, aku duduk di atas ranjang dengan menatapnya intens. “Maksudnya apa, Lois?” “Kepo.” Ingin sekali kutendang pantat Lois. Sudah diberi kepuasan dua kali sekarang justru membuatku penasaran. “Lois, Ishak nggak salah apapun. Sumpah demi Tuhan, kemarin kita nggak ngelakuin apa-apa. Kita cuma ngobrol singkat aja. Kamu jangan salah paham,” terangku dengan menatapnya lekat. Usai menyisir rambut dengan begitu rapi, Lois melatakkan sisir lalu tangannya bergerak di depan sensor lampu hingga kamar kami terlihat terang benderang. Sedang di luar masih gelap. Aduh … malu sekali rasanya aku hanya mengenakan selimut sebatas dada untuk menutupi tubuh polosku. Belum lagi rambutku yang acak-acakan karena percintaan semalam kami. “K
Jika sudah begini, aku bisa apa selain menghubungi Ishak balik. Masa bodoh dengan ancaman Lois yang akan menghukumku karena melanggar janji. Masalahnya ini berhubungan dengan nasib Ishak yang tidak bersalah apapun namun harus menanggung akibat yang kulakukan. Aku segera menekan tombol telfon pada kontak Ishak sambil berharap cemas bagaimana nasib sahabat baikku ini. Dengan langkah mondar mandir di dalam kamar dan tangan menempelkan telfon ke telinga, aku bingung setengah mati harus melakukan apa. "Angkat, Shak! Kamu dimana!" gumamku kesal. Lalu jemariku menekan ulang nomernya namun tetap saja tidak diangkat. Padahal aku membutuhkan penjelasannya tentang ajakan Lois untuk bertemu. Sebab tadi pagi suamiku itu tidak menjelaskan secara detail apa tujuannya mengajak Ishak bertemu. Lois begitu mudah mengalihkan perhatianku untuk tidak bertanya lagi tentang Ishak dengan membicarakan hal lain. "Bodohnya aku!" geramku sambil mencari cara karena Ishak tidak kunjung mengangkat panggilank
Seperti pagi sebelumnya, sebelum berangkat ke Bandung, Lois meminta haknya dengan alasan ... "Aku butuh vitamin, Ly. Hari ini bakal berat kerjaku," ucapnya dengan senyum nakal yang membuatku malu. Usai menyentuhku dengan beringas disertai kecupan di leher dan pundak, Lois mendapatkan pelepasannya dengan nafas terengah-engah berada di atasku. Ekspresi wajahnya yang terlihat sangat puas, dengan rambut berantakan karena ulah tanganku yang meremasnya berulang kali, dan punggung dipenuhi keringat yang menjadi saksi betapa bersemangatnya Lois mencumbuku. "Makasih, swetheart," ucapnya kemudian mencium pipiku. Dipanggil 'sweatheart' saja aku sudah sangat bahagia. Bukankah ini sebuah kemajuan? Aku pun membalas memberinya ciuman di pipi lalu Lois beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sungguh bahagia aku mendapati Lois yang kini boleh dibilang mulai 'kecanduan' akan diriku. Meski belum ada kata 'cinta' yang terucap dari bibirnya, tapi perlakuannya sudah menunjukkan hal yang m
Usai membersihkan tubuh dan berganti pakaian, aku kembali menjamu Eyang di ruang tengah. "Eyang pulang dulu, Ly," pamit beliau.Kemudian beliau dibantu perawatnya berdiri. "Eyang tidak menginap di sini?" tanyaku yang juga ikut berdiri. "Nanti Romonya Lubis curiga kalau Eyang ada di belakangmu. Jadi sebisa mungkin Eyang bakal bantu kamu tapi sembunyi-sembunyi." Kepalaku mengangguk pelan, "Terima kasih banyak, Eyang."Baru dua langkah Eyang berjalan, aku membuka suara kembali. "Eyang, apa saya boleh tanya lagi?" "Apa?" tanya beliau dengan menoleh padaku. "Kira-kira ... kapan Lois akan dikenalkan dengan perempuan itu?" "Eyang nggak tahu kapan pastinya, Ly. Tapi kamu bisa meneliti dari sikap Lubis yang mungkin nanti banyak berubah dari biasanya. Karena Eyang berani jamin, Lubis nggak akan sampai hati bilang tentang perempuan ini ke kamu."Aku kembali menunduk dengan perasaan carut marut tak menentu. "Ingat pesan Eyang, Ly. Jangan larut dalam kesedihan. Kamu nggak sendiri. Ada Eyan
"Siapa yang mengundangmu kemari?!" tanya Romonya Lois dengan suara begitu tegas meski tidak keras. Kemudian aku menghadap beliau dan memungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Meski bukan menantu idaman, tapi aku tidak mau bersikap kurang ajar pada orang yang lebih tua. "Saya datang ... atas undangan panggilan hati, Pak Presdir." Aku masih memanggilnya Pak Presdir, bukan Romo. Ah ... apalah daya, beliau masih belum mengizinkan aku menganggapnya sebagai seorang ayahku jua. "Omong kosong apa lagi yang akan kamu mainkan, heh?!" Kemudian beliau menatap Pak Wahyu, asisten pribadinya, dan Pak Wawan, asisten pribadi Lois. "Bawa keluar perempuan rendahan ini!" titahnya. Kedua asisten itu saling pandang ketika mendapat perintah seperti itu. "Apa yang kalian tunggu?!" tegas Ibunya Lois yang melihat kedua asisten itu tidak bergerak. Mungkin karena mereka sudah mengenalku, dan merasa tidak enak serta bingung mendapat perintah tersebut dari Pak Presdir. "Cepat bawa dia keluar!" Ibuny