enjoy reading ... Akhirnyaaaaa.... bahagia. 6 bulan sudah author menulis novel ini dengan penuh rasa. Tinggal beberapa chapter lagi menuju Tamat. Jangan sedih dengan akhirnya nanti kayak apa. Karena akan ada sekuelnya. Tapi tentang Luis dan Lewis. Selamat malam semuanya.
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
"Bawa aku ke hotel sekarang. Cepat!""Aku turuti keinginanmu. Akan kuberikan apa yang kamu mau, Ly!"Satu potong ingatan panas itu membuat tangan yang sedang membawa secangkir berisi kopi cappucino panas, tiba-tiba terlepas. Ceceran kristal bening dan cairan hitam kopi terburai di lantai. Ujung celana kain kerja berwarna peach juga ikut ternoda oleh percikan hitam kopi. Seperti noda tak kasat mata yang tertinggal di tubuhku pasca one night stand yang memporak-porandakan hidupku. Kejadian tiga bulan silam itu selalu menghantui hidupku. Dan selalu kurahasiakan pada siapapun kecuali pada Tuhan. Ia tahu sekali jika aku melakukan itu di bawah alam sadar. Aku enggan membuat kopi lagi kemudian kembali ke kubikel untuk melanjutkan pekerjaan. "Ly, kayaknya kita nggak bisa pulang bareng," itu suara tunanganku, Ishak. Lelaki dewasa dan baik hati yang usinya terpaut tujuh tahun dariku. "Kenapa, Shak? Kamu lembur?" "Ada sidak jadi aku harus standby. Sorry ya, sayang. Nggak apa-apa kan kamu p
"Perempuan nggak punya malu kamu, Ly! Udah kotor, masih juga ngotot pengen dinikahi Ishak! Anakku itu lelaki bermartabat! Cocoknya sama perempuan baik-baik yang nggak mudah main gila kayak kamu!" bentakan calon ibu mertua menggema di dalam ruang tamu rumah keluargaku dengan telunjuk mengarah padaku. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang tak termaafkan hingga kedua bola matanya membulat sempurna dengan alis terangkat tinggi.Ya, ibu mana yang mengizinkan anak lelakinya menikahi perempuan ternoda sepertiku meski pada kenyataannya aku adalah korban. Siapapun orang tua, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Apapun itu persoalannya. "Tapi, Tante, aku berani sumpah kalau aku dijebak! Aku berusaha mengingat semuanya dan nyari tahu siapa lelaki itu. Tapi aku nggak ingat apapun.""Wajar kamu nggak ingat! Karena saking enaknya. Ya ‘kan?!" ucapnya sinis dengan mata menatapku nyalang."Sumpah demi Tuhan, Tante. Aku nggak bohong!" Calon ibu mertua mengangkat fotoku tinggi-tinggi, "Lalu fo
Keesokan harinya setelah aku pulang bekerja, rumah masih sama panasnya dengan cuaca musim kemarau. Bahkan panasnya bisa mengiris kulit tubuhku namun aku berusaha menebalkan telinga. Memangnya dimana lagi aku akan tinggal selain di ruamh ini? "Kenapa dia masih tidur di rumah ini?!""Paa, Lilyah itu anakmu! Kalau kamu ngusir dia, mau tidur dimana malam-malam begini?""Apa kamu lupa? Kalau anakmu itu perempuan nakal?! Harusnya kamu nggak perlu khawatir dia bakal kenapa-napa karena dia udah akrab sama yang namanya dunia malam!""Hati-hati kalau berucap, Paa! Lilyah itu anakmu!""Kalau dia bukan perempuan nakal, dia nggak bakal tidur sama lelaki lain padahal sebentar lagi mau menikah! Itu namanya perempuan yang nggak bisa menjaga harga dirinya!"Kedua orang tuaku masih saja berdebat soal terungkapnya foto-foto terlaknatku dengan lelaki misterius itu. Entah siapa pengirimnya, aku dan Mama tidak tahu menahu soal itu. "Asal kamu tahu ya, Ma. Foto Lilyah ikut tersebar di grup dasawisma peruma
"Perempuan murahan? Apa maksudmu, Ly?" Ishak bertanya dengan kening berkerut dalam. Dengan air mata yang seakan tidak mau berhenti membasahi pipi, aku kembali membuka suara. "Shak, aku udah nggak virgin lagi." Seketika wajah Ishak berubah terkejut, "Ly, aku nggak ngerti apa maksudmu." Baiklah, ini artinya Ishak meminta penjelasan utuh dariku. Dan sesuai keinginan kedua orang tuanya, aku harus membatalkan pernikahan kami karena aku yang memilih mundur. Meski ada desakan dari kedua orang tuanya di dalam pembatalan ini yang tidak boleh kuutarakan pada Ishak. "Shak, aku nggak bisa menjaga kehomatanku untuk kamu. Aku ... aku udah nggak suci lagi. Aku ... kotor," usai berucap demikian tangisku makin tergugu. Bertepatan dengan itu Ishak menarik tangannya cepat dari genggaman kedua tanganku. Persis ketika malaikat pencabut nyawa menarik jiwa seorang anak manusia dari raganya. "Kamu mengkhianati hubungan kita? Atau ada seseorang yang memaksa kamu berkhianat dariku?" Andai aku bisa memb
"Kalau kamu ada masalah di rumah, jangan dibawa ke kantor, Lilyah! Karena kami tidak menggaji karyawati yang tidak profesional sama sekal! Kami butuh karyawati yang siap bekerja!" "Maafkan saya, Bu." Atasanku memberi peringatan tegas karena dua hari ini aku terlambat masuk kantor dan beberapa komplain calon penumpang maskapai yang kutangani tidak terselesaikan dengan baik. Akhirnya mereka mengirim surat elektronik yang sialnya langsung terhubungan dengan atasanku, Bu Dira. "Sekali lagi kamu tidak becus bekerja, silahkan kirim surat pengunduran dirimu ke bagian HRD!" Usai mendapat teguran, aku kembali ke kubikel dengan wajah tidak ceria sama sekali. Masalah yang menghampiri belakangan ini membuatku tidak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup. Sudah kehilangan kehormatan, kehilangan calon suami, dibenci keluarga, menjadi bahan gunjingan tetangga, dan kini tidak bekerja dengan baik. Setelah seharian memaksa diri dan hati untuk bekerja, akhirnya aku kembali pulang dengan sesak di
"Ada, Paa. Aku bisa cariin laki-laki yang bisa diajak kompromi. Temanku kan banyak." Papa menatap Mama sejenak kemudian kembali menatap Vela. Beliau bimbang harus memutuskan apa karena foto syurku terlanjur diketahui warga perumahan. "Apa dengan dia menikah dengan lelaki sembarangan itu, nama baik kita bisa berubah bersih?" tanya Papa pada Vela. "Ya kan seenggaknya, tetangga mikirnya kalau Kak Lily tuh udah tidur sama lelaki yang menikahi dia. Lumrah kan, Paa.""Lalu, apa harus pakai acara resepsi juga?" "Ya nggak usah lah, Paa. Namanya juga married by accident. Yang penting cepet menikah sebelum ketahuan hamil duluan. Masih untung undangannya sama Kak Ishak belum kesebar." Bagaimana bisa Vela begitu enteng membahas hal ini bersama Papa dihadapanku. Bahkan apapun yang mereka putuskan dan bicarakan, aku sama sekali tidak mampu untuk menyahuti. Selelah itulah raga dan jiwaku ini."Hamil duluan katamu?" "Ya mana kutahu, Paa.""Seenggaknya, Lily jangan diusir dari rumah ini. Dia pun