"Perempuan murahan? Apa maksudmu, Ly?" Ishak bertanya dengan kening berkerut dalam.
Dengan air mata yang seakan tidak mau berhenti membasahi pipi, aku kembali membuka suara. "Shak, aku udah nggak virgin lagi."Seketika wajah Ishak berubah terkejut, "Ly, aku nggak ngerti apa maksudmu."Baiklah, ini artinya Ishak meminta penjelasan utuh dariku. Dan sesuai keinginan kedua orang tuanya, aku harus membatalkan pernikahan kami karena aku yang memilih mundur. Meski ada desakan dari kedua orang tuanya di dalam pembatalan ini yang tidak boleh kuutarakan pada Ishak."Shak, aku nggak bisa menjaga kehomatanku untuk kamu. Aku ... aku udah nggak suci lagi. Aku ... kotor," usai berucap demikian tangisku makin tergugu.Bertepatan dengan itu Ishak menarik tangannya cepat dari genggaman kedua tanganku. Persis ketika malaikat pencabut nyawa menarik jiwa seorang anak manusia dari raganya."Kamu mengkhianati hubungan kita? Atau ada seseorang yang memaksa kamu berkhianat dariku?"Andai aku bisa membela diri dihadapan Ishak lalu kedua orang tuanya bersedia memaafkan aku, mungkin akan kulakukan. Masalahnya, sekuat apapun aku membela diri dan menjelaskannya pada Ishak, keputusan akhir dari nasib pernikahan kami tetaplah sama.BATAL.TIDAK ADA RESTU."Lilyah! Jawab!" Ishak meminta penjelasan dengan amat tidak sabar."Aku mencintaimu, Shak. Tapi aku nggak bisa ngelanjutin hubungan kita. Lebih baik pernikahan kita dibatalin aja. Kamu berhak mendapat perempuan yang lebih baik dari aku."Dengan wajah bersungut marah, Ishak meremas rambutnya, "Kamu mengkhianati aku sejak awal? Lalu kenapa kamu nggak bilang dari awal, Lilyah!? Kenapa baru sekarang ketika persiapan pernikahan kita udah sejauh ini?! Kenapa?!"Teriakan Ishak membuat pengunjung restauran dan musisi recehan yang tengah bermusik ikut menatap ke arah kami.Sedang aku hanya bisa tergugu sedih dengan menunduk sedalam-dalamnya. Permintaan maaf pun tidak akan cukup membuat luka di hati Ishak terobati."Seenggaknya, kalau kamu emang nggak serius sama aku, tolong jangan permainin perasaanku sedalam ini, Ly. Kamu benar-benar keterlaluan!""Shak, aku nggak pernah main-main sama hubungan kita. Aku mencintaimu tapi ujian ini datang diluar kuasaku.""Cinta katamu?! Ini bukan cinta, Ly! Ini pengkhianatan paling nyata!"Tanpa bertanya lagi, Ishak berdiri kemudian melepas cincin pertunangan kami dan meletakkannya kasar di atas meja. Cincin yang kami pilih bersama-sama dengan ukiran nama kami dan tanggal pertunangan di bagian dalamnya."Lakukan apa yang kamu mau, Lilyah! Selamat tinggal dan jangan cari aku lagi meski hanya untuk meminta maaf!"Langkah sepatu kerja Ishak terdengar jelas beradu dengan lantai bar and restaurant ini ketika menjauh dariku yang masih duduk sendiri dengan tangis pilu. Bahwa satu kenyataan pahit yang harus kutelan mentah-mentah jika aku telah kehilangan separuh jiwaku.Jemariku terulur mengambil cincin milik Ishak yang terukir namaku disana lalu kugenggam erat-erat. Biarlah aku menangis sendiri di atas kursi ini tanpa memperdulikan tatapan simpati dari pengunjung yang lain.Biarlah mereka tahu jika aku patah hati. Jika aku sedang tidak baik-baik saja. Bahkan ingin rasanya aku marah pada takdir yang membuatku kehilangan lelaki sebaik Ishak."Apa salahku, Tuhan? Kenapa aku harus menerima kenyataan pahit ini?"***Belum kering luka di hati pasca perpisahanku dengan Ishak, kini Papa menambahnya dengan kata-kata yang membuatku menyadari satu hal. Bahwa kehadiranku tidak diharapkan lagi di rumah ini."Paa, ayo sarapan dulu," ajak Mama setelah sarapan tersaji.Papa yang sudah siap dengan setelan seragam kerjanya, justru menolak, "Papa mau makan kalau anak itu pergi dari rumah ini!"Aku yang tengah mengunyah roti bakar pun hanya bisa menunduk."Paa, Lilyah itu anakmu. Maafin dia. Ini semua musibah.""Anakku cuma satu. Vela."Adikku Vela hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Papa lalu kembali mengunyah roti bakarnya."Ayo, Vel. Kita sarapan diluar aja. Papa tambahin uang jajanmu."Dengan hati-hati Vela meletakkan roti bakarnya di atas piring lalu berbisik padaku, "Aku berangkat dulu sama Papa ya, Kak. Nggak jadi nebeng Kak Lily."Vela segera menyambar tas kuliahnya lalu berjalan cepat mengikuti Papa. Namun Papa kembali berseru sebelum keluar dari pintu rumah."Papa kasih kamu waktu sampai besok untuk meninggalkan rumah ini, Ly. Malu sama tetangga karena udah ada yang tahu kelakuan bejatmu itu! Dasar anak nggak tahu diri!"Mendengar ucapan Papa, aku merinding membayangkan tubuhku diseret tetangga lalu digiring berjamaah keluar kompleks perumahan. Dengan tabungan yang belum seberapa, aku tidak yakin bisa hidup mandiri di luar sana.Kini, kejutan apa lagi yang kuterima? Dan mengapa tetangga pun sampai tahu hal ini? Siapa musuhku yang sebenarnya?
"Kalau kamu ada masalah di rumah, jangan dibawa ke kantor, Lilyah! Karena kami tidak menggaji karyawati yang tidak profesional sama sekal! Kami butuh karyawati yang siap bekerja!" "Maafkan saya, Bu." Atasanku memberi peringatan tegas karena dua hari ini aku terlambat masuk kantor dan beberapa komplain calon penumpang maskapai yang kutangani tidak terselesaikan dengan baik. Akhirnya mereka mengirim surat elektronik yang sialnya langsung terhubungan dengan atasanku, Bu Dira. "Sekali lagi kamu tidak becus bekerja, silahkan kirim surat pengunduran dirimu ke bagian HRD!" Usai mendapat teguran, aku kembali ke kubikel dengan wajah tidak ceria sama sekali. Masalah yang menghampiri belakangan ini membuatku tidak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup. Sudah kehilangan kehormatan, kehilangan calon suami, dibenci keluarga, menjadi bahan gunjingan tetangga, dan kini tidak bekerja dengan baik. Setelah seharian memaksa diri dan hati untuk bekerja, akhirnya aku kembali pulang dengan sesak di
"Ada, Paa. Aku bisa cariin laki-laki yang bisa diajak kompromi. Temanku kan banyak." Papa menatap Mama sejenak kemudian kembali menatap Vela. Beliau bimbang harus memutuskan apa karena foto syurku terlanjur diketahui warga perumahan. "Apa dengan dia menikah dengan lelaki sembarangan itu, nama baik kita bisa berubah bersih?" tanya Papa pada Vela. "Ya kan seenggaknya, tetangga mikirnya kalau Kak Lily tuh udah tidur sama lelaki yang menikahi dia. Lumrah kan, Paa.""Lalu, apa harus pakai acara resepsi juga?" "Ya nggak usah lah, Paa. Namanya juga married by accident. Yang penting cepet menikah sebelum ketahuan hamil duluan. Masih untung undangannya sama Kak Ishak belum kesebar." Bagaimana bisa Vela begitu enteng membahas hal ini bersama Papa dihadapanku. Bahkan apapun yang mereka putuskan dan bicarakan, aku sama sekali tidak mampu untuk menyahuti. Selelah itulah raga dan jiwaku ini."Hamil duluan katamu?" "Ya mana kutahu, Paa.""Seenggaknya, Lily jangan diusir dari rumah ini. Dia pun
"Panggil aja anakmu itu!" Papa berucap dengan nada sedikit membentak. "Kalau Papa nggak mau bilang tamu itu siapa, lebih baik Lilyah tetap di kamar!" Mama juga tidak mau kalah berargumen dengan Papa. Kemudian Papa menghela nafas kasar sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya terlihat menahan emosi yang teramat karena selalu dihadapkan dengan pertengkaran bersama Mama. "Dia ---""Pa, anaknya udah aku persilahkan duduk," Vela menyela obrolan Mama dan Papa dengan wajah sumringah dan bahagiaAdikku telah berubah dengan tidak lagi bersikap manis itu justru bertindak sebagai angin yang terus berhembus di ladang hati Papa yang tengah terbakar. Akibatnya usahaku dan Mama menaburkan air yang tidak seberapa untuk meredam amarah Papa, tidak sepenuhnya berhasil. Alih-alih justru gagal. "Suruh anakmu keluar!"Hanya itu yang Papa katakan lalu aku kembali luruh ke lantai dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Tidak lama kemudian, Mama mengetuk kamarku. Beliau menyuruhku untuk memakai baju
Siapa bilang Lois itu tampan?Jika ada yang bilang dia tampan, mungkin itu adalah kucing betina yang benar-benar buruk rupa hingga tidak ada kucing jantan yang sudi mengajaknya berkencan. Oh ayolah ... Lois, si lelaki yang berprofesi sebagai seniman recehan dengan pendapatan pas-pasan ditunjang dengan wajah yang tidak rupawan. Dia memiliki model rambut yang disisir ke belakang dengan gel murahan, kaos hitam setengah pudar yang dibungkus dengan kemeja flanel biru abu-abu usang dan celana jeans belel yang mulai kelihatan tidak layak dikenakan.Seriuskah Papa akan menghancurkan masa depanku dengan menikahkanku dengannya?! Garis wajahnya sangat minimal sekali, hanya hidung saja yang mancung. Selebihnya dia tidak memiliki daya tarik apapun dan aku berani jamin jika dia berasal dari keluarga yang kastanya lebih rendah dari pada keluargaku. Ini mimpi buruk!Bahkan dia sama sekali tidak jauh lebih baik seujung kuku Ishak. Tunangan yang harus kulepaskan secara paksa karena kebodohanku. Mu
Saat aku hanya diam menatap tangan Lois yang terulur padaku, dengan cepat Mama mengulurkan tangan kananku untuk meraih tangannya. Dengan setengah terkejut, aku menuruti apa yang sudah Mama lakukan. Pasalnya, keinginan untuk mengabaikan pernikahan ini lalu pergi meninggalkan Lois di tengah-tengah acara sudah membayangi pikiranku. Tapi, karena ulah Mama, akhirnya aku menerima tangan Lois lalu menciumnya sekilas dihadapan para petugas agama yang menikahkan kami dan siapa saja yang datang. Setelahnya, aku segera melepas tangan Lois dan ia hanya tersenyum tipis dengan bentuk lengkungan yang membuatku berpikir jika ia sedang menikmati betapa tersiksanya aku melakukan hal ini. Ketika dia datang seperti pahlawan kesiangan yang benar-benar nyata untukku, ingin rasanya satu waktu nanti giliranku yang akan menertawakannya balik. Tunggu saja, Lois!"Pengantin perempuannya masih syok ya kalau udah nikah," ucap petugas urusan agama. "I ... iya, Pak," jawab Mama dengan senyum terpaksanya. Lalu
"Yang menghancurkan masa depanmu, adalah kamu sendiri! Jadi, berhenti menunjuk Papa sebagai orang tua yang nggak benar! Justru menikahkan kamu adalah pilihan terbaik meski harus sama pengamen sekalipun kayak Lois!" ucap Papa kasar. Aku melirik Lois yang bermuka cuek dan masa bodoh meski dihina Papa sedemikian menyakitkan. Dia seakan-akan kenyang dengan segala hinaan orang karena profesinya yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah."Ingat Lilyah, kalau fotomu itu udah kesebar di satu kompleks perumahan! Memang lelaki benar mana yang mau menikahi kamu?! Masih syukur Lois mau sama kamu meski ujung-ujungnya dia mau nerima kamu karena duit!" "Dasar anak nggak tahu diri! Ngaca yang bener baru menghardik orang tua! Udah salah, masih protes melulu!" jelas Papa panjang lebar.Selepas mengatakan kekesalannya pada kami berdua, betapa malunya aku dihadapan Lois dan ketiga temannya yang mendengar pertengkaranku dengan Papa. Pernikahan yang baru diselenggarakan, bahkan kurang dari dua jam saj
Lois menunjukkan kardus besar yang disembunyikan di balik tubuh tingginya. Dia mengangkatnya sedikit lebih tinggi dengan ekspresi acuh. "Buat apa kamu bawa kardus kemari?" tanyaku dengan suara serak sehabis menangis. Bahkan aku setengah malu karena dia melihatku dengan kondisi sehabis berurai air mata. Pasti penampilanku sudah jauh dari kata layak dipandang mata. "Pindahan." "Apa maksudnya?" Dia menghela nafas pendek lalu kembali berucap, "Papamu ngasih kardus ini ke aku. Katanya suruh bantuin kamu packing dari sekarang. Besok pagi kita harus udah nggak ada di rumah ini lagi." Aku menelan kenyataan pedih ini sambil memejamkan mata erat-erat. Demi Tuhan, aku menyumpahi Papa akan sangat menyesal karena telah mengusirku dengan cara yang teramat buruk. Dia tega mengusir darah dagingnya sendiri yang difitnah oleh orang tidak bertanggung jawab. Papa seperti apa dirinya itu?! Bukannya membantuku mencari tahu siapa dalang dibalik fitnah yang membuat keluargaku menanggung malu hingga a
Apa yang kuharapkan dari lelaki .... ah bukan, tetapi suami. Ya, suami. Apa yang kuharapkan dari suami yang berprofesi sebagai seniman recehan ketika membawaku keluar dari rumah yang menjadi istana tempatku dilahirkan? Dijemput mobil bagus? Dengan hiasan indah di atapnya? Lalu membawaku menuju hotel berbintang yang sudah ia sewa? Dengan kamar presidensial yang dipenuhi bunga mawar merah dan segala pernak-pernik dunia yang membuatku memujanya? MIMPI! Ya, karena kenyataannya Lois tidak memiliki itu semua! Dia hanya memiliki sedikit uang, bahkan aku berani bertaruh jika ia baru tahu rasanya memegang uang sebanyak tiga puluh juta. Itu pun dari hasil menjual masa depannya pada Papa dengan menikahi perempuan kotor sepertiku. Tidak ada acara pelepasan penuh haru biru seperti orang tua kebanyakan saat melepas putri mereka pada lelaki yang baru saja menikahinya. Papa tetap menyantap sarapannya dengan nikmat ditemani Vela, adikku sekaligus musuh baruku. Sedang Mama membantuku membawa
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.