Saat aku hanya diam menatap tangan Lois yang terulur padaku, dengan cepat Mama mengulurkan tangan kananku untuk meraih tangannya. Dengan setengah terkejut, aku menuruti apa yang sudah Mama lakukan. Pasalnya, keinginan untuk mengabaikan pernikahan ini lalu pergi meninggalkan Lois di tengah-tengah acara sudah membayangi pikiranku. Tapi, karena ulah Mama, akhirnya aku menerima tangan Lois lalu menciumnya sekilas dihadapan para petugas agama yang menikahkan kami dan siapa saja yang datang. Setelahnya, aku segera melepas tangan Lois dan ia hanya tersenyum tipis dengan bentuk lengkungan yang membuatku berpikir jika ia sedang menikmati betapa tersiksanya aku melakukan hal ini. Ketika dia datang seperti pahlawan kesiangan yang benar-benar nyata untukku, ingin rasanya satu waktu nanti giliranku yang akan menertawakannya balik. Tunggu saja, Lois!"Pengantin perempuannya masih syok ya kalau udah nikah," ucap petugas urusan agama. "I ... iya, Pak," jawab Mama dengan senyum terpaksanya. Lalu
"Yang menghancurkan masa depanmu, adalah kamu sendiri! Jadi, berhenti menunjuk Papa sebagai orang tua yang nggak benar! Justru menikahkan kamu adalah pilihan terbaik meski harus sama pengamen sekalipun kayak Lois!" ucap Papa kasar. Aku melirik Lois yang bermuka cuek dan masa bodoh meski dihina Papa sedemikian menyakitkan. Dia seakan-akan kenyang dengan segala hinaan orang karena profesinya yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah."Ingat Lilyah, kalau fotomu itu udah kesebar di satu kompleks perumahan! Memang lelaki benar mana yang mau menikahi kamu?! Masih syukur Lois mau sama kamu meski ujung-ujungnya dia mau nerima kamu karena duit!" "Dasar anak nggak tahu diri! Ngaca yang bener baru menghardik orang tua! Udah salah, masih protes melulu!" jelas Papa panjang lebar.Selepas mengatakan kekesalannya pada kami berdua, betapa malunya aku dihadapan Lois dan ketiga temannya yang mendengar pertengkaranku dengan Papa. Pernikahan yang baru diselenggarakan, bahkan kurang dari dua jam saj
Lois menunjukkan kardus besar yang disembunyikan di balik tubuh tingginya. Dia mengangkatnya sedikit lebih tinggi dengan ekspresi acuh. "Buat apa kamu bawa kardus kemari?" tanyaku dengan suara serak sehabis menangis. Bahkan aku setengah malu karena dia melihatku dengan kondisi sehabis berurai air mata. Pasti penampilanku sudah jauh dari kata layak dipandang mata. "Pindahan." "Apa maksudnya?" Dia menghela nafas pendek lalu kembali berucap, "Papamu ngasih kardus ini ke aku. Katanya suruh bantuin kamu packing dari sekarang. Besok pagi kita harus udah nggak ada di rumah ini lagi." Aku menelan kenyataan pedih ini sambil memejamkan mata erat-erat. Demi Tuhan, aku menyumpahi Papa akan sangat menyesal karena telah mengusirku dengan cara yang teramat buruk. Dia tega mengusir darah dagingnya sendiri yang difitnah oleh orang tidak bertanggung jawab. Papa seperti apa dirinya itu?! Bukannya membantuku mencari tahu siapa dalang dibalik fitnah yang membuat keluargaku menanggung malu hingga a
Apa yang kuharapkan dari lelaki .... ah bukan, tetapi suami. Ya, suami. Apa yang kuharapkan dari suami yang berprofesi sebagai seniman recehan ketika membawaku keluar dari rumah yang menjadi istana tempatku dilahirkan? Dijemput mobil bagus? Dengan hiasan indah di atapnya? Lalu membawaku menuju hotel berbintang yang sudah ia sewa? Dengan kamar presidensial yang dipenuhi bunga mawar merah dan segala pernak-pernik dunia yang membuatku memujanya? MIMPI! Ya, karena kenyataannya Lois tidak memiliki itu semua! Dia hanya memiliki sedikit uang, bahkan aku berani bertaruh jika ia baru tahu rasanya memegang uang sebanyak tiga puluh juta. Itu pun dari hasil menjual masa depannya pada Papa dengan menikahi perempuan kotor sepertiku. Tidak ada acara pelepasan penuh haru biru seperti orang tua kebanyakan saat melepas putri mereka pada lelaki yang baru saja menikahinya. Papa tetap menyantap sarapannya dengan nikmat ditemani Vela, adikku sekaligus musuh baruku. Sedang Mama membantuku membawa
"Jangan sentuh aku walau kita udah nikah!" ucapku ketus pada Lois ketika dia mempersilahkan masuk ke dalam taksi.Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, aku hanya diam sambil menatap lalu lalang kendaraan. Hingga pandanganku tertuju pada bar and restaurant tempat aku dan Ishak bertemu untuk pertama dan ... terakhir kali.Kisah cinta kami berawal dari pertemuan di dalam bar and restaurant itu dan berakhir disana pula. Aku hanya bisa mendesah lirih dengan hati yang sesak. Bagaimanapun, kisah kami tidak bisa diulang karena Ishak tidak akan pernah sudi menerimaku lagi. Dia berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih bermartabat dan suci.'Kalau kamu bahagia, aku pun akan turut bahagia, Shak. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Kamu tetap memiliki ruang tersendiri di dalam hatiku meski cinta kita tidak akan pernah bisa bersatu,' batinku.Lois, suamiku itu, tampak akrab berbincang dengan sopir taksi. Mereka membahas timpangnya pembangunan pusat perbelanjaan yang berdiri di atas lahan
Aku kembali mengenakan sepatu lalu berjalan ke arah Lois dengan amarah tertahan kemudian mengambil kedua tasku dari tangannya. "Ini tas aku!" Dia menaikkan kedua alis dan tangannya, "Yang bilang itu tasnya Angelina Jolie juga siapa?" "Jangan banyak omong deh! Sekarang tunjukin dimana rumah kontrakannya?!" tanyaku dengan hati kesal karena Lois nampaknya hobi membuat orang lain kesal dengan kelakuannya. Jarinya menunjuk ke kanan, sebuah rumah yang bentuk bangunannya sama dengan rumah sebelahnya. Hanya wananya saja yang berbeda. Aku berusaha membawa kedua tasku sendiri meski berat lalu menuju rumah itu. Namun, ketika tanganku meraih handle, pintu tidak terbuka sama sekali. Aku hanya bisa mendesah kasar karena baru menyadari jika pintu rumah itu terkunci. Dan Lois pasti memegang kuncinya. Dia membuka tas ransel lalu mengoyak-ayik isinya. Terdengar suara dentingan antara uang koin recehan dengan kunci kontrakan hingga membuatku muak dengan profesi rendahannya. Lalu sekelebat bayan
Dua jam lamanya aku duduk di teras kontrakan tanpa berani masuk ke dalam. Alasannya sederhana, autophobia yang kumiliki membuat ciut keberanianku untuk berada di dalam kontrakan tanpa adanya teman. Bayangan gelap yang terus menghantui di balik kedua kelopak mataku seperti hal yang tidak bisa aku hindari. Semakin melawan ketakutan ini, maka semakin aku tidak bernyali. Lalu, mau sampai kapan aku duduk di teras kontrakan sedang hari terus bergulir menuju gelap? "Apa aku telfon Shala aja ya?" Shala, sahabat baik sekaligus rekan kerjaku. Lalu aku memberanikan diri menelfonnya dan berharap dia bisa datang membantuku. "Sha, lo ada waktu luang nggak hari ini?" tanyaku melalui sambungan telfon. "Gue lagi keluar sama keluarga besar, Ly. Nggak ada di rumah sekarang." "Oh ..." Bahuku lunglai begitu mendapati satu-satunya penolongku untuk bisa melawan autophobia ini ternyata sedang menghabiskan akhir pekannya dengan keluarga yang mencintainya. Tidak seperti aku, yang dibuang oleh keluarga
"Lho, Mbak Lily masih di teras rumah?" itu suara tetangga kontrakan tadi, Indri namanya. "Iya, Mbak." Dia menatap kondisi dalam kontrakanku ketika senja hampir berganti petang, "Kok lampunya belum dihidupin, Mbak?" Aku menggeleng pelan lalu berucap, "Aku nggak berani, Mbak. Soalnya ... aku punya autophobia." "Apa itu, Mbak?" "Takut sendirian apalagi di tempat baru yang nggak ada satu pun yang kukenal." "Naaah, pas itu, Mbak. Mending Mbak Lily telfon suaminya aja biar segera pulang buat nemenin. Eh, tapi ... kalian kayaknya nggak akur ya? Maaf lho, Mbak. Bukannya ikut campur urusan rumah tangganya Mbak Lily." Tadi siang Indri tahu bagaimana perseteruanku dengan Lois melalui sambungan telfon. Wajar jika dia menganggap aku dan Lois memiliki masalah. "Tapi suaminya beneran mau kemari kan, Mbak?" "Katanya tadi mau kemari, Mbak. Cuma sampai mau gelap gini dia belum juga datang." Indri tiba-tiba menghela nafas kasar. Wanita berkulit sawo matang itu nampak sedikit kesal. "Nah, gitu