Aku kembali mengenakan sepatu lalu berjalan ke arah Lois dengan amarah tertahan kemudian mengambil kedua tasku dari tangannya. "Ini tas aku!" Dia menaikkan kedua alis dan tangannya, "Yang bilang itu tasnya Angelina Jolie juga siapa?" "Jangan banyak omong deh! Sekarang tunjukin dimana rumah kontrakannya?!" tanyaku dengan hati kesal karena Lois nampaknya hobi membuat orang lain kesal dengan kelakuannya. Jarinya menunjuk ke kanan, sebuah rumah yang bentuk bangunannya sama dengan rumah sebelahnya. Hanya wananya saja yang berbeda. Aku berusaha membawa kedua tasku sendiri meski berat lalu menuju rumah itu. Namun, ketika tanganku meraih handle, pintu tidak terbuka sama sekali. Aku hanya bisa mendesah kasar karena baru menyadari jika pintu rumah itu terkunci. Dan Lois pasti memegang kuncinya. Dia membuka tas ransel lalu mengoyak-ayik isinya. Terdengar suara dentingan antara uang koin recehan dengan kunci kontrakan hingga membuatku muak dengan profesi rendahannya. Lalu sekelebat bayan
Dua jam lamanya aku duduk di teras kontrakan tanpa berani masuk ke dalam. Alasannya sederhana, autophobia yang kumiliki membuat ciut keberanianku untuk berada di dalam kontrakan tanpa adanya teman. Bayangan gelap yang terus menghantui di balik kedua kelopak mataku seperti hal yang tidak bisa aku hindari. Semakin melawan ketakutan ini, maka semakin aku tidak bernyali. Lalu, mau sampai kapan aku duduk di teras kontrakan sedang hari terus bergulir menuju gelap? "Apa aku telfon Shala aja ya?" Shala, sahabat baik sekaligus rekan kerjaku. Lalu aku memberanikan diri menelfonnya dan berharap dia bisa datang membantuku. "Sha, lo ada waktu luang nggak hari ini?" tanyaku melalui sambungan telfon. "Gue lagi keluar sama keluarga besar, Ly. Nggak ada di rumah sekarang." "Oh ..." Bahuku lunglai begitu mendapati satu-satunya penolongku untuk bisa melawan autophobia ini ternyata sedang menghabiskan akhir pekannya dengan keluarga yang mencintainya. Tidak seperti aku, yang dibuang oleh keluarga
"Lho, Mbak Lily masih di teras rumah?" itu suara tetangga kontrakan tadi, Indri namanya. "Iya, Mbak." Dia menatap kondisi dalam kontrakanku ketika senja hampir berganti petang, "Kok lampunya belum dihidupin, Mbak?" Aku menggeleng pelan lalu berucap, "Aku nggak berani, Mbak. Soalnya ... aku punya autophobia." "Apa itu, Mbak?" "Takut sendirian apalagi di tempat baru yang nggak ada satu pun yang kukenal." "Naaah, pas itu, Mbak. Mending Mbak Lily telfon suaminya aja biar segera pulang buat nemenin. Eh, tapi ... kalian kayaknya nggak akur ya? Maaf lho, Mbak. Bukannya ikut campur urusan rumah tangganya Mbak Lily." Tadi siang Indri tahu bagaimana perseteruanku dengan Lois melalui sambungan telfon. Wajar jika dia menganggap aku dan Lois memiliki masalah. "Tapi suaminya beneran mau kemari kan, Mbak?" "Katanya tadi mau kemari, Mbak. Cuma sampai mau gelap gini dia belum juga datang." Indri tiba-tiba menghela nafas kasar. Wanita berkulit sawo matang itu nampak sedikit kesal. "Nah, gitu
“Dengar, Lois! Meski aku nggak suci lagi bukan berarti kamu bebas bersikap seenaknya kayak gini!” aku berucap penuh amarah. Lois menatapku tanpa berketip mendengar rahasia besarku ini. “Apa kamu bilang, Ly? Nggak suci?” Aku terhenyak ketika Lois balik bertanya. Belum tahu kah dia dengan apa yang kualami? “Jadi, kamu … batal nikah karena habis diperkosa lalu ditinggalin calon suami atau karena calon suamimu pergi setelah puas mainin kamu?” Oh tidak! Benar dugaanku bahwa Lois tidak tahu pasti apa penyebab aku batal menikah dengan Ishak. Karena tersulut amarah, aku membuka aibku. Mengakui bahwa tubuhku telah ternoda. Aku memilih berdiri lalu berucap, “Gi ... gimana malam ini? Aku nggak berani sendirian.” Lebih baik mengalihkan pembicaraan dari pada terbuka pada Lois. Lois menatapku penuh selidik namun aku membuang muka, “Kan di kamar ada kasurnya.” “Hari-hari selanjutnya?” “Kamu lagi nggak minta aku temani tidur di kamar, kan?!” “Mesum!" “Kan kesepakatan awal sama Papamu, t
Aku tidur di kamar. Lois tidur di ruang tamu. Kami sudah menikah tapi seperti orang lain. Mau bagaimana lagi, pernikahan kami terjadi demi menyelamatkan nama baik keluargaku akibat foto satu malamku dengan lelaki tidak dikenal yang sudah tersebar di grup dasawisma perumahan orang tuaku. Begitu pagi menjelang, aku menyadari satu hal bahwa kamar mandi di kontrakanku masih kosong. Tidak ada gayung, air, dan perlengkapan mandi apapun. “Miris!” gumamku. Padahal pagi ini aku harus berangkat bekerja. Karena tidak ada pilihan, aku menumpang mandi di kontrakan Mbak Indri yang berada di sebelahku. Setelah aku selesai berdandan pun, Lois masih terlelap di atas alas tidur dengan berselimut jaket denimnya. Aku bingung haruskah berpamitan atau tidak? Akhirnya aku memilih pergi ke kantor tanpa berpamitan langsung. Hanya mengirim pesan bahwa aku sudah berangkat bekerja. “Terima kasih atas kepercayaan Bapak menggunakan pelayanan maskapai kami. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Baru saja aku
"Aku nggak berani masuk kontrakan. Makanya aku tidur di teras. Nungguin kamu pulang," akuku pada Lois. Lagi pula untuk apa aku menyembunyikan autophobia yang kumiliki? Sedang satu-satunya orang yang mau menemaniku setelah diusir dari rumah hanyalah Lois yang kini juga berstatus sebagai suamiku. Meski hanya suami di atas kertas. Lois meletakkan gitarnya lalu menatapku, "Takut apa sih kamu? Lagian di dalam kontrakan kagak ada apa-apa." Aku kemudian duduk bersila di tempat sahabatnya tadi duduk, "Namanya juga ketakutan bawaan dari lahir. Intinya aku takut sendirian." "Jadi dengan kata lain, aku harus nemenin kamu di kontrakan?" Aku melipat bibir lalu menatapnya sekilas, "Kayaknya gitu." "Kan perjanjian sama bokapmu setelah nikah ya udah. Aku bisa balik kayak biasanya dan nggak terikat sama kamu. Sambil nunggu ---" "Perceraian kita. Gitu kan?" selaku cepat. "Ya emang, kan?!" "Please, jangan bilang cerai dulu." "Kenapa?" "Sekali kamu membahas perceraian, maka saat itu juga tali
Aku membawa jaket denim merk APC milik Lois dan melihat bandrol merk yang terjahit khusus. Bisa dipastikan jika ini adalah jaket asli merk APC. Bukan barang KW seperti yang Lois katakan. “Jaket siapa, Ly?” Shala tiba-tiba muncul dari balik kubikelku. Aku reflek menyembunyikan jaket denim Lois ke dalam tas kerja sebelum sahabat baikku itu mencurigaiku. “Jaket … Ishak,” kilahku. Ah … ya Tuhan. Mengapa aku menyebut namanya? “Gimana persiapan pernikahan lo sama Ishak? Udah dapat MC yang cocok?” Beberapa waktu lalu, sebelum pernikahanku dengan Ishak dibatalkan kedua keluarga kami, aku mengadu pada Shala jika sedang mencari MC khusus acara pernikahan. “Eh … udah, La.” Dan karena pertanyaan Shala itu, suasana hatiku menjadi buruk. Mau tidak mau aku harus mendongkrak semangatku agar bisa menuntaskan pekerjaan hari ini dengan baik. Ishak. Aku masih sangat mencintainya dan … aku tidak tahu bagaimana melenyapkannya dari hatiku. Aku berharap, siapapun orang yang menjebakku dan sengaja me
Lois ingin kembali ke kontrakan yang ia tinggali bersama teman-teman musisi recehannya? Meninggalkan aku di kontrakan seorang diri dengan autophobia yang kuderita? Tega! Meski pernikahan kami di atas kertas namun saat ini hanya Lois semata yang kupunya sebagai teman terdekat. Dan hanya padanya aku bisa meminta tolong untuk menemaniku berada di kontrakan sampai aku bisa melawan autophobia ini. Sampai kapan? Entah lah. Setahuku, gangguan bawaan sejak lahir bukan hal yang mudah untuk ditaklukan. "Oh ... jadi aku ini perempuan yang aneh pemikirannya? Begitu?" "Ya apa emangnya kalau nggak aneh? Kebutuhan untuk kamu sendiri aja masih mikir-mikir. Emang mau numpang terus? Genit sama suami tetangga?" Bagai disentil terang-terangan, aku yang sudah terlanjur bad mood karena barusan melihat mantan tunanganku, akhirnya memilih pergi meninggalkan Lois sebelum air mataku tumpah ruah dihadapannya. "Aku benci kamu, Lois!" Ketukan sepatu high heels-ku beradu dengan lantai pusat perbelanjaan k