Aku tidur di kamar. Lois tidur di ruang tamu. Kami sudah menikah tapi seperti orang lain. Mau bagaimana lagi, pernikahan kami terjadi demi menyelamatkan nama baik keluargaku akibat foto satu malamku dengan lelaki tidak dikenal yang sudah tersebar di grup dasawisma perumahan orang tuaku. Begitu pagi menjelang, aku menyadari satu hal bahwa kamar mandi di kontrakanku masih kosong. Tidak ada gayung, air, dan perlengkapan mandi apapun. “Miris!” gumamku. Padahal pagi ini aku harus berangkat bekerja. Karena tidak ada pilihan, aku menumpang mandi di kontrakan Mbak Indri yang berada di sebelahku. Setelah aku selesai berdandan pun, Lois masih terlelap di atas alas tidur dengan berselimut jaket denimnya. Aku bingung haruskah berpamitan atau tidak? Akhirnya aku memilih pergi ke kantor tanpa berpamitan langsung. Hanya mengirim pesan bahwa aku sudah berangkat bekerja. “Terima kasih atas kepercayaan Bapak menggunakan pelayanan maskapai kami. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Baru saja aku
"Aku nggak berani masuk kontrakan. Makanya aku tidur di teras. Nungguin kamu pulang," akuku pada Lois. Lagi pula untuk apa aku menyembunyikan autophobia yang kumiliki? Sedang satu-satunya orang yang mau menemaniku setelah diusir dari rumah hanyalah Lois yang kini juga berstatus sebagai suamiku. Meski hanya suami di atas kertas. Lois meletakkan gitarnya lalu menatapku, "Takut apa sih kamu? Lagian di dalam kontrakan kagak ada apa-apa." Aku kemudian duduk bersila di tempat sahabatnya tadi duduk, "Namanya juga ketakutan bawaan dari lahir. Intinya aku takut sendirian." "Jadi dengan kata lain, aku harus nemenin kamu di kontrakan?" Aku melipat bibir lalu menatapnya sekilas, "Kayaknya gitu." "Kan perjanjian sama bokapmu setelah nikah ya udah. Aku bisa balik kayak biasanya dan nggak terikat sama kamu. Sambil nunggu ---" "Perceraian kita. Gitu kan?" selaku cepat. "Ya emang, kan?!" "Please, jangan bilang cerai dulu." "Kenapa?" "Sekali kamu membahas perceraian, maka saat itu juga tali
Aku membawa jaket denim merk APC milik Lois dan melihat bandrol merk yang terjahit khusus. Bisa dipastikan jika ini adalah jaket asli merk APC. Bukan barang KW seperti yang Lois katakan. “Jaket siapa, Ly?” Shala tiba-tiba muncul dari balik kubikelku. Aku reflek menyembunyikan jaket denim Lois ke dalam tas kerja sebelum sahabat baikku itu mencurigaiku. “Jaket … Ishak,” kilahku. Ah … ya Tuhan. Mengapa aku menyebut namanya? “Gimana persiapan pernikahan lo sama Ishak? Udah dapat MC yang cocok?” Beberapa waktu lalu, sebelum pernikahanku dengan Ishak dibatalkan kedua keluarga kami, aku mengadu pada Shala jika sedang mencari MC khusus acara pernikahan. “Eh … udah, La.” Dan karena pertanyaan Shala itu, suasana hatiku menjadi buruk. Mau tidak mau aku harus mendongkrak semangatku agar bisa menuntaskan pekerjaan hari ini dengan baik. Ishak. Aku masih sangat mencintainya dan … aku tidak tahu bagaimana melenyapkannya dari hatiku. Aku berharap, siapapun orang yang menjebakku dan sengaja me
Lois ingin kembali ke kontrakan yang ia tinggali bersama teman-teman musisi recehannya? Meninggalkan aku di kontrakan seorang diri dengan autophobia yang kuderita? Tega! Meski pernikahan kami di atas kertas namun saat ini hanya Lois semata yang kupunya sebagai teman terdekat. Dan hanya padanya aku bisa meminta tolong untuk menemaniku berada di kontrakan sampai aku bisa melawan autophobia ini. Sampai kapan? Entah lah. Setahuku, gangguan bawaan sejak lahir bukan hal yang mudah untuk ditaklukan. "Oh ... jadi aku ini perempuan yang aneh pemikirannya? Begitu?" "Ya apa emangnya kalau nggak aneh? Kebutuhan untuk kamu sendiri aja masih mikir-mikir. Emang mau numpang terus? Genit sama suami tetangga?" Bagai disentil terang-terangan, aku yang sudah terlanjur bad mood karena barusan melihat mantan tunanganku, akhirnya memilih pergi meninggalkan Lois sebelum air mataku tumpah ruah dihadapannya. "Aku benci kamu, Lois!" Ketukan sepatu high heels-ku beradu dengan lantai pusat perbelanjaan k
Disinilah aku sekarang. "Nath, titip sepupu gue, ya?! Bentar doang," Lois berucap. Aku menatap seorang perempuan tinggi kurus dengan rambut digerai mengenakan baju tidur panjang. Dia Nathasya, kekasih sahabat musisi recehan Lois. Lois menitipkan aku di kos Nathasya. Seperti anak gadis yang belum mandiri. "Dia punya fobia sepi, Nath. Nanti gue jemput setelah pulang kerja. Oke?" Tidak lupa Lois memberikan satu kotak martabak pada Nathasya agar sudi menampungku sampai Lois selesai bekerja. Malam ini, lelaki yang bergelar sebagai suami diam-diamku itu tidak membawa gitarnya, melainkan membawa biola baru miliknya. Dibeli dari upah yang ia dapatkan dari Papa karena menikahiku. Miris nasibku. Setelah Lois pergi dengan motor maticnya, Nathasya membawaku masuk ke dalam kamarnya yang tidak luas. Ternyata, dia seorang mahasiswa sementer enam jurusan ekonomi. "Emang teman kosan lo kemana semua, Ly? Kok lo sampai kesepian?" "Ehm ... pada keluar, Nath," bohongku. "Tapi kalau lo sam
MAAF, ADA KESALAHAN UPLOAD!!! ABAIKAN CHAPTER SEBELUMNYA! ----- "Gaes, hari ini Bang Rama ulang tahun. Rencananya nanti habis pulang kerja kita ditraktir makan-makan di Signature Resto." Aku yang sedang mencatat keluhan customer di laptop pun ikut mendongak mendengar pengumuman yang diumumkan oleh salah satu pegawai customer care. "Jangan nggak datang. Nyesel lo pada." Aku menoleh ke Shala yang juga menatapku. Kami tersenyum senang karena mendapat undangan makan malam di salah satu tempat makan ternama. "La, gue nebeng, ya?" "Ngapain nggak minta antar Ishak aja, Ly?" Sejauh ini, Shala masih belum mengerti jika aku dan Ishak batal menikah. "Dia sibuk, La," bohongku. "Gue perhatiin, lo belakangan ini jarang bicara masalah Ishak atau rencana pernikahan kalian deh, Ly? Apa semua udah beres?" Bukan sudah beres lagi, melainkan sudah selesai. Dan aku tidak tahu bagaimana mengatakannya pada Shala nantinya jika aku belum menyebarkan undangan. Padahal dia tahu sekali rencana tan
Melabrak Ishak dan perempuan yang sedang makan malam dengannya? Oh ... tidak! Aku tidak sebar-bar itu. Lagi pula, aku masih tahu diri jika melabraknya maka aku sendiri yang bisa dipermalukan balik. Bagaimana jika perempuan yang bersama Ishak itu berkata bahwa aku telah menikah dihadapan pengunjung resto? Bukannya mendapat dukungan untuk menjuluki perempuan itu sebagai pelakor atau bebas menghina Ishak yang bisa saja selama ini playing victim di belakangku. Justru, aku yang mendapat julukan wanita tidak tahu diri. Karena sudah bersuami masih saja mengejar lelaki lain. “Gue pulang, La.” Aku beringsut pergi dengan hati menahan sesak lalu Shala menarik tanganku. “Ly, itu Ishak! Mintai penjelasan dulu siapa perempuan yang lagi dinner sama dia!” Kepalaku menggeleng sebagai jawaban. Dan lagi, Shala tidak mengerti duduk perkara hubungan kami yang sebenarnya. “Gue capek, La. Pengen pulang.” Aku segera memesan ojek online karena ingin menangis sekeras-kerasnya di kontrakan tanpa ada
Sudah satu minggu, aku telah meninggalkan rumah masa kecilku ini karena permintaan Papa. Aku dianggap biang masalah yang membuat nama baik keluarga tercoreng. Padahal foto bercintaku dengan seorang lelaki asing yang sampai detik ini tidak bisa kuungkap, belum terbukti kebenarannya. Karena masih segar diingatan jika aku bermalam bersama lelaki itu dibawah kendali alam bawah sadar. Entah kami benar-benar melakukan hubungan itu atau tidak. "Ayo masuk, Ly." Mama, hanya beliau yang tetap menyayangiku. Ketika Papa tidak berada di rumah, Mama menjamuku untuk menginap semalam di rumah penuh kenangan ini. "Mama udah masak menu kesukaanmu." Selera makanku tergugah begitu melihat cap cay dan gurami asam manis tersaji begitu menggoda di atas meja makan. Padahal sebelum berangkat kemari aku telah melahap spagheti buatan Lois. Sembari menikmati sarapan setengah siang, kami berbicara banyak hal. "Kontrakanmu nyaman kan, Ly?" Kepalaku menggeleng. "Tapi aku mencoba beradaptasi, Ma." "Apa