Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami

Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami

last updateLast Updated : 2022-10-22
By:  Noeroel ArifinOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
8 ratings. 8 reviews
62Chapters
4.5Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Aira tidak pernah menduga hal ini! Kebaikan dan pertolongan yang diberikan pada dua keponakan sang suami ternyata malah mendatangkan banyak masalah di kemudian hari. Di rumah, para keponakannya itu berlaku seenaknya dan di luar ... mereka bertingkah SOK KAYA! Namun, uang dari mana yang mereka pakai untuk foya-foya? Mas Alif, suaminya, bahkan ingin mengusir keduanya jika tak dicegah Aira .... Ikuti dan pantau terus bagaimana Aira menghadapi dua keponakannya di sini!

View More

Chapter 1

Bab 1. Kabar Kematian Bang Hendro

Suara ring tone kedua kali dari hpku, aku pun menerima dengan tergesanya. Tertera sebaris nomer tidak di kenal menghubungi nomerku.

"Assalamu'alaikum...."

"W*'alaikumsalam...." jawabku, lalu terdengar suara tangis, yang tergugu dari seberang sana. Sejenak terjeda, lalu si penelepon terdengar berbicara.

"Bang Hendro meninggal barusan Dek, ini kami nunggu kamu dan suamimu datang," lalu terdengar tangis lagi. Namun, aku seperti dibuat-buat, bukan layaknya orang yang meratapi sebuah kematian.

"Innalillahi wainna illaihi rojiun, bagaimana bisa begitu, Mbak? Berada di mana kamu sekarang?" bertanya-tanya dengan bertanya-tanya.

"Aku sudah pulang ke desaku, Bang Hendro pesan untuk di makamkan di sini."

"Kapan Bang Hendro yang meninggal?"

"Baru saja, terus aku menghubungimu."

"Katamu kemarin sedang di rawat di rumah sakit? Kenapa tiba-tiba sudah kamu bawa pulang?" bertanya mencecar Bariyah, istri Bang Hendro kakak suamiku.

"A-anu, tadi aku bawa pulang pakai ambulan. Karena kata dokter, sakit Bang Hendro sudah tidak bisa disembuhkan."

Aku menangkap sebuah makna dari ucapan istri Bang Hendro, sebab baru sebulan yang lalu aku mengeluarkan dari rumah sakit. Dan seminggu yang lalu Bang Hendro meneleponku, meminta masuk lagi karena livernya kambuh.

Tapi di tengah-tengah aku mengurusi untuk berobat lagi, tiba-tiba istrinya menolak dengan alasan Bang Hendro tidak mau. Aku sempat memberi ancaman kepadanya, jika sewaktu-waktu terjadi apa-apa, maka aku akan mengejarnya sampai ke ujung langit.

Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, karena aku tahu betul watak iparku yang satu itu. Dia sangat mendewakan hartanya, sampai tentang kesehatan Bang Hendro suaminya.

"Kasih alamat desamu. Awas! Jangan sampai aku menemukan kejanggalan, atas kematian Bang Hendro!" gertakku.

"Kamu tentu masih ingat kata-kataku! Suamimu bukan dari keluarga miskin, kami keluarganya masih sanggup untuk membawanya berobat. Tapi, kamu selalu menahan niat baik kami. Kalau sudah begini bagaimana, hah?" permintaan dengan yang membuncah.

"Tapi, Bang Hendro sendiri yang tidak mau di bawa berobat Dek, aku...."

"Halah! Itu hanya akal-akalanmu saja! Kamu takut keluar uang 'kan?" kataku dengan tajam.

"Aku kirim alamat desaku ya, assalamu'alaikum," katanya dengan menutup sepihak teleponku.

Suamiku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami, terlihat sedih dan marah. Semenit kemudian sebuah notifikasi alamat masuk di W* ku. Tertulis sebaris alamat yang baru aku tahu hari ini. Alamat orang tua kakak iparku Bariyah yang di desa. 

Akupun menghubungi adek-adek suamiku yang berada di luar pulau. Mereka semua merantau disertai dengan keluarganya masing-masing. Hanya setahun sekali saling melepas rindu, dan semuanya berkumpul di rumahku. 

Setelah memberi kabar kepada mereka, aku bersiap bersiap bersama suamiku. Anak-anak aku tinggal semua di rumah. Aku hanya mengajak kakak iparku yang masih tinggal satu kota denganku. Karena perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam, sekitar mau dhuhur kami baru tiba di sana.

Semua mata tertuju ke arah kami, ketika tiba di rumah duka. Jenazah sendiri sudah dimandikan dan dikafani. Suamiku beserta kakak tertuanya segera melakukan sholat jenazah. Aku sendiri bersama ipar perempuanku yang turut duduk mengambil kursi di bagian samping surau tempat jenazah di semayamkan.

Di desa ini sudah menjadi tradisi, di setiap bagian rumah yang mereka, terdapat satu surau kecil yang mereka miliki.

Bariyah terlihat menghampiri kami dengan wajah yang masih sembab. Seorang perempuan setengah baya ikut menemaninya. Tanpa kuminta dia sudah bercerita.

"Dari tadi kakak iparmu ini menangis terus sampai pingsan. Kami sampai bingung harus bagaimana, Pak Kyaipun sudah kami datangi untuk meminta air agar sedikit tenang," terangnya tanpa meminta penjelasan.

Suamiku terlihat sudah duduk di antara para pelayat lelaki, sedang Bang Harun melihatku. Dia kakak suamiku tertua yang tinggal dekat denganku. Masih satu kota hanya beda kelurahan saja denganku.

"Kamu dari tadi nangis, ya?" tanyanya pada Bariyah istri dari Bang Hendro. Bang Hendro adalah anak nomer dua, suamiku sendiri nomer empat. Mereka semua tujuh bersaudara.

"Iya, bahkan sampai pingsan," jawab orang yang berada di Mbak Bariyah.

Suara tertawa dari Bang Harun terdengar jelas di rungu kami.

"Tak lama pun, kamu pasti kawin lagi," katanya kepada Mbak Bariyah.

Sementara orang yang dikatainya melengos, mendengar ucapan Bang Harun. Aku sendiri turut tersenyum masam are.

Ada sebagian mitos yang aku dengar, jika perempuan ditinggal mati suaminya sampai nangis gulung-gulung. Insya Allah tak lama pun, wanita tersebut akan cepat nikah lagi. Entah benar atau tidaknya, tidak ada yang tahu.

Sedang perempuan yang turut menemani Mbak Bariyah, seolah tidak menerima ucapan Bang Harun. Tapi, Bang Harun tidak terpengaruh dengan sikap orang tersebut.

"Lihat saja nanti ucapanku, tanah kuburan suamimu belum kering. Aku jamin, kamu sudah nikah lagi." tekan Bang Harun lagi, kepada mantan ipar yang tersedia.

Seolah-olah ucapan tersebut keluar dari mulut seorang paranormal yang menerawang masa depan seseorang.

Aku sendiri hendak menyoraki perbuatan Bang Harun, hanya saja tidak terasa rasanya bergelut di desa orang. Tapi kematian Bang hendro yang tiba-tiba, seolah-olah kami tidak terima atas semua ini.

Bahkan kini bibi yang baru kutahu ikut menemani Mbak Bariyah ikut memberitahu kami. Kalau rumah besar yang tinggal di kucing di seberang kiri kami adalah peninggalan dari Bang Hendro. Dia juga bercerita kalau Mbak Bariyah juga sudah habis uang banyak untuk membawa Bang Hendro pergi berobat. Sayangnya, aku sama sekali tidak percaya hal ke-dua yang perempuan tua itu katakan.

"Bang Hendro ada sangkutan utangkah, Mbak?" bertanya, membuka percakapan. Karena saya tidak ingin, terbebani hutang.

"Cicilan motor masih kurang lima, terus bulan depan aku dapat arisan 50 juta. Rencananya mau buat beli pagar dan cat rumah ini." 

"Sebetulnya aku masih ada uang di galangan 10jt, buat beli cat. Tapi, Bang Hendro keburu meninggal." Terangnya.

"Jika kamu ada simpanan, kenapa sampai suamimu tidak kamu berobatkan? Malah di bawa pulang ke desa," degusku kesal.

"Bang Hendro sendiri yang tidak mau di rawat di rumah sakit, takut habis banyak katanya," tutur Mbak Bariyah dengan tersendat.

"Berati Bang Hendro tidak meninggal di rumah sakitkan? Kamu sama sekali tidak membawanya berobat. Kamu hanya membawanya ke puskesmas seminggu lalu!" kataku dengan tajam.

"I-iya." Jawabnya dengan jaringan.

Sebelum aku tadi masuk ke sini, selentingan dari warga yang aku lalui mengatakan. Kalau Bang Hendro hanya di bawa puskesmas. Tidak di bawa ke rumah sakit sama sekali. Bahkan dari omongan warga itu juga, istrinya hanya memberikan obat warung. Supaya, Bang Hendro tidak mengeluh lagi dengan rasa sakitnya.

Omong kosong semua dengan penuturan dari saudara-saudara istrinya, yang mengatakan Bang Hendro berobat ke sana kemari. Jika tidak mengingat jenazah, sudah kumaki-maki lebih brutal lagi Mbak Bariyah. Sayangnya kesabaran ini masih mengiringi kesadaran diri, sehingga saya masih mengontrol semua ucapan yang saya keluarkan.

"Jenazah, banjir darah lagi kafannya, Neng." Seorang Ibu berbisik tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Bariyah, suaranya cukup terdengar olehku juga.

*Jangan lupa komentar dan subcribe bintang limanya ya, buat penyemangat Author ngelanjutin cerita ini. Terima kasih

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

default avatar
NursaadahNursa1
ceritanya bagus
2022-09-11 23:16:38
1
user avatar
ET. Widyastuti
lanjut kak. semangat
2022-08-09 13:57:08
1
user avatar
Astika Buana
semangat, Kak
2022-07-25 21:46:48
1
user avatar
Tifa Nurfa
keren kak ceritanya, lanjut semangat kak ...
2022-07-25 20:32:03
1
user avatar
Rizka Fhaqot
semangat up bab baru. ditunggu ya kak ...
2022-07-24 07:36:27
1
user avatar
Cahaya S
Penasaran, akan jadi apa keponakannya. lanjut terus thor
2022-07-20 11:59:52
1
user avatar
Turiyah
aku suka ceritanya. next lagi kak
2022-07-20 11:40:59
1
user avatar
Vyra Fame
keren kak, next kak ditunggu pokoknya ......
2022-07-20 11:37:20
1
62 Chapters
Bab 1. Kabar Kematian Bang Hendro
Suara ring tone kedua kali dari hpku, aku pun menerima dengan tergesanya. Tertera sebaris nomer tidak di kenal menghubungi nomerku."Assalamu'alaikum....""Wa'alaikumsalam...." jawabku, lalu terdengar suara tangis, yang tergugu dari seberang sana. Sejenak terjeda, lalu si penelepon terdengar berbicara."Bang Hendro meninggal barusan Dek, ini kami nunggu kamu dan suamimu datang," lalu terdengar tangis lagi. Namun, aku seperti dibuat-buat, bukan layaknya orang yang meratapi sebuah kematian."Innalillahi wainna illaihi rojiun, bagaimana bisa begitu, Mbak? Berada di mana kamu sekarang?" bertanya-tanya dengan bertanya-tanya."Aku sudah pulang ke desaku, Bang Hendro pesan untuk di makamkan di sini.""Kapan Bang Hendro yang meninggal?""Baru saja, terus aku menghubungimu.""Katamu kemarin sedang di rawat di rumah sakit? Kenapa tiba-tiba sudah kamu bawa pulang?" bertanya mencecar Bariyah, istri Bang Hendro kakak suamiku."A-anu, tadi aku bawa pulang pakai ambulan. Karena kata dokter, sakit Ba
last updateLast Updated : 2022-07-07
Read more
Bab 2. Penghuni Baru
"Jenazah, banjir darah lagi kafannya, Neng." Seorang Ibu berbisik tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Bariyah, suaranya cukup terdengar olehku juga.Mbak Bariyah terlihat berdiri menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Ada perasaan miris di dadaku, sampai begitu parahkah sakit yang di derita, Bang Hendro? Hingga jenazahnya tak berhenti mengeluarkan darah.Kesibukan mengganti kain kafan segera dilakukan. Pak Modin terlihat segera mengambil alih, lalu setelah suci kembali kemudian mensalatkan jenazah.Setelah pemakaman Bang Hendro, kami bertolak pulang dengan pertanyaan yang masih menjadi ganjalan. Bahkan, suamiku pun tadi berkata, kalau Bang Hendro meninggal dalam keadaan yang tidak wajar.Melihat kejadian tadi, membuat kami bertanya-tanya. Apa Bang Hendro tidak di perdulikan oleh istrinya 'kah? Hingga jenazah terus-terusan mengalami pendarahan.Jika memang demikian, itu artinya liver almarhum sudah pecah kata suamiku. Berarti selama ini memang Bang Hendro hanya dirawat di rumah, tanpa fasi
last updateLast Updated : 2022-07-07
Read more
Bab 3. Pertanyaan Vian
"Yanti! Kamu dengar tidak? Saya sedang berbicara denganmu!" bentak suamiku.'Inikah yang dimaksud Ibu panti, tentang kelakuan Yanti yang ganjil itu?' monologku dalam hati.Sementara kedua anakku telah bergabung bersama kami di meja makan.Yanti hanya mendongakkan kepalanya, lalu membentuk senyum cengiran kepada suamiku. Helaan napas terdengar darinya. Aku mengangsurkan minum, agar emosinya tidak semakin menjadi.Kami melanjutkan makan lagi, kali ini tak ada obrolan kecil apa pun. ~~~Esoknya aku berangkat ke toko bersama suamiku. Si kecil asyik merajuk minta ikut, tapi setelah dibujuk akhirnya dia lupa. Bisa-bisa, semua dibikin acak aduk sama Adek Jaya.Semakin hari, semakin menggemaskan saja melihat tingkahnya. Apalagi kalau sudah bermain puzzle, wow, jangan ditanya betapa kacaunya rumah kami. Untungnya ada Mbak Romlah, asisten rumah tangga yang membantuku menghandle pekerjaan di rumah, kecuali memasak tetap aku lakukan sendiri.Begitu buka toko, langsung ada pembeli yang memborong
last updateLast Updated : 2022-07-07
Read more
Bab 4. Yanti Atau Sari?
Segala keperluan sekolah baru Yanti, telah aku selesaikan. Semua biaya pun sudah kubayarkan tunai. Tinggal membeli perlengkapan saja. Tak jadi masalah buatku.Pagi ini rencananya aku mau ketemuan lagi ama Ibu panti. Sekalian mengambil persyaratan keperluan sekolah baru Yanti yang masih tertinggal. Karena dipergunakan untuk ujian negara nantinya.Lalu-lintas tak begitu padat siang ini. Ditemani sopirku, melaju ke rumah beliau. Sekedar buah tangan, kubeli pisang secengkeh dan jeruk mandarin buat oleh-oleh."Assalamu'alaikum ...." ucapku."Wa'alaikumsalam Jeng, kita langsung saja ya. Lha ini apa kok pakai repot segala?" tanya beliau ketika kuulurkan bawaanku tadi."Buat teman nonton tivi, Bunda." "Ibu jadi merepotkan ini.""Tidak kok, mari kita jalan," ajakku."Langsung ke sekolah dulu ya, Jeng."Mobil pun melaju ke sekolah Yanti sebelumnya. Disambut Kepala Sekolah dan Wali kelasnya, kami berbasa basi sebentar."Padahal setahu saya, Yanti bilang tidak ada saudara lho Bu. Jadi saya sempa
last updateLast Updated : 2022-07-07
Read more
Bab 5. Kejadian Aneh
Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.Telepon pintarku berdering."Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana."Wa'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan.""Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya.""Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya.""Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ....""Wa'alaikumsalam
last updateLast Updated : 2022-07-07
Read more
Bab 6. Ini Siapa?
"Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi."Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku."Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.Tidak biasanya gadis itu sudah menghilang pagi-pagi begini."Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar.""Owh ...."Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil."Kamu dulu yan
last updateLast Updated : 2022-07-14
Read more
Bab 7. Mungkinkah Mereka Salah Asuhan?
"Ini siapa?" tanya suamiku.Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya."Teman saya," jawab Yanti.Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang."Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk."Enak
last updateLast Updated : 2022-07-14
Read more
Bab 8. Yanti Mulai Bikin Masalah
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant
last updateLast Updated : 2022-07-14
Read more
Bab 9. Mulai Terungkap
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
last updateLast Updated : 2022-07-14
Read more
Bab 10. Teka-Teki
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
last updateLast Updated : 2022-07-14
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status