Share

Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami
Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami
Penulis: Noeroel Arifin

Bab 1. Kabar Kematian Bang Hendro

Penulis: Noeroel Arifin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-07 13:35:03

Suara ring tone kedua kali dari hpku, aku pun menerima dengan tergesanya. Tertera sebaris nomer tidak di kenal menghubungi nomerku.

"Assalamu'alaikum...."

"W*'alaikumsalam...." jawabku, lalu terdengar suara tangis, yang tergugu dari seberang sana. Sejenak terjeda, lalu si penelepon terdengar berbicara.

"Bang Hendro meninggal barusan Dek, ini kami nunggu kamu dan suamimu datang," lalu terdengar tangis lagi. Namun, aku seperti dibuat-buat, bukan layaknya orang yang meratapi sebuah kematian.

"Innalillahi wainna illaihi rojiun, bagaimana bisa begitu, Mbak? Berada di mana kamu sekarang?" bertanya-tanya dengan bertanya-tanya.

"Aku sudah pulang ke desaku, Bang Hendro pesan untuk di makamkan di sini."

"Kapan Bang Hendro yang meninggal?"

"Baru saja, terus aku menghubungimu."

"Katamu kemarin sedang di rawat di rumah sakit? Kenapa tiba-tiba sudah kamu bawa pulang?" bertanya mencecar Bariyah, istri Bang Hendro kakak suamiku.

"A-anu, tadi aku bawa pulang pakai ambulan. Karena kata dokter, sakit Bang Hendro sudah tidak bisa disembuhkan."

Aku menangkap sebuah makna dari ucapan istri Bang Hendro, sebab baru sebulan yang lalu aku mengeluarkan dari rumah sakit. Dan seminggu yang lalu Bang Hendro meneleponku, meminta masuk lagi karena livernya kambuh.

Tapi di tengah-tengah aku mengurusi untuk berobat lagi, tiba-tiba istrinya menolak dengan alasan Bang Hendro tidak mau. Aku sempat memberi ancaman kepadanya, jika sewaktu-waktu terjadi apa-apa, maka aku akan mengejarnya sampai ke ujung langit.

Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, karena aku tahu betul watak iparku yang satu itu. Dia sangat mendewakan hartanya, sampai tentang kesehatan Bang Hendro suaminya.

"Kasih alamat desamu. Awas! Jangan sampai aku menemukan kejanggalan, atas kematian Bang Hendro!" gertakku.

"Kamu tentu masih ingat kata-kataku! Suamimu bukan dari keluarga miskin, kami keluarganya masih sanggup untuk membawanya berobat. Tapi, kamu selalu menahan niat baik kami. Kalau sudah begini bagaimana, hah?" permintaan dengan yang membuncah.

"Tapi, Bang Hendro sendiri yang tidak mau di bawa berobat Dek, aku...."

"Halah! Itu hanya akal-akalanmu saja! Kamu takut keluar uang 'kan?" kataku dengan tajam.

"Aku kirim alamat desaku ya, assalamu'alaikum," katanya dengan menutup sepihak teleponku.

Suamiku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami, terlihat sedih dan marah. Semenit kemudian sebuah notifikasi alamat masuk di W* ku. Tertulis sebaris alamat yang baru aku tahu hari ini. Alamat orang tua kakak iparku Bariyah yang di desa. 

Akupun menghubungi adek-adek suamiku yang berada di luar pulau. Mereka semua merantau disertai dengan keluarganya masing-masing. Hanya setahun sekali saling melepas rindu, dan semuanya berkumpul di rumahku. 

Setelah memberi kabar kepada mereka, aku bersiap bersiap bersama suamiku. Anak-anak aku tinggal semua di rumah. Aku hanya mengajak kakak iparku yang masih tinggal satu kota denganku. Karena perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam, sekitar mau dhuhur kami baru tiba di sana.

Semua mata tertuju ke arah kami, ketika tiba di rumah duka. Jenazah sendiri sudah dimandikan dan dikafani. Suamiku beserta kakak tertuanya segera melakukan sholat jenazah. Aku sendiri bersama ipar perempuanku yang turut duduk mengambil kursi di bagian samping surau tempat jenazah di semayamkan.

Di desa ini sudah menjadi tradisi, di setiap bagian rumah yang mereka, terdapat satu surau kecil yang mereka miliki.

Bariyah terlihat menghampiri kami dengan wajah yang masih sembab. Seorang perempuan setengah baya ikut menemaninya. Tanpa kuminta dia sudah bercerita.

"Dari tadi kakak iparmu ini menangis terus sampai pingsan. Kami sampai bingung harus bagaimana, Pak Kyaipun sudah kami datangi untuk meminta air agar sedikit tenang," terangnya tanpa meminta penjelasan.

Suamiku terlihat sudah duduk di antara para pelayat lelaki, sedang Bang Harun melihatku. Dia kakak suamiku tertua yang tinggal dekat denganku. Masih satu kota hanya beda kelurahan saja denganku.

"Kamu dari tadi nangis, ya?" tanyanya pada Bariyah istri dari Bang Hendro. Bang Hendro adalah anak nomer dua, suamiku sendiri nomer empat. Mereka semua tujuh bersaudara.

"Iya, bahkan sampai pingsan," jawab orang yang berada di Mbak Bariyah.

Suara tertawa dari Bang Harun terdengar jelas di rungu kami.

"Tak lama pun, kamu pasti kawin lagi," katanya kepada Mbak Bariyah.

Sementara orang yang dikatainya melengos, mendengar ucapan Bang Harun. Aku sendiri turut tersenyum masam are.

Ada sebagian mitos yang aku dengar, jika perempuan ditinggal mati suaminya sampai nangis gulung-gulung. Insya Allah tak lama pun, wanita tersebut akan cepat nikah lagi. Entah benar atau tidaknya, tidak ada yang tahu.

Sedang perempuan yang turut menemani Mbak Bariyah, seolah tidak menerima ucapan Bang Harun. Tapi, Bang Harun tidak terpengaruh dengan sikap orang tersebut.

"Lihat saja nanti ucapanku, tanah kuburan suamimu belum kering. Aku jamin, kamu sudah nikah lagi." tekan Bang Harun lagi, kepada mantan ipar yang tersedia.

Seolah-olah ucapan tersebut keluar dari mulut seorang paranormal yang menerawang masa depan seseorang.

Aku sendiri hendak menyoraki perbuatan Bang Harun, hanya saja tidak terasa rasanya bergelut di desa orang. Tapi kematian Bang hendro yang tiba-tiba, seolah-olah kami tidak terima atas semua ini.

Bahkan kini bibi yang baru kutahu ikut menemani Mbak Bariyah ikut memberitahu kami. Kalau rumah besar yang tinggal di kucing di seberang kiri kami adalah peninggalan dari Bang Hendro. Dia juga bercerita kalau Mbak Bariyah juga sudah habis uang banyak untuk membawa Bang Hendro pergi berobat. Sayangnya, aku sama sekali tidak percaya hal ke-dua yang perempuan tua itu katakan.

"Bang Hendro ada sangkutan utangkah, Mbak?" bertanya, membuka percakapan. Karena saya tidak ingin, terbebani hutang.

"Cicilan motor masih kurang lima, terus bulan depan aku dapat arisan 50 juta. Rencananya mau buat beli pagar dan cat rumah ini." 

"Sebetulnya aku masih ada uang di galangan 10jt, buat beli cat. Tapi, Bang Hendro keburu meninggal." Terangnya.

"Jika kamu ada simpanan, kenapa sampai suamimu tidak kamu berobatkan? Malah di bawa pulang ke desa," degusku kesal.

"Bang Hendro sendiri yang tidak mau di rawat di rumah sakit, takut habis banyak katanya," tutur Mbak Bariyah dengan tersendat.

"Berati Bang Hendro tidak meninggal di rumah sakitkan? Kamu sama sekali tidak membawanya berobat. Kamu hanya membawanya ke puskesmas seminggu lalu!" kataku dengan tajam.

"I-iya." Jawabnya dengan jaringan.

Sebelum aku tadi masuk ke sini, selentingan dari warga yang aku lalui mengatakan. Kalau Bang Hendro hanya di bawa puskesmas. Tidak di bawa ke rumah sakit sama sekali. Bahkan dari omongan warga itu juga, istrinya hanya memberikan obat warung. Supaya, Bang Hendro tidak mengeluh lagi dengan rasa sakitnya.

Omong kosong semua dengan penuturan dari saudara-saudara istrinya, yang mengatakan Bang Hendro berobat ke sana kemari. Jika tidak mengingat jenazah, sudah kumaki-maki lebih brutal lagi Mbak Bariyah. Sayangnya kesabaran ini masih mengiringi kesadaran diri, sehingga saya masih mengontrol semua ucapan yang saya keluarkan.

"Jenazah, banjir darah lagi kafannya, Neng." Seorang Ibu berbisik tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Bariyah, suaranya cukup terdengar olehku juga.

*Jangan lupa komentar dan subcribe bintang limanya ya, buat penyemangat Author ngelanjutin cerita ini. Terima kasih

Bab terkait

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 2. Penghuni Baru

    "Jenazah, banjir darah lagi kafannya, Neng." Seorang Ibu berbisik tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Bariyah, suaranya cukup terdengar olehku juga.Mbak Bariyah terlihat berdiri menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Ada perasaan miris di dadaku, sampai begitu parahkah sakit yang di derita, Bang Hendro? Hingga jenazahnya tak berhenti mengeluarkan darah.Kesibukan mengganti kain kafan segera dilakukan. Pak Modin terlihat segera mengambil alih, lalu setelah suci kembali kemudian mensalatkan jenazah.Setelah pemakaman Bang Hendro, kami bertolak pulang dengan pertanyaan yang masih menjadi ganjalan. Bahkan, suamiku pun tadi berkata, kalau Bang Hendro meninggal dalam keadaan yang tidak wajar.Melihat kejadian tadi, membuat kami bertanya-tanya. Apa Bang Hendro tidak di perdulikan oleh istrinya 'kah? Hingga jenazah terus-terusan mengalami pendarahan.Jika memang demikian, itu artinya liver almarhum sudah pecah kata suamiku. Berarti selama ini memang Bang Hendro hanya dirawat di rumah, tanpa fasi

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-07
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 3. Pertanyaan Vian

    "Yanti! Kamu dengar tidak? Saya sedang berbicara denganmu!" bentak suamiku.'Inikah yang dimaksud Ibu panti, tentang kelakuan Yanti yang ganjil itu?' monologku dalam hati.Sementara kedua anakku telah bergabung bersama kami di meja makan.Yanti hanya mendongakkan kepalanya, lalu membentuk senyum cengiran kepada suamiku. Helaan napas terdengar darinya. Aku mengangsurkan minum, agar emosinya tidak semakin menjadi.Kami melanjutkan makan lagi, kali ini tak ada obrolan kecil apa pun. ~~~Esoknya aku berangkat ke toko bersama suamiku. Si kecil asyik merajuk minta ikut, tapi setelah dibujuk akhirnya dia lupa. Bisa-bisa, semua dibikin acak aduk sama Adek Jaya.Semakin hari, semakin menggemaskan saja melihat tingkahnya. Apalagi kalau sudah bermain puzzle, wow, jangan ditanya betapa kacaunya rumah kami. Untungnya ada Mbak Romlah, asisten rumah tangga yang membantuku menghandle pekerjaan di rumah, kecuali memasak tetap aku lakukan sendiri.Begitu buka toko, langsung ada pembeli yang memborong

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-07
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 4. Yanti Atau Sari?

    Segala keperluan sekolah baru Yanti, telah aku selesaikan. Semua biaya pun sudah kubayarkan tunai. Tinggal membeli perlengkapan saja. Tak jadi masalah buatku.Pagi ini rencananya aku mau ketemuan lagi ama Ibu panti. Sekalian mengambil persyaratan keperluan sekolah baru Yanti yang masih tertinggal. Karena dipergunakan untuk ujian negara nantinya.Lalu-lintas tak begitu padat siang ini. Ditemani sopirku, melaju ke rumah beliau. Sekedar buah tangan, kubeli pisang secengkeh dan jeruk mandarin buat oleh-oleh."Assalamu'alaikum ...." ucapku."Wa'alaikumsalam Jeng, kita langsung saja ya. Lha ini apa kok pakai repot segala?" tanya beliau ketika kuulurkan bawaanku tadi."Buat teman nonton tivi, Bunda." "Ibu jadi merepotkan ini.""Tidak kok, mari kita jalan," ajakku."Langsung ke sekolah dulu ya, Jeng."Mobil pun melaju ke sekolah Yanti sebelumnya. Disambut Kepala Sekolah dan Wali kelasnya, kami berbasa basi sebentar."Padahal setahu saya, Yanti bilang tidak ada saudara lho Bu. Jadi saya sempa

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-07
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 5. Kejadian Aneh

    Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.Telepon pintarku berdering."Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana."Wa'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan.""Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya.""Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya.""Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ....""Wa'alaikumsalam

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-07
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 6. Ini Siapa?

    "Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi."Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku."Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.Tidak biasanya gadis itu sudah menghilang pagi-pagi begini."Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar.""Owh ...."Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil."Kamu dulu yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 7. Mungkinkah Mereka Salah Asuhan?

    "Ini siapa?" tanya suamiku.Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya."Teman saya," jawab Yanti.Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang."Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk."Enak

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 8. Yanti Mulai Bikin Masalah

    [Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 9. Mulai Terungkap

    Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14

Bab terbaru

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 62. Haruskah Rumah Sakit Jiwa?

    "Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 61. Langsung Rumah Sakit Jiwa

    "Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 60. POV MURNI (Mendatangi Rumah Aira Kembali)

    Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 59. Mau Menyalahkan Siapa?

    Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 58. Kumala Meminta Balik Uangnya

    "Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 57. Permintaan Yanti

    Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 56. Kecurigaan Rena

    "Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 55. Kesombongan Yanti

    Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 54. Keputusan Anwar

    Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma

DMCA.com Protection Status