Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.
Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.
Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.
Telepon pintarku berdering.
"Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana.
"W*'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan."
"Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya."
"Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya."
"Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ...."
"W*'alaikumsalam ...," balasku lalu menutup sambungan telepon.
Kulirik suamiku yang masih serius di belakang kemudi mobilnya.
"Kenapa? Kok begitu tatapannya? Aku ganteng, ya?" candanya usil.
"Ish, siapa bilang."
"La itu kamu, kenapa pandangannya sampai begitu?"
"Ibu datang ke rumah kita. Beliau juga mau menginap di rumah," ucapku.
"Dek ... Dek, gitu aja kok repot. Di rumahkan masih banyak kamar. Lagian Ibu itu juga orang tuaku. Apalagi yang bikin pusing?"
"Rumah jadi kaya penampungan," gerutuku pelan.
"Jangan bicara begitu. Banyak orang lebih rame, jadi ga sepi rumah kita."
Kembali Mas Alif fokus ke jalanan yang semakin padat, karena jam pulang kantor. Aku merasa lega mendengar ucapan suamiku barusan. Benar kata Mas Alif, banyak orang bikin rame. Semoga juga, Allah ikut memberi kami kelebihan rezeki. Aamiin.
~~~~~
Suara lengkingan si Bungsu terdengar di sana-sini. Vian asyik menggoda adiknya dengan mobil-mobilan yang pura-pura dia sembunyikan. Sementara ketiga gadis beliaku, terlihat sedang sibuk membantu Mbak Romlah menyiram tanaman.
Mereka juga mencabuti rumput liar yang tumbuh. Kulihat Sari dan Yanti juga saling bekerja sama memindah pot-pot yang telah disiram dan diberi tambahan pupuk.
Sedikit kutepis pikiran yang berkecamuk dari semalam. Melihat gelagat mereka yang tampak baik-baik saja. Membuat diri ini merasa bersalah, karena sudah berprasangka yang bukan-bukan.
'Allah, jagalah selalu hatiku dengan kebaikan dariMu.'
"Buk."
Panggil Mbak Romlah sukses membuatku terkejut.
"Sampai kaget aku, Mbak," ucapku sambil mengelus dada.
"He ... he ... ma'af."
"Saya mau pamit pulang, tadi uang tinggalan yang 10 ribu buat beli bubur, Buk Lah."
"Iya, gak pa pa sudah. Kamu pulang sana. Terima kasih, ya."
"Eh anu, gak jadi sudah, Bu."
Aku mengernyitkan dahi melihat sikap Mbak Romlah yang tampak kebingungan. Mau bertanya lagi, sudah keburu dia berlalu.
"Ibu sudah makan, Bu?" sapaku begitu melintasi ruang tamu. Kulihat beliau sedang melihat acara masak-memasak di televisi.
"Sudah Nak, tadi minta dibelikan bubur sama, Mbak Romlah."
"Ya, sudah kalau gitu. Ibu kalau perlu apa-apa, bilang aja sama anak-anak. Aku mau mempersiapkan makan dulu," pamitku ke belakang.
Setelah membersihkan diri, lekas kupersiapkan makanan. Sedikit heran ketika kubuka tudung saji.
'Kenapa Mbak Romlah hanya menggoreng ayam tak lebih dari tujuh jumlahnya? Tempe dan tahu pun tinggal beberapa potong yang tersaji.'
Niatku hendak menggoreng lagi, karena tadi pagi sengaja aku membeli ayam hingga dua kilo. Karena anak-anak paling suka ayam goreng laos bikinanku. Kucari-cari di kulkas besar tidak ada, kucari lagi di kulkas kecil juga tidak ada di sana.
Begitu juga dengan stok tempe dan tahu. Kenapa hanya tersisa yang sudah matang di meja saja? Padahal tadi aku beli agak banyak. Biar sekalian untuk besok pagi buat sarapan. Ah, sudahlah. Mungkin sudah habis buat digoreng sama anak-anak.
Ketika semua sudah siap, kupanggil mereka semua. Tak lupa menyuruh membersihkan diri terlebih dahulu. Kami makan bersama-sama. Sesekali hanya terdengar decakan mulut yang sedang mengunyah makanan. Ibu terlihat tertawa melihat ulah anak-anak yang sedang makan.
Vian tampak mengunyah ayam goreng dengan lahapnya. Ayahnya sampai geleng-geleng melihat ulah anak ke-duaku itu.
Ketika Yanti hendak mengambil ayam lagi di meja. Vian tampak menyerobotnya lebih dulu. Aku pura-pura melebarkan mataku padanya.
"Bagianku kan biasanya dua, Ma. Lagian tadi, Mbak Yanti sudah makan sama teman-temannya lebih dulu," sanggah Vian. Kulihat Firda sulungku memberi kode pada adiknya. Aku semakin bingung melihat ulah mereka.
Yanti terlihat hanya tertawa saja, sedang Sari tetap asyik makan. Suamiku juga nampak melanjutkan lagi menyuap nasi yang tersisa. Setelah tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.
Selera makanku langsung turun, berasa sudah kenyang. Melihat keganjilan yang sedang terjadi. Ada apa sebenarnya? Aku bangkit lebih dulu dari meja makan. Disusul Mas Alif suamiku.
Dia tampak mengekoriku ke dalam kamar kami. Mengganti pakaian yang dipakainya dengan sarung dan baju koko. Mengambil peci lalu ke musala yang terletak di lantai atas.
Semua anak-anak telah bersiap juga, melakukan salat jama'ah. Kecuali aku, yang sedang dapat tamu istimewah.
~~~~~
"Mas ...." panggilku ketika kami tinggal berdua di kamar. Sementara, Mas Alif sedang mengotak-atik lampu rias yang kebetulan sedang rusak.
"Ya, kenapa?" tanyanya. Tangannya masih sibuk dengan tespen dan kabel.
"Kok, tiba-tiba ayam yang baru aku beli tadi pagi habis semua, ya?"
"Ya, dimakan Dek, sama anak-anak tadi siang mungkin," sanggah suamiku masih tetap fokus sama pekerjaannya.
"Ish, gak mungkinlah. La wong bali telur ama daging kemarin masih ada. Cukup buat sampai sore pun. Nyatanya ikut habis juga," gerutuku.
Mas Alif menghentikan pekerjaannya, lalu menatapku sesaat.
"Serius dengan apa yang kamu bilang?" tanyanya menyelidik.
"Ya seriuslah, masa aku mau bohongin kamu. Ibuku juga gak makan daging. Kamu tahu sendiri."
"Mbak Romlah sudah kamu tanya?"
"Itu tadi, pas mau pulang. Dia seperti ada mau cerita, tetapi gak jadi. Tidak tahu kenapa."
"Coba besok tanya Mbak Romlah, sebab dia yang seharian di rumah. Tanya pelan-pelan, Dek. Jangan sampai membuatnya tersinggung," ingat suamiku.
"Siap, Pak Bos!" jawabku dengan gaya genit.
"Kamu ini, sengaja menggodaku sepertinya," ujarnya sambil menggelitik pinggangku.
"Mamaaaaa ... gak boleh!"
Tiba-tiba si bungsu sudah menerobos masuk ke kamar. Dia memukul Ayahnya yang sedang menggelitikiku. Tawa kami seketika berderai melihat tingkahnya yang lucu.
Segera kubersihkan tubuhnya, lalu membuatkan susu. Ikut membaringkan tubuh di samping tubuh mungil itu. Melepas segala penat dan juga menyegarkan pikiran agar esok bangun dalam keadaan sehat dan lebih bugar.
Kulihat suamiku pun turut berbaring di sampingku. Sesaat kemudian telah terdengar dengkuran halusnya.
"Klontang ...."
Samar terdengar benda jatuh dari dapur, karena sudah ngantuk. Aku pun mengabaikannya. Biarlah apa kata besok saja.
Terima kasih buat yang sudah baca. Jangan lupa subcribe dan vote bintang limanya ya ....Salam sayang buat kalian dari Author yang maniez 😊"Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi."Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku."Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.Tidak biasanya gadis itu sudah menghilang pagi-pagi begini."Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar.""Owh ...."Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil."Kamu dulu yan
"Ini siapa?" tanya suamiku.Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya."Teman saya," jawab Yanti.Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang."Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk."Enak
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d
Pagi ini aku menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu. Aku juga ingin sedikit melepas rasa rindu di sekolahku ini dulu. Mengenang masa-masa saat masih berseragam abu-abu.Sekitar pukul 09.30 aku sudah meluncur meluncur keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru."Ini Aira, ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalaminya dengan penuh rasa hormat."Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga."Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu," pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya."Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini.""Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun menjawab salim kepada belia
"Panggil saja Bu, saya ingin dengar apa alasan anak itu. Takutnya kalau kita rencanakan malah dia berkelit lagi," selaku."Tapi tunggu bentar. Sekarang ada pelajaran Pak Hadi, khawatir ada ulangan di kelas Yanti," ujar Bu Kus selaku TU.Aku berdiri dengan tubuh gemetaran. Bukannya apa, aku takut tidak dapat menahan emosiku saja. Sebab dari tadi rasanya sudah ingin kugigit anak itu!Nampak beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sejenak kemudian terlihat sudah selesai."Aman, ga ada ulangan kok," terang Bu Kus.Bu Diah beranjak keluar ruangan. Aku diajak Bu Kus masuk ke ruang yang bersekatan dengan ruang depan."Kamu tunggu di sini, bentar. Nanti Ibu kasih kode buat keluar, ok?""Siap!" jawabku tidak sabar, sambil menghempaskan bokongku yang sudah terasa panas.Terdengar langkah orang datang masuk ke dalam ruangan. Aku yakin sekali jika itu Yanti. Sebab tak lama kemudian terdengar suara bu Kus yang sedang menginterogasi."Yanti, kapan yang mau bayar kurangan uang pembanguna
"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be
"Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y
Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan
Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma