enjoy reading ...
MAAF, ADA KESALAHAN UPLOAD!!! ABAIKAN CHAPTER SEBELUMNYA! ----- "Gaes, hari ini Bang Rama ulang tahun. Rencananya nanti habis pulang kerja kita ditraktir makan-makan di Signature Resto." Aku yang sedang mencatat keluhan customer di laptop pun ikut mendongak mendengar pengumuman yang diumumkan oleh salah satu pegawai customer care. "Jangan nggak datang. Nyesel lo pada." Aku menoleh ke Shala yang juga menatapku. Kami tersenyum senang karena mendapat undangan makan malam di salah satu tempat makan ternama. "La, gue nebeng, ya?" "Ngapain nggak minta antar Ishak aja, Ly?" Sejauh ini, Shala masih belum mengerti jika aku dan Ishak batal menikah. "Dia sibuk, La," bohongku. "Gue perhatiin, lo belakangan ini jarang bicara masalah Ishak atau rencana pernikahan kalian deh, Ly? Apa semua udah beres?" Bukan sudah beres lagi, melainkan sudah selesai. Dan aku tidak tahu bagaimana mengatakannya pada Shala nantinya jika aku belum menyebarkan undangan. Padahal dia tahu sekali rencana tan
Melabrak Ishak dan perempuan yang sedang makan malam dengannya? Oh ... tidak! Aku tidak sebar-bar itu. Lagi pula, aku masih tahu diri jika melabraknya maka aku sendiri yang bisa dipermalukan balik. Bagaimana jika perempuan yang bersama Ishak itu berkata bahwa aku telah menikah dihadapan pengunjung resto? Bukannya mendapat dukungan untuk menjuluki perempuan itu sebagai pelakor atau bebas menghina Ishak yang bisa saja selama ini playing victim di belakangku. Justru, aku yang mendapat julukan wanita tidak tahu diri. Karena sudah bersuami masih saja mengejar lelaki lain. “Gue pulang, La.” Aku beringsut pergi dengan hati menahan sesak lalu Shala menarik tanganku. “Ly, itu Ishak! Mintai penjelasan dulu siapa perempuan yang lagi dinner sama dia!” Kepalaku menggeleng sebagai jawaban. Dan lagi, Shala tidak mengerti duduk perkara hubungan kami yang sebenarnya. “Gue capek, La. Pengen pulang.” Aku segera memesan ojek online karena ingin menangis sekeras-kerasnya di kontrakan tanpa ada
Sudah satu minggu, aku telah meninggalkan rumah masa kecilku ini karena permintaan Papa. Aku dianggap biang masalah yang membuat nama baik keluarga tercoreng. Padahal foto bercintaku dengan seorang lelaki asing yang sampai detik ini tidak bisa kuungkap, belum terbukti kebenarannya. Karena masih segar diingatan jika aku bermalam bersama lelaki itu dibawah kendali alam bawah sadar. Entah kami benar-benar melakukan hubungan itu atau tidak. "Ayo masuk, Ly." Mama, hanya beliau yang tetap menyayangiku. Ketika Papa tidak berada di rumah, Mama menjamuku untuk menginap semalam di rumah penuh kenangan ini. "Mama udah masak menu kesukaanmu." Selera makanku tergugah begitu melihat cap cay dan gurami asam manis tersaji begitu menggoda di atas meja makan. Padahal sebelum berangkat kemari aku telah melahap spagheti buatan Lois. Sembari menikmati sarapan setengah siang, kami berbicara banyak hal. "Kontrakanmu nyaman kan, Ly?" Kepalaku menggeleng. "Tapi aku mencoba beradaptasi, Ma." "Apa
"Ly, cepat minta maaf sama Vela," bujuk Mama. Aku menatap Mama dengan sorot terluka. Pasalnya, kini Mama juga sudah mulai terkena racun mulut berbisa adikku ini. "Buruan minta maaf deh, Kak Ly! Atau aku telfonin Papa nih biar Kakak nggak diizinin tidur sini!" ucap Vela sinis. "Ly, buruan minta maaf. Biar masalahnya kelar." Mama kembali membujukku. "Ngapain sih Kak Lily kemari, Ma? Nggak betah ya tinggal di kontrakan yang sempit dan ... penuh dengan orang-orang kotor," cibirnya. Mendengar kata 'kotor' membuatku curiga jika Vela bekerja sama dengan Lois mencarikan kontrakan untukku yang berada di sekitar area lokalisasi. Apa mereka menganggap aku begitu hina? "Apa maksudmu, Vel?!" Kemudian aku menarik kerah baju Vela begitu saja. "Lepasin, Kak! Aku bilang nih sama Papa!" ancamnya kembali. "Bilang sama Papa kalau aku kemari! Aku nggak takut dan aku nggak bakal nginep disini! Puas kamu!" pekikku lalu menyentak tubuhnya ke belakang. Vela tersenyum senang lalu membetulkan kerah
"Ly, udah merasa lebih baik?" Aku mengerjapkan mata lemah ketika terbangun. Kedua mataku beradaptasi dengan lingkungan yang terasa asing bagiku. Sejak kapan kamar kos Nathasya memiliki AC? "Ly, lo di rumah sakit." Nathasya berucap dengan duduk disebelahku. "Kok bisa?" tanyaku dengan suara lemah. "Lo demam tinggi, menggigil. Waktu gue bangunin, lo diem aja. Lalu Kak Lois bawa lo kemari." Aku mengerutkan alis. "Lois?" Kepala Nathasya mengangguk. "Gue bilang sama Kak Lois kalau lo di kos gue. Jadi setelah kerja, dia datang ke kos gue. Niatnya mau jemput lo. Eh, malah lo jatuh sakit." Aku memejamkan mata mendengar penjelasan Nathasya. Masalahnya, aku malu jika Lois bertanya padaku mengapa tidak jadi menginap di rumah orang tuaku? Justru menginap di kos Nathasya. "Lo keberatan ya kalau gue tidur di kos lo, Nath?" tanyaku lirih. "Nggak gitu, Ly. Gue cuma khawatir. Kenapa lo datang ke kos gue dengan keadaan basah kuyup dan muka sedih. Seenggaknya, Kak Lois harus ngerti. Kan dia
Aku banyak berterima kasih pada Lois yang merawatku dengan telaten selama sakit. Dia tidak banyak bertanya mengapa aku tidak jadi menginap di rumah kedua orang tuaku. Dia juga tidak menghakimi perbuatanku yang memilih tidak menghubunginya ketika sudah tiba di kos Nathasya semalam. Dia justru menghiburku dengan petikan gitar dan gesekan biolanya dari beberapa lagu yang sedang terkenal saat ini. "Kalau kamu bisa nyanyi, nyanyi aja. Biar aku yang iringi pakai biola." Kepalaku menggeleng pelan dengan posisi setengah duduk di atas kasur lantai kamar kontrakan kami. "Aku nggak pandai nyanyi, Lois. Mending kamu aja." Dia terkekeh lalu menghentikan permainan biolanya. "Aku nggak jago nyanyi. Suaraku nggak enak." "Bukannya kalau bisa main alat musik juga bisa nyanyi?" "Bisa nyanyi tapi ya gitu. Fals." Aku tersenyum kemudian meraih teh hangat yang pagi ini sudah ia buatkan. Tadi pagi, dia juga membelikan aku bubur untuk sarapan. Dibalik sikap cerewet dan konyolnya, Lois benar-benar l
Kamar Lois di kontrakan lama itu sederhana namun cukup nyaman. Terutama spring bed-nya yang sangat nyaman. Bahkan permukaan spring bed-nya bisa tiba-tiba hangat ketika sapuan angin malam yang berhembus dari jendela cukup dingin ditambah kipas angin yang menyala. Aku yang penasaran dengan jenis spring bed ini pun tergerak untuk mencari tahu dengan menelisik setiap sudutnya. Hingga aku menemukan nama merk spring bed ini dan mencarinya di laman internet. Bukannya keluar dalam bahasa Indonesia, justru ulasannya keluar dalam bahasa Inggris dari situs jual beli Amerika. "WinkBed, number one innerspring mattres. The price is 1.499 Dollar?" Mataku hampir keluar begitu melihat harganya. "Lois gimana bisa beli kasur ginian? Nggak dijual di Indonesia pula." "Masak iya cuma jadi musisi band recehan aja bisa beli spring bed seharga satu motor matic baru?" Masih segar diingatan jika jaket denim yang ia kenakan juga bukan barang murah namun Lois selalu mengelak jika itu hanyalah barang KW.
"Lois! Tunggu! Jangan ditutup telfonnya!" seruku di detik-detik akhir sambungan telfon kami. "Apa lagi?! Aku mau kerja! Keburu telat!" ucapnya dengan nada kesal. Aku tahu, Lois pasti marah karena menungguku selama itu namun aku justru pergi ke rumah Deni. Tapi itu juga bukan sepenuhnya salahku karena aku tidak tahu dia sudah berada di depan kantor untuk menjemputku. Salah sendiri tidak mengirim pesan lebih dulu. "Aku nggak mau tidur di teras." "Lalu? Berapa abad lagi aku mesti nungguin kamu, heh?!" *** Dan disinilah aku. Setelah pulang dari rumah Deni, aku langsung menuju rumah teman adikku, Fani namanya. Aku pernah mengantar adikku, Vela, pergi ke rumah Fani ketika kami berdua masih akur sebagai kakak adik. Seingatku, Fani berada di restauran tempat Vela mengajakku ke acara terlaknat yang mengantarkanku pada nasib sial itu. Dan semoga saja Fani berpihak padaku dan bisa memberi secerca harapan tentang siapa dalang di balik ini semua. Dan juga, semoga Deni bisa membuat I